“From the Depths of Our Hearts”: Krisis Gereja, Selibat, dan Pelayanan Imam di Mata Paus Emeritus Benedictus XVI dan Robert Kardinal Sarah

1
733 views
"From the Depths of Our Hearts”,buku baru Paus Emeritus Benedicstus XVI dan Rober Kardinal Sarah. (CNA)

BUKU baru ini memakai titel dalam bahasa Inggris yang berbunyi From the Depths of Our Hearts alias Dari Lubuk Hati yang Terdalam. Membahas tiga topik menarik tentang krisis yang melanda Gereja, perihal hidup selibat para imam, dan model pelayanan pastoral yang diampu para imam.

Buku baru versi bahasa Inggris ini diterbitkan oleh Ignatius Press dan baru akan dirilis resmi tanggal 20 bulan Februari 2020 mendatang.

Yang menarik, buku From the Depths of Our Hearts ini ditulis oleh Paus Emeritus Benedictus XVI dan Robert Kardinal Robert yang pernah menjabat Praefectus Kongregasi (Kepala Departemen, Kementerian) Ibadat Suci Vatikan dan Tata Tertib Sakramen tahun 2014.

Tantangan hidup para imam

“Buku baru ini tidak hanya bicara tentang apa itu hidup wadat (selibat) yang dijalani para imam sebagai kewajiban mutlaknya. Namun, sebagaimana diungkapkan oleh Paus Emeritus Benedictus XVI di alinea pertama buku tersebut, selibat menjadi isu terkini yang melanda hidup imamat sejak lama. Lebih dari itu, selibat sudah merupakan semacam ‘kodrat’ Gereja dan pola pemuridan yang sangat khas dalam Gereja,” demikian tutur Joseph Fesso, pendiri dan editor Ignatius Press.

Dalam bukunya yang terbaru itu, lanjut Fessio, baik Paus Emeritus Benedictus XVI dan Kardinal Robert Sarah membahas tantangan hidup religius-spiritual yang kini dihadapi oleh para imam, termasuk bagaimana harus menghayati dan melakoni hidup wadat tidak menikah.

“Juga bagaimana para imam itu harus bertobat mengarah terfokuskan diri mereka hanya kepada Yesus sebagai pegangan bagi hidup religius, pelayanan pastoral yang berbuah melimpah dan reformasi Gereja,” demikian pernyataan Ignatius Press dalam rilis resmi mereka sebagaimana dilansir oleh CNA.

Sejarah kelam penghayatan hidup wadat

Dalam buku baru itu, baik Paus Emeritus Benedictus XVI dan Robert Kardinal Sarah, menyoroti berbagai kasus skandal seks para imam yang menurut mereka telah “menciderai” sejarah Gereja Katolik. Kasus-kasus itu telah mengubur Gereja masuk dalam lorong gelap.

Robert Kardinal Sarah dari French Guinea, Afrika Barat.

“Hidup imamat kini memasuki kurun waktu yang kelam. Terciderai oleh banyaknya kasus skandal seks yang mulai menyeruak dan (para imam) menjadi kehilangan pegangan, lantaran didera oleh bertubi-tubi gugatan tentang praktik hidup selibat. Maka para imam bisa dengan mudah tergoda oleh pikiran ingin segera menyerah dan mundur,” demikian tulis Paus Emeritus Benedictus dan Kardinal Sarah.

Memberi suntikan semangat baru

Hadirnya buku baru berjudul From the Depths of Our Hearts itu dimaksudkan bukan sebagai “penghakiman” atas para imam.

Lebih dari itu, justru sebaliknya sebagai pelecut semangat baru dan memaknai hidup imamat dengan selibat itu dalam perspektif biblis dan hidup rohani. “Tidak semata-mata ada hanya karena dictum, perintah Hukum Gereja,” demikian rilis Ignatius Press.

Kedua penulis itu menegaskan bahwa selibat itu bukan perkara boleh memilih atau tidak. Melainkan selibat itu sudah dari sono-nya memang “begitu adanya” dan sejak lama dipraktikkan oleh kaum religius dan para imam lantaran mereka itu melakoni hidup bakti layaknya sebagai “pengantin” Kristus.

Pembaruan yang harus terjadi di dalam Gereja itu diharapkan berjalan seirama dengan pemahaman baru tentang panggilan hidup bakti menjadi imam sebagaimana dipahami sebagai bentuk partisipasi akan karya Tuhan untuk umat manusia.

Ignatius Press sebagai penerbit menambahi informasi berikut ini.

Buku baru ini bisa menjadi jawaban bagi terbitnya gagasan hasil Sinode Amazon bulan Oktober 2019 lalu tentang “peluang” baru bagi pria sudah menikah dan berkeluarga untuk bisa ditahbiskan menjadi imam.

“Kemendesakan” itu terjadi, karena kebutuhan lokal yang sulit dipenuhi oleh para pastor “konvensional” dan rendahnya jumlah orang yang bersedia menanggapi panggilan Tuhan menjadi imam.

Dalam Sinode Amazon itu, para peserta meyakini bahwa kurangnya jumlah para imam di hutan pedalaman Amazon itu bukan perkara soal selibat yang harus dilakoni para imam. Melainkan karena jumlah peminat akan panggilan hidup bakti itu telah merosot.

Bahkan pada saat yang sama, Kardinal Sarah dan Peter Kardinal Turkson menegaskan dalam Sinode Amazon tersebut bahwa praktik hidup selibat di Amazon tetap harus dijaga dan dipertahankan.

Tema yang sama tentang selibat juga pernah menjadi bahan perbincangan yang seru di rangkaian pertemua para Uskup di Jerman.

Hidup bakti sebagai imam dan selibat dibahas panjang lebar dalam Presbyterorum Ordinis, dokumen Konsil Vatikan II tahun 1965.

“Melalui selibat demi Kerajaan Allah, para imam mempersembahkan hidupnya bagi Kristus karena sebuah alasa yang istimewa dan baru. Mereka hanya memfokuskan diri pada Kristus dengan hati tak terbagi, membaktikan diri mereka dengan lebih bebas kepada Tuhan dan melalui Dia dan Gereja-Nya membaktikan hidup mereka bagi orang lain,” demikian kurang lebih “ajaran” Presbyterorum Ordinis.

PS: Diolah dari berbagai sumber.

1 COMMENT

  1. Menurut saya hal selibat adalah tradisi yang khas dalam Gereja Katolik yang penting dijaga kelestariannya. Alasannya karena sebagaimana Imam adalah Altar Christi maka seluruh hidup imam harus menampilkan Kristus yang hidup di tengah umat Allah. Mereka mewakili Kristus di tengah dunia. Sebagaimana Kristus hidup tidak hanya untuk orang Israel tp jg seluruh umat manusia maka imam slayaknya hidup selibat agak menjadi kepunyaan Allah dan seluruh umat yang dia layani.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here