Menjadi Pemimpin dan Gembala ala Mgr. Mandagi

0
1,343 views
Bapak Uskup Keuskupan Agung Merauke di Papua Selatan: Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC. (Ist)

18 DESEMBER 2015, Mgr P.C. Mandagi MSC akan merayakan 40 tahun Imamat. menyongsong acara itu, Keuskupan Amboina sedang menyiapkan acara Yubileum selain juga merayakan 100 tahun usia Uskup Emeritus Andreas Petrus Cornelis Sol MSC yang pernah memimpin Keuskupan Amboina selama periode 1964-1994.

Meski tidak terlalu sering bersua dengan beliau, setidaknya baru dua kali ini, saya ingin menyampaikan kesan yang saya tangkap dari perjumpaan mengesankan dengan pria asal Menado ini. Uskup satu ini dikenal sebagai Uskup yang tegas namun lembut. Perpaduan dua sifat yang sebenarnya bertolak belakang namun dimiliki keduanya oleh Bapa satu ini. Banyak orang mengenalnya sebagai Uskup yang dekat dengan semua pastor-pastornya. Karena dia betul-betul memperhatikan koleganya satu persatu dengan caranya lembut.

Gaya Kepemimpinannya yang tegas dan blak-blakan telah membentuk pastor-pastornya menjadi pribadi yang kuat dan disiplin. Namun hatinya yang lembut dan “ngemong” menjadikan Uskup satu ini tidak hanya disayangi oleh semua imam, namun juga semua umat katolik di Keuskupan Amboina. Tidak hanya, seluruh warga Ambon lintas agama hingga pejabat bahkan gubernur hormat padanya.

Ya, siapa lagi kalo bukan Uskup Diosis Amboina, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC. Uskup Mandagi, demikian biasa disapa telah menjadi Uskup Keuskupan Amboina selama lebih dari 20 tahun. Prinsip hidup yang selalu ia ajarkan kepada para imam adalah clean (bersih), green (hijau), disiplin, harmony, dan smile (senyum).

Kelima prinsip tersebut menjadi ketentuan wajib yang harus ditaati oleh semua imam di Keuskupan Amboina. Uskup Mandagi sangat mencintai kebersihan. Ia tidak segan-segan untuk turun tangan sendiri ketika melihat lantai, kursi ataupun WC yang kotor baik di wisma keuskupan maupun di Gereja Kathedral. Ketika sudah selesai membersihkan lalu ia akan beritahu imam. “Eh itu tadi ada Uskup sudah bersihkan WC”, cerita Bapa Mandagi saat makan malam bersama Sekretaris Eksekutif Komsos KWI dan Tim Indonesia menulis di Rumah Makan Ratu Guri di kota Ambon.

Meski terlahir bukan dari keluarga militer, namun kedua orang tuanya selalu mengajarkan kedisiplinan. Didikan itulah yang rupanya membentuk Canis, panggilan kecilnya, menjadi pribadi yang tegas dan disiplin. Sebagai Uskup, pemimpin seluruh imam dan umat, ia menerapkan kepemimpinan sebagai layaknya hubungan di dalam keluarga,antara ayah,ibu dan anak. Dimana ketika ada persoalan atau masalah diselesaikan dengan cara duduk bersama dan bicara. Tak perlu rapat-rapat untuk membahas masalah atau merencanakan sesuatu. Cukup duduk bersama dan bicara bersama tanpa kesan formil.

Baginya pemimpin harus menjadi teladan bagi yang dipimpinnya. Pemimpin harus konsekuen antara ucapan dan tindakannya. Hendaklah hidup kesehariannya bisa menjadi contoh bagi orang lain. Bisa dikatakan hidupnyalah yang berbicara. Sama seperti Yesus, yang selalu memberikan teladan bagi para muridnya. Tidak hanya memberi contoh dan teladan Uskup Mandagi juga berani menegur dan mengkritik perilaku pejabat atau aparat keamanan yang dirasa kurang memberi contoh.

Pernah satu ketika seorang pejabat pemerintah pusat yang datang ke kota Ambon untuk memberikan ceramah. Uskup Mandagi dalam sambutannya ia memuji sekaligus mengkritik pejabat pemerintah tersebut, karena tidak memberi contoh morak yang baik kepada masyarakat datang terlambat. Spontan sambutannya mendapat tepuk tangan dari seluruh audience dan sekaligus membuat si pejabat naik ke podium untuk menjabat tangan Uskup dan meminta maaf.

