PCID Vatikan Apresiasi Komitmen NU Gelorakan Semangat Bersama Bina Kerukunan Sosial (6)

0
624 views
Rombongan delegasi Indonesia dan PCID berfoto dengan latar belakang Lapangan Santo Petrus (KBRI Vatikan)

INI pertemuan yang menggembirakan dan memberi angin segar.

Demikian Romo Markus Solo SVD, anggota Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama (Pontifical Council for Interreligious Dialogue, PICD), mengomentari pertemuan antara delegasi Indonesia pimpinan anggota Wantimpres RI KH Yahya Cholil Staquf bersama Mgr. Agustinus Agus dari Keuskupan Agung Pontianak dengan jajaran PCID.

Pertemuan itu berlangsung hari Selasa petang tanggal 24 September 2019 lalu di Kantor PCID yang lokasinya hanya selemparan batu dari Lapangan