Hadapi Tsunami

0
181 views
Mt Anak Krakatau in Sunda Strait promting tsunami. (Ist)

TSUNAMI Selat Sunda yang tidak didahului gempa bumi, menerjang sejumlah kawasan di pesisir pantai Banten dan Lampung pada hari Sabtu malam, 22 Desember 2018.

Apa yang dapat kita lakukan?

Tsunami adalah gelombang laut raksasa yang mungkin dihasilkan oleh gempa bawah laut atau longsor ke dasar laut. Tsunami dapat menempuh jarak ribuan mil dengan kecepatan 300-600 mph dengan sedikit energi. Gelombang tersebut mencapai pantai dengan dampak yang buruk pada komunitas di garis pantai. Puncak-puncak tsunami yang berurutan dapat tiba dengan interval setiap 10 hingga 45 menit, dan mendatangkan kehancuran selama beberapa jam.

Dampak tsunami pada bidang kesehatan masyarakat segera setelah proses penyelamatan korban adalah ketersediaan air minum, makanan, tempat tinggal dan perawatan medis untuk korban cedera. Luapan air laut dapat menimbulkan risiko kesehatan, seperti air yang terkontaminasi dan persediaan makanan yang menipis. Kondisi cuaca musim dingin dengan salju atau hujan, di samping kurangnya tempat berlindung dan pasokan listrik yang terbatas, menempatkan para korban pada peningkatan risiko penyakit menular.

Cidera menjadi perhatian utama para petugas kesehatan. Luka, patah tulang dan cedera kepala yang disebabkan oleh dampak fisik tersapu gelombang air, hantaman puing rumah, dan batang pohon adalah umum. Risiko wabah penyakit menular juga muncul, pada masyarakat yang terlantar akibat bencana tsunami.

Kerumunan orang, ketersediaan air, dan sanitasi yang tidak memadai, akses yang buruk ke layanan kesehatan, dan perpindahan penduduk yang tiba-tiba, semuanya meningkatkan risiko penularan penyakit infeksi. Tingkat cakupan imunisasi yang sangat tinggi di wilayah bencana, dapat mengurangi risiko penyakit menular yang umum seperti campak, difteri, pertusis, tetanus, dan polio.

Hepatitis A dan yang E ditularkan melalui rute mulut atau ‘faecal-oral’, terkait dengan kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Leptospirosis dapat menyebar melalui paparan kulit dan selaput lendir yang luka, kepada air atau lumpur yang terkontaminasi dengan air kemih tikus yang terinfeksi.

Infeksi saluran pernapasan akut termasuk pneumonia adalah penyebab utama penyakit dan kematian di antara para pengungsi. Kurangnya akses ke layanan medis dan obat antibiotik, dapat lebih meningkatkan risiko kematian akibat pneumonia. Pneumonia aspirasi merupakan infeksi paru yang terjadi akibat masuknya zat atau benda asing seperti air, pasir, lumpur, dan sebagainya ke dalam paru-paru para korban bencana tsunami.

Pneumonia aspirasi itu menyerang saat korban diterjang ombak tinggi atau tenggelam dalam waktu lama dan menelan beragam material yang ada. Penderita pneumonia aspirasi paru mesti mendapatkan pertolongan segera melalui metode ‘cuci paru’ atau dikenal dengan istilah bronkoskopi. Kudis adalah penyakit menular pada kulit, dan parasit ini biasanya ditularkan melalui kontak kulit ke kulit. Semua penyakit infeksi tersebut menyebar lebih mudah dalam kondisi yang ramai dan tidak sehat, misalnya di tenda pengungsian.

Tsunami di Selat Sunda 2018 pada hari ketiga penanganan, mencatat 429 orang meninggal dunia,  128 orang hilang, 1.485 luka-luka, dan 5.665 orang mengungsi. Selain itu, ada 882 rumah rusak, 73 penginapan rusak dan 60 warung rusak, serta puluhan kendaraan rusak. Setelah tsunami, tumpukan puing bangunan berpotensi menyebabkan luka tusuk.

Spora tetanus dapat masuk ke tubuh melalui luka yang terkontaminasi dengan tanah, debu atau kotoran hewan. Spora tetanus dapat masuk ke dalam tubuh melalui tusukan kecil atau sekedar goresan, tetapi biasanya masuk melalui luka yang dalam, akibat tertusuk paku, benda runcing lainnya, atau pisau.

Vaksinasi adalah satu-satunya cara untuk melindungi terhadap tetanus. Di Jepang, booster imunisasi terhadap tetanus direkomendasikan setiap 10 tahun. Menurut data dari WHO dan UNICEF tahun 2010 , Jepang memiliki cakupan imunisasi tetanus yang sangat tinggi pada anak-anak (98% pada 2009), sangat mengurangi risiko tetanus pasca-tsunami. Namun, orang yang lebih tua yang mungkin melewatkan imunisasi tetanus dan mereka yang tidak mengikuti dosis penguat (booster), tentu saja dapat berisiko.

Kematian korban bencana tsunami biasanya disebabkan oleh trauma tumpul, cedera berat, atau tenggelam. Namun demikian, pemandangan dan bau sejumlah besar jenazah yang membusuk sangat mengganggu dan dapat menghasilkan dampak negatif tambahan pada kesehatan mental para korban tsunami.

Jenazah korban tsunami dan mayat binatang, sebenarnya tidak dapat menularkan penyakit karena bakteri, virus, dan parasit mati bersama inang atau tubuh. Manajemen jenazah secara massal sering kali didasarkan pada kepercayaan yang salah, bahwa jenazah memiliki bahaya epidemi, jika tidak segera dikuburkan atau dikremasi.

Pemakaman massal sering lebih disukai, daripada proses kremasi dalam situasi korban massal. Relawan kesehatan yang menangani jenazah harus melindungi diri dari darah dan cairan tubuh lainnya, dengan menggunakan pelindung diri dan kantong mayat. Bagian bawah kuburan massal harus setidaknya 1,5 meter di atas permukaan air dengan zona tak jenuh 0,7 meter, yaitu bagian bumi antara tanah dan permukaan. Ketika mengelola sejumlah besar jenazah, perhatian harus diberikan pada fakta bahwa mengelola jenazah dengan benar, cepat, dan dengan penuh hormat, dapat mengurangi kecemasan pada keluarga dan korban yang selamat.

Makanan dan air di daerah bencana tsunami menjadi tidak aman dikonsumsi, karena sangat mungkin terkontaminasi sistem pembuangan limbah, atau kebocoran dari pabrik atau kawasan industri yang rusak. Petugas penolong dan relawan darurat, bersama dengan pihak berwenang setempat dapat memberikan saran tentang kondisi makanan dan air setempat, agar aman dikonsumsi. Demikian juga dapat merekomendasikan bagaimana air di daerah tersebut dapat dibuat lebih aman.

Biasanya ikan atau makanan laut lainnya dari daerah yang terkena tsunami aman dikonsumsi, selama tidak ada kontaminasi oleh kotoran, bahan kimia atau polutan lainnya. Otoritas setempat akan memberikan saran terbaik, termasuk ketentuan bahwa ikan harus dimasak secara menyeluruh sebelum dimakan. Namun demikian, banyak korban tsunami yang selamat, mungkin enggan makan ikan karena alasan bahwa tubuh orang yang mereka cintai, telah tersapu ke laut.

Sudahkah kita siap menghadapi tsunami?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here