Uskup Mandagi sosok yang keras namun memiliki sisi yang lembut, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik sehingga bisa masuk ke semua kalangan baik orang biasa hingga pejabat pemerintah. Kritik yang pedas mampu ia sampaikan dengan cara yang berbeda sehingga tidak menyakiti orang yang ia kritik, namun mampu mengubah orang tersebut.

Konflik agama dan kerusuhan di kota Ambon beberapa tahun lalu telah meninggalkan luka dan trauma psikologis dalam jiwa hampir seluruh masyarakat. Dalam kondisi itu, sebagai seorang pemimpin Gereja Katolik, Mgr Mandagi berjuang keras untuk mengupayakan rekonsiliasi melalui jalan dialog. Baginya perdamaian harus dicapai melalui jalan perundingan secara damai dan adil dengan semangat kerendahan hati dan saling memaafkan serta mengampuni.

Dalam mencapai tujuan hidup yang matang setiap orang sepatutnya berusaha dan berpegang teguh pada prinsip hidup yang baik, motivasi dan kekuatan yang positif. Beberapa prinsip hidup Mgr. Mandagi yang melatarbelakangi paham dan bentuk kepemimpinannya selama lebih dari 20 tahun di Keuskupan Amboina adalah:

1. Nil Nisi Christum (Tidak ada apapun selain Kristus)
Kalimat ini merupakan motto tabisannya sebagai Uskup Diosis Amboina serta mengugkapkan inti kebenaran iman Kristiani yang tercermin dalam ungkapan St. Paulus “Bukan aku yang hidup, melainkan Kristus yang hidup dalam diriku” (Galatia 2:20). Keyakinan spriritual ini mendorong uskup untuk mengorbankan seluruh hidupnya demi hidup manusia, seperti menjadi rekonsiliator dan mediator selama kerusuhan terjadi di Ambon- Maluku.

2. Amori Forti Nihil Forte (Dengan kekuatan cinta tidak ada sesuatu yang mustahil)
Cinta kasih merupakan daya tarik yang mutlak dalam menghadapi segala hal, misalnya dalam menangani masalah kemanusiaan.

3. Fortitier in re Suafiter in Modo (Keras dalam prinsip tetapi lemah lembuh dalam cara)
Sesuai dengan spiritualitas yang dihayatinya sebagai seorang Misionaris Hati Kudus Yesus, ungkapan ini dipegang teguh dan diterapkan dengan onsisten dalam hidup, karya dan kepemimpinannya. Dalam hal-hal yang prinsip ia tidak pantang menyerah dan tidak memberi toleransi, ia tetap tegas dan tegar. Dalam menunjukkan prinsip dan sikapnya yang tegas ia tetap menggunakan cara yang lemah
lembut.

4. Verba Docent Exempla Trahunt (Kata-kata mengajarkan tetapi contoh membuktikan)
Menurut Uskup, pemimpin yang baik dan sukses adalah orang yang mampu memberi contoh yang baik dan nyata. Sebagai guru, nabi dan pemimpin, uskup tidak hanya mengajarkan dengan kata-kata tetapi menunjukkan bukti yang nyata. Uskup yang genap 40 tahun menjadi imam ini dengan tegas mengajarkan apa yang diyakininya dan melaksanakan apa yang diajarkan dengan konsisten. Misalnya uskup tidak hanya mengajarkan dan menuntut para pastornya untuk tekun berdoa dan setia dalam pelayanan tetapi ia sendiri lebih dulu memberi contoh tentang kesetiaan dalam doa dan pelayanan dengan hadir sebelum jam doa dan mengunjungi umat sesuai jadwal pelayanan.

5. Berubah itu susah tetapi tidak berubah itu fatal.
Menurut Mgr. Mandagi manusia tidak luput sari kelemahan, keterbatasan, kesalahan, keterpurukan dosa. Dan sejarah hidup manusia membuktikan bahwa peubahan untuk menjadi lebih baik tidaklah mudah, namun adalah fatal bila sama sekali tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan atau pertobatan merupakan sebuah misi kemanusiaan yang harus dilakukan oleh setiap orang untuk sirinya dan untuk sesamanya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here