USIA 50 tahun dan 25 tahun itu bukanlah rentang waktu yang pendek. Untuk kategori umur manusia, angka 50 tahun dan 25 tahun adalah perjalanan hidup yang begitu panjang, penuh onak duri dan liku-liku hidup. Ibarat perjalanan kapal yang memulai pelayarannya pertama dari sebuah titik keberangkatan di pelabuhan bernama Novisiat SFS dan kini –setelah 50 tahun dan 25 tahun—maka pelayaran mengarungi lautan kehidupan itu kini mulai tertambat di pelabuhan hidup yang membawa sukacita di keseharian hidup.
Sr. Fransiska SFS bersama dua kolega yuniornya yakni Sr. Atanasia SFS dan Sr. Vincentia SFS jelas merasakan denyut degup sukacita tersebut. Lihat saja, wajah-wajah berbinar ketiga suster senior Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi (SFS) ini di hari yang sangat membahagiakan mereka: 15 Agustus 2018.
Pada Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga –tanggal 15 Agustus— ketiga suster SFS tersebut boleh merayakan pesta 50 tahun dan 25 tahun Profesi Religiusnya sebagai Suster SFS.
- Sr. Fransiska SFS yang masih èthes namun berpenampilan kalem dan tetap sehat boleh merayakan 50 tahun hidup membiara sebagai suster SFS.
- Sr. Atanasia dan Sr. Vincentia SFS boleh mensyukuri perjalanan hidup baktinya sebagai suster religius SFS selama 25 tahun.
Kuncinya adalah kasih
Merespon fakta bahwa ketiga suster SFS itu telah menekuni perjalanan panjang hidup membiara sebagai suster biarawati bernafaskan spiritualitas Fransiskan, maka Bapak Uskup Keuskupan Bogor Mgr. Paskalis Bruno Syukur OFM memulai homilinya dengan satu kata kunci yakni kasih.
Mgr. Paskalis lalu bertanya kepada Sr. Fransiska SFS: “Mengapa mampu bertahan lama selama 50 tahun menjadi seorang suster SFS?”
Dijawab dengan pendek penuh senyum, “Itu, karena saya merasa hepi menjadi suster.”
Menjalani hidup sebagai suster religius SFS dalam perasaan sukacita dan hepi adalah kunci utamanya. Itulah sebabnya, sepanjang pelayaran panjang dari ‘pelabuhan pertama’ yakni Novisiat SFS hingga karya yang terakhir itu, Sr. Fransiska SFS selalu merasa dirinya ‘ditemani’ oleh Tuhan yang selalu menjaganya.
Dalam bahasa Jawa yang juga dirumuskan dengan baik oleh Mgr. Paskalis, maka kesetiaan Tuhan menjaga itu adalah karena “Gusti ora saré” (Tuhan tidak tidur).
Suster Atanasia SFS dan teman satu angkatannya Sr. Vincentia SFS juga merasakan degupan jiwa yang sama: bahagia menjalani hidup sebagai seorang biarawati, baik dalam hidup berkomunitas dan karya pelayananannya.
Sr.Vincentia SFS kini berkarya sebagai formator di novisiat –sebuah karya pembinaan para calon suster untuk digembleng mencecap spiritualias Fransiskan dan modus vivendi tarekat SFS. Ini adalah job sama yang kedua kalinya mampir di pundaknya setelah delapan tahun lamanya dia pernah mengampu tugas yang sama kurun waktu tahun 2000-2008.
Setelah Sr. Ludovika SFS yang tahun-tahun terakhir ini menjadi magistra Novis SFS telah ditugaskan belajar spiritualitas di Roma, maka tugas maha mulia –yakni mendidik para calon suster muda SFS—ini jatuh ke pundaknya lagi.
Setelah menikmati hari-hari panjang dan membahagiakan di Sragen, Jateng, Sr. Atanasia SFS kini bertugas di sebuah RS di Rangkasbitung, Serang, Banten. Sedangkan, Sr. Fransiska SFS yang masih sehat dan bugar tetap menjadi pemerhati lingkungan Perwakilan Yayasan Mardi Waluya di kawasan Cibinong, Kabupaten Bogor.
Perhatian segenap orang
Meriahnya pesta mensyukuri perjalanan hidup nan panjang sebagai suster biarawati bagi ketiga suster senior SFS itu bukan lagi perkara bahwa acara itu dihadiri oleh Bapak Uskup Keuskupan Bogor bersama 10 imam lainnya dari berbagai lokasi. Juga bukan karena dihadiri oleh sanak keluarga para suster pestawati dan ratusan umat dari berbagai kalangan yang memenuhi setiap sudut Biara Induk dan Rumah Retret St. Lidwina di Kota Sukabumi, Jabar.
Peristiwa syukur atas rahmat kesetiaan Tuhan dalam mendampingi ketiga suster senior SFS itu adalah perkara penting mengenai ‘kesaksian iman’.
Gereja bersaksi
Melalui pesta sederhana itu, Gereja ingin bersaksi bahwa menjalani hidup bakti sebagai suster religius di kurun waktu kekinian itu masih punya relevansi yang nyata. Hidup religius sebagai suster bukan hanya ‘urusan saya’ dan ‘masalah Kongregasi’, tapi juga punya dimensi sosial yang kental: berkarya untuk sebuah misi kemanusiaan yang tetap relevan sepanjang masa.
Melalui karya pendidikan dan kesehatan –dua bidang pekerjaan yang hingga kini ditangani para suster SFS—maka kesaksian hidup tentang makna sukacita dan ‘berbagi kasih’ itu menjadi nyata dan relevan. Itu sebuah kesaksian hidup yang tidak perlu dikisahkan atau diuraikan panjang-lebar.
Buktinya nyata. Itu antara lain dari hadirnya banyak orang yang menyediakan waktu khusus dan juga biaya besar dari Sungai Liat di Pulau Bangka, Gunung Kidul, Semarang, Yogya, Rangkasbitung dan banyak kota lainnya hanya untuk memeriahkan perayaan syukur atas pesta hidup bakti tersebut.
Perjalanan hidup tentu saja belum berhenti di sini. (Berlanjut)