Gerakan HPS 2016-2018: Penguatan Pangan Keluarga demi Kesejahteraan Hidup Bersama

0
5,564 views

Pengantar

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan hak asasi bagi setiap individu. Oleh karena itu, terpenuhinya kebutuhan pangan merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi agar manusia dapat bertahan hidup. “Mencintai dan Merawat Bumi untuk Pangan Sehat Bagi Semua” menjadi tema gerakan Hari Pangan Sedunia (HPS) Gereja Katolik Tahun 2013-2015. Mencintai dan merawat bumi menjadi ungkapan dan perwujudan syukur manusia atas kehidupan yang telah disediakan Allah bagi hidup manusia (bdk. Kej 2, 15-17).

Semua manusia tanpa kecuali, berhak menikmati dan mendapatkan sumber penghidupan dari rahim bumi, terlebih bahan pangan yang menjadi kebutuhan dasar hidup manusia. Untuk menjaga dan memelihara kualitas dan fungsinya, maka pengelolaan dan pengolahan bumi diarahkan untuk mempertahankan keberadaannya dalam keseimbangan yang dinamis melalui usaha perlindungan dan rehabilitasi secara terus menerus. Dengan demikian, bumi dan isinya dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan hidup bersama seluruh umat manusia dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Alasannya, “Allah menghendaki, supaya bumi beserta segala isinya digunakan oleh semua orang dan sekalian bangsa, sehingga harta–benda yang tercipta dengan cara yang wajar harus mencapai semua orang, berpedoman pada keadilan, diiringi dengan cinta kasih” (Gaudium et Spes art. 69).

Gerakan HPS Tahun 2013-2015, “Mencintai dan Merawat Bumi untuk Pangan Sehat Bagi Semua” diarahkan untuk membangun kemandirian dan keberlanjutan ketersediaan pangan bagi seluruh umat manusia. Pengolahan dan pengembangannya diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan umat manusia dari generesasi ke generasi. Untuk melanjutkan gerakan tersebut, Gerakan HPS Tahun 2016- 2018 adalah “Penguatan Pangan Keluarga Demi Kesejahteraan Hidup Bersama”.

Dasar perumusan Gerakan HPS
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu pemenuhannya menjadi hak asasi setiap individu. Pernyataan ini ditetapkan dalam dua deklarasi tingkat dunia, yaitu Deklarasi Roma Tahun 1996 pada KTT Pangan Dunia dan Deklarasi Millenium (MDG’s) Tahun 2000 yang juga menargetkan penurunan jumlah penduduk yang kelaparan hingga setengahnya pada tahun 2015. Menindaklanjuti hal tersebut, Food and Agricultural Organization (FAO) selaku organisasi pangan duniamenetapkan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICOSOC) yang sudah diratifikasi dengan UU No. 11 Tahun 2005, yang menetapkan bahwa: 1) hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak dan keluarganya atas pangan,dan 2) setiap orang harus bebas dari kelaparan.

Kemiskinan dan kelaparan adalah dua tema yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Kemiskinan adalah aspek utama sebagai penyebab terjadinya kelaparan. Kemiskinan menyebabkan daya beli terhadap bahan makanan rendah sehingga status kecukupan gizi masyarakat tidak terpenuhi. Kemudian status ketidakcukupan gizi penduduk ini akan berpengaruh terhadap produktivitas penduduk dalam mengupayakan hidupnya. Selain itu, ketidakcukupan gizi menyebabkan kerentanan terhadap serangan penyakit dan apabila seseorang sakit mengakibatkan seseorang menjadi semakin miskin. Kelaparan atau kekurangan pangan merupakan bentuk terburuk dari kemiskinan yang dihadapi penduduk, dimana kelaparan merupakan suatu proses sebab-akibat dari kemiskinan.

Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduknya. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang belum mendapatkan kebutuhan pangan yang mencukupi. Sekitar tiga puluh persen rumah tangga mengatakan bahwa konsumsi mereka masih berada di bawah kebutuhan konsumsi yang semestinya. Lebih dari seperempat anak usia di bawah 5 tahun memiliki berat badan di bawah standar, dimana 8 % berada dalam kondisi sangat buruk. Bahkan sebelum krisis, sekitar 42 % anak di bawah umur 5 tahun mengalami gejala terhambatnya pertumbuhan (kerdil); suatu indikator jangka panjang yang cukup baik untuk mengukur kekurangan gizi. Gizi yang buruk dapat menghambat pertumbuhan anak secara normal, membahayakan kesehatan ibu dan mengurangi produktivitas angkatan kerja. Ini juga mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit pada penduduk yang berada pada kondisi kesehatan yang buruk dan dalam kemiskinan.

Data BPS Maret 2014, jumlah penduduk miskin Indonesia sebesar 28,28 juta orang.Bila dibandingkan dengan September 2013, terjadi penurunan dari 28,60 juta orang, dan prosentasenya juga menurun dari 11,46 menjadi 11,25. Dalam laporan Global Nutrition Report tahun 2014, secara global diperkirakan 45 % kematian balita terkait dengan kurang gizi; sementara defisiensi gizi bertanggung jawab terhadap lebih dari 50 % tahun hidup dalam disabilitas pada anak umur kurang dari 4 tahun. Sebaliknya, rasio manfaat biaya investasi untuk menurunkan ‘stunting’ (anak dengan ketinggian badan pendek) pada anak-anak sangat tinggi. Secara global, prevalensi stunting di Indonesia sangat tinggi, sementara kecepatan penurunannya setiap tahunnya lambat/rendah.

Indonesia merupakan negara terbesarkelima yang berkontribusi terhadap besarnya anak balita stunting di dunia. Indonesia termasuk dalam 47 negara dari 122 negara yang mempunyai masalah Stunting. Indonesia termasuk di dalam 17 negara dari 117 negara di dunia yang secara bersama-sama mempunyai tiga masalah gizi saat ini, yaitu stunting (pendek dan sangat pendek), wasting (kurus dan gizi buruk) dan overweight (gemuk dan obes) pada Balita. Gizi buruk, terutama pertumbuhan yang terhambat,merupakan sebuah masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia.

Dalam Laporan Tahunan UNICEFF Tahun 2012, kemiskinan anak di Indonesia bahkan lebih besar dari kemiskinan orang dewasa, yang dialami oleh 44,4 juta anak atau lebih dari 50 % dari seluruh anak. Seorang anak akan sangat beresiko meninggal apabila mengalami gizi buruk, dan data menunjukkan bahwa tidak banyak peningkatan dalam menangani kondisi ini, terutama di kalangan penduduk miskin.

Akses pada air minum yang aman, sanitasi yang memadai dan kebersihan juga penting untuk kelangsungan hidup anak. Tapi, Indonesia masih perlu menjangkau 56,8 juta orang lain untuk mendapatkan air bersih di tahun 2015. Di sisi lain, ketersediaan dan distribusi pangan yang tidak merata dan adil semakin memperparah kemisikinan yang ada. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan hak asasi bagi setiap individu semakin dibatasi dengan adanya pasar global.

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) semakin berkuasa dalam mengatur tidak hanya sistem perdagangan, tetapi banyak aspek kehidupan manusia lainnya. Terkait dengan pangan, liberalisasi perdagangan mengubah fungsi pangan yang multi
dimensi menjadi sekadar komoditas perdagangan.

Bahkan WTO mengartikan ketahanan pangan sebagai “ketersediaan pangan di pasar”. Konsep ini dalam praktiknya memaksa rakyat di negara-negara sedang berkembang untuk memenuhi pangan yang akan dipenuhi oleh negara-negara maju melalui mekanisme pasar bebas. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pangan telah menjadi bagian dari skema besar liberalisasi perdagangan. Untuk menanggapi situasi ini,perlulah dikembangkan keanekaragaman sumber pangan lokal.

Pangan mencakup dimensi yang luas, tidak hanya beras. Ada banyak pangan lokal di Indonesia yang kualitasnya setara dengan beras. Ada jagung dan sagu, lalu puluhan ribu umbi-umbian tersebar luas di seluruh pelosok tanah air. Dengan adanya sumber pangan lokal tersebut, sebenarnya Indonesia dapat menciptakan kedaulatan pangan yang tangguh. Pembangunan di bidang pangan harus diarahkan pada upaya swasembada yang tidak hanya beras saja tetapi didukung oleh jenis-jenis pangan lokal yang selama ini sudah mulai dikembangkan.

Mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar dan hak asasi manusia, maka untuk mewujudkannya diperlukan keterlibatan rakyat dalam penentuan kebijakan terkait dengan proses produksi, distribusi dan konsumsi pangan. Kedaulatan pangan dengan demikian merupakan sesuatu yang patut diperjuangkan melalui gerakan rakyat. Gerakan rakyat untuk kedaulatan pangan dapat terjadi jika ada organisasi yang kuat dari berbagai elemen rakyat baik perempuan maupun laki-laki seperti petani, masyarakat adat, buruh, nelayan dan masyarakat miskin kota.

Berbagai komponen rakyat ini secara sadar dan bahu-membahu membangun solidaritas dan kerjasama memperjuangkan terwujudnya kedaulatan pangan bagi setiap orang, komunitas maupun negara. Ketidakmampuan menyesuaikan diri dalam jangka pendek akan membawa ke kondisi rawan pangan. Penyesuaian rawan pangan yang tidak memperhitungkan aspek penguatan sumber-sumber kehidupan dalam jangka panjang justru tidak akan menjamin keberlanjutan ketahanan pangan individu maupun unit sosial yang lebih tinggi.

Perumusan Gerakan HPS
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan hak asasi bagi setiap individu. Oleh karena itu, terpenuhinya kebutuhan pangan yang seimbang dan bergizi merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi agar manusia dapat bertahan hidup. Gizi yang baik merupakan landasan untuk mencapai kesejahteraan manusia. Sebelum lahir dan selama masa bayi, gizi yang baik memungkinkan otak berfungsi maksimal untuk berkembang tanpa gangguan dan menghasilkan sistem kekebalan tubuh yang lebih kuat.

Untuk anak-anak, status gizi yang baik dapat mencegah kematian dan penting untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan tubuh secara maksimal. Salah satu usaha yang dapat dikembangkan untuk mendapatkan sumber pangan dengan kandungan gizi yang baik adalah dengan mengoptimalkan lahan pekarangan.

Optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan dapat dilakukan dengan melaksanakan usaha tani secara terpadu, berkelanjutan dan diarahkan untuk menuju tahap kemandirian pangan keluarga. Dikelola secara terpadu dimaksudkan agar pekarangan berperan sebagai penyedia sumber pangan keluarga, baik dari sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Pendekatannya dilakukan dengan mengembangkan pertanian berkelanjutan yaitu dengan mengutamakan pemanfaatan sumber daya lokal disertai dengan penggunaan pengetahuan lokal, agar tetap menjaga kelestarian lingkungan.

Paradigma pengembangan kegiatan produktif masyarakat melalui pemanfaatan pekarangan juga tidak sebatas dimanfaatkan dari pekarangan ke meja makan (dikonsumsi) tetapi juga diharapkan dapat berkembang dari pekarangan menuju pasar (dijual) dan memberi nilai tambah ekonomi.

Salah satu alternatif bahan pangan lokal yang penuh dengan kandungan gizi yang dapat dikembangkan dalam keanekaragaman pangan adalah Tanaman Kelor. Biji dan daun kelor, dikenal juga dengan Moringa Oleifera adalah salah satu makanan super yang paling lengkap, mengandung banyak antioksidan, vitamin dan mineral. Berbagai bagian dari pohon kelor dapat dimakan. Daun kelor populer digunakan sebagai sayur pada masakan semur, kari, salad dan hidangan yang biasanya akan menggunakan jenis bayam hijau.

Polong dan biji kelor juga bisa dimakan. Biji dan buah kelor hijau muda dapat direbus, dijadikan acar, atau direbus kemudian dimakan. Biji kelor yang dipanggang dapat menjadi camilan kacang yang lezat. Kelor atau Moringa merupakan tanaman yang asli tumbuh banyak di wilayah Indonesia. Bagian tanaman kelor, seperti daun, kulit kayu, bunga, buah, biji dan akar juga dapat digunakan untuk membuat obat tradisional.

