Romo J. Adi Wardaya SJ: Ekaristi, Lakukanlah Ini sebagai Kenangan akan Daku (1)

1
3,329 views

ISTILAH “perayaan ekaristi” dimaksudkan untuk menggaris-bawahi asal-usul umat yang merayakan ekaristi. Ketika umat berkumpul untuk beribadah, mereka menyadari bahwa mereka bersama adalah suatu paguyuban atas nama Yesus. Maka perkumpulan mereka mempunyai tujuan untuk mengenangNya.

Dia hadir dalam perjumpaan dan terlibat dalam memecahkan roti dan minum bersama dengan yang hadir, dan secara khusus dengan mereka yang tersingkir dan tersung­kur, yang terjajah dan melarat (Hellwig, 57).

Oleh karena itu mereka dituntut untuk berbuat yang sama terhadap sesama (Kis.2:41-47).

Melalui ekaristi mereka menyatakan identifikasi diri sebagai komunitas yang berbagi dan yang melayani sesama. Mereka menyadari bahwa dengan pelayanan terha­dap sesama (bukan melalui doa bersama, membangun kemesraan paguyuban iman dan sibuk mengurus diri sendiri) Yesus akan dikenali bahwa Dia hidup bersama manusia demi keselamatan dunia. Ekaristi harus merupakan titik tolak untuk mewujudkan sisi lain dari pewartaan Injil, yakni membangun bumi dan langit baru (Grassi, 93).

Makna “Gereja”

Semula, istilah Gereja berarti sekumpulan orang, yang sadar bahwa mereka dipersatukan dengan Yesus. Keyakinan ini pelan-pelan bergeser dan Gereja lebih dimengerti sebagai organisasi. Hilang­nya kesadaran ‘menjadi Gereja’ memerosotkan pelak­sanaan sakramen, sehingga komuni sebagai ‘aksi bersama untuk berbagi’ digeser oleh konsekrasi sebagai saat yang keramat.

Seluruh ekaristi tidak lagi menjadi aksi seluruh umat untuk menjawab kebutuhan sesama, melainkan menjadi sesuatu yang dilakukan imam bagi umat.

Karena sakramen adalah ‘sesuatu’ maka dengan rajin mereka berkumpul di gedung gereja untuk berebut ‘sesuatu’ itu. Peralihan pengertian itu membawa akibat  bahwa sekarang dalam ekaristi berkum­pul ‘penganggur dengan mentalitas pasif’ yang menanti saat ajaib dan ‘pengemis dengan mentalitas hanya mau menerima’ yang menunggu pembagian rah­mat.

Sebaliknya Gereja Purba yakin bahwa perseku­tuan umat beriman adalah pelaku dan pemeran pe­rayaan.

Perubahan pandangan di atas sangat jelas dalam pandangan umat mengenai kata-kata konsekrasi. Dalam Doa Syukur Agung terdapat sebuah cerita mengenai perjamuan terakhir. Cerita ini ditempatkan di situ dengan maksud untuk mengungkap­kan alasan mengapa umat bersyukur dengan cara memecahkan roti dan minum bersama. Cerita itu ditujukan kepada orang yang mau terlibat guna melak­sanakan perintah Yesus.

Namun semenjak hilangnya kesadaran menjadi Gereja dan berubah menjadi organisasi, serta kemerosotan kesadaran menjadi pelaku perayaan dan berubah menjadi penerima dalam perayaan, maka cerita itu juga berubah menjadi: kata-kata konsekrasi yang diucapkan imam dan ditujukan kepada benda, yakni roti dan anggur. Roti dan anggur adalah benda atau obyek yang diterima oleh umat.

Kalau ditanya : “Apa simbol utama ekaristi?”, maka akan segera dijawab roti dan anggur. Roti dan anggur adalah benda sakramen, sedangkan kata-kata konsekrasi adalah bentuk sakramen, namun keduanya bukan simbol sakramen ekaristi. Simbol yang asli dan benar adalah “perbuatan memecahkan roti dan mengedarkan piala”. (Grassi, 87-88). (Bersambung)

Catatan Redaksi: Sebuah kajian ilmiah teologis tentang makna ekaristi pernah ditulis Romo Joseph Adi Wardaya SJ beberapa tahun silam. Artikel ini mengemuka lagi, ketika Keuskupan Agung Semarang (KAS) tengah bergiat menyiapkan Kongres Ekaristi tahun 2012. Seorang pembaca mengirimkan naskah berharga ini kepada redaksi.

Romo J. Adi Wardaya SJ meninggal dunia di RS Carolus Jakarta, Kamis 8 Desember 2011.

 

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here