Penganekaragaman pangan lokal yang diusahakan dalam lahan pekarangan dapat diarahkan untuk membangun kedaulatan pangan keluarga. Pengembangan kedaulatan pangan di tingkat kelurga (rumah tangga), mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena:

  • Akses pangan dan gizi seimbang merupakan hak paling asasi bagi manusia;
  • Proses pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh keberhasilan memenuhi ketersediaan dan kecukupan pangan; dan
  • Ketahanan pangan merupakan unsur strategis dalam pembangunan ekonomi dan ketahanan nasional. Kedaulatan pangan keluarga akan memberikan kontribusi secara nyata dalam pembangunan masyarakat secara luas, terlebih dalam masyarakat perdesaan.

Pembangunan masyarakat perdesaan perlu terus ditingkatkan terutama melalui pengembangan kemampuan sumber daya manusia termasuk penciptaan iklim yang mendorong tumbuhnya prakarsa dan swadaya masyarakat perdesaan. Sejalan dengan itu, perlu ditingkatkan kemampuan masyarakat perdesaan untuk berproduksi serta mengolah dan memasarkan hasil produksinya, sekaligus menciptakan lapangan kerja.

Dengan demikian, pedesaan makin mampu mengerahkan dan memanfaatkan sebaik-baiknya segala dana dan daya bagi peningkatan pendapatan dan taraf hidupnya. Hal yang penting juga adalah dukungan terhadap hak petani kecil dan masyarakat adat untuk melanjutkan dan mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan mereka, praktek-praktek pengelolaan lingkungan, dan mata pencaharian mereka. Hal itu juga menyangkut praktek penyimpanan, pengembangan dan pertukaran benih tanaman pangan dan obat-obatan.

hps-1
Leaflet paparan Gerakan HPS (1)
hps-2
Leaflet paparan Gerakan HPS (2)

Gerakan HPS tahun 2016-2018
Gerakan Hari Pangan Sedunia (HPS) Gereja Katolik berangkat dari iman yang dirayakan dan diwujudkan. HPS Gereja mau menyuarakan iman dan moral yang berkaitan dengan kecukupan, ketersediaan dan keberlangsungan pangan yang sehat bagi hidup manusia.

Dengan demkian, melalui gerakan HPS, Gereja mampu menumbuhkan dan mengembangkan kesadaraan akan pencitraan kembali kehadiran Allah dalam tata kelola pangan di dunia dengan tujuan untuk membangkitkan dan meningkatkan kesadaran umat dan masyarakat terhadap pelestarian sumber daya pangan, tata olah tani yang mampu menyediakan bahan pangan yang sehat, aman, merata dan berkelanjutan demi kesejahteraan dan keberlangsungan hidup manusia dan keutuhan ciptaan-Nya, memberikan penghargaan dan penghormatan kepada petani dan nelayan, dan membangun kesetiakawanan sosial di bidang pangan.

Gereja perlu menyadari bahwa kehadiran dan keterlibatan penyadaran kemanusiaan dalam hal tata kelola pangan bukanlah pertama-tama persoalan teknis, tetapi bagaimana menyadarkan umat bersama masyarakat menemukan dan menata kembali pemanfaatan alam semesta yang berkeadilan sosial dan berkeutuhan ciptaan dan mencari jalan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan dan kecukupan pangan bagi semua.

Membangun sistem komunitas pangan adalah salah satu alternatif yang bisa dibuat oleh Gereja sebagai komunitas murid-murid Kristus. Ekaristi sebagai pusat dan puncak liturgi Gereja, yang dihayati dan dihidupi umat bisa menjadi dasar dan inspirasi untuk mengembangkan Gereja sebagai komunitas berbagi pangan yang terarah pada kesejahteraan hidup bersama.

Gereja sebagai komunitas berbagi pangan bisa diwujudkan dalam keluarga melalui usaha penguatan kemandirian dan keberlanjutan pangan keluarga, sehingga malalui kedaulatan pangan keluarga, keluarga bisa menjadi saksi ‘Suka Cita Injil’. Dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) ke 4 tahun 2015, Gereja merefleksikan keluarga Katolik sebagai “Suka Cita Injil; Panggilan dan perutusan keluarga Katolik dalam Gereja dan masyarakat Indonesia yang majemuk”.

Menumbuhkan kembali dan mengembangkan komunikasi kasih dan kemampuan perutusan cinta kasih dalam keluarga guna menghadirkan kesejahteraan hidup bersama yang penuh dengan kedamaian. Atas dasar peristiwa dan tema pastoral SAGKI ke 4 tahun 2015 yang dibuat lima tahun sekali, fokus Gerakan HPS Tahun 2016-2018 adalah “Penguatan Pangan Keluarga Demi Kesejahteraan Hidup Bersama” akan direfleksikan dan digulirkan melalui tata kelola nilai hidup dalam keluarga, yang secara tematis akan dibuat dalam tema tahunan.

Gerakan HPS Tahun 2016: “Penguatan Pangan Berbasis Keluarga”

Dalam peringatan Hari Pangan Sedunia 2013, Bapa Suci Fransiskus menyampaikan pesan yang sangat penting. Beliau mengatakan bahwa Hari Pangan Sedunia menghadapkan kita pada salah satu tantangan yang sangat serius bagi kemanusiaan, yaitu kondisi tragis adanya jutaan orang lapar dan menderita gizi buruk, di antaranya banyak anak-anak. Beliau menyebut kelaparan dan gizi buruk sebagai skandal yang mestinya menantang kesadaran pribadi dan kesadaran bersama kita untuk ikut menemukan pemecahan masalah itu secara adil dan menyeluruh, demi kebaikan seluruh umat manusia (bdk Flp 2:1-5).

Gerakan HPS Tahun 2017: “Membangun Gizi Keluarga”

Laporan Akhir tahun 2012 Komisi Nasional Perlindungan Anak, dari 23 juta anak balita di Indonesia, 8 juta jiwa atau 35 persennya mengidap gizi buruk kategori berat, yang menyebabkan tinggi badan lebih rendah dari balita normal; sementara 900 ribu bayi atau sekitar 4,5 persen dari total jumlah bayi di seluruh Indonesia mengalami gizi buruk.

Menurut Dirjen FAO Jose Graziano da Silva, Indonesia merupakan satu dari 19 negara yang dinilai berhasil mengurangi jumlah penduduk kekurangan gizi; dari sekitar 20 persen total jumlah penduduk pada tahun 1990-an menjadi 8,6 persen pada tahun 2012. Sejalan dengan hal ini, keluarga mempunyai peran penting dalam mengatasi gizi buruk. Pembaharuan dan perubahan sikap bisa dimulai dalam keluarga dengan tindakan nyata, yaitu dengan menyediakan pangan yang sehat dan gizi yang seimbang dalam keluarga, serta membantu keluarga lain yang kelaparan dan menderita gizi buruk dengan menyisihkan sebagian pangan sehat keluarga kita untuk mereka yang kelaparan dan menderita gizi buruk dalam bentuk dana solidaritas.

Gerakan HPS Tahun 2018: “Keluarga sebagai Komunitas Berbagi Pangan”

Mahatma Gandhi mengatakan, “Bumi menyediakan makanan cukup untuk kebutuhan setiap manusia, tetapi bukan untuk keserakahannya.” Oleh karena itu, harus ada pembaharuan. Pembaharuan dan perubahan dapat dilakukan mulai dalam keluarga. Dalam keluarga, setiap pribadi mendidik diri sendiri dalam sikap belarasa, menemukan kembali nilai dan makna solidaritas dalam hubungan antar manusia. Tujuannya antara lain adalah untuk menghilangkan aneka bentuk kekurangan pangan akibat kemiskinan dengan saling berbagi pangan.

Penutup

Penguatan pangan keluarga demi kesejahteraan bersama menjadi gerakan HPS Gereja Katolik Tahun 2016-2018. Kemandirian pangan keluarga dalam bentuk kecukupan pangan dan ketersediaan pangan yang sehat dan lestari diharapkan menjadi wujud kesejahteraan bersama.

Sumber: Dokpen KWI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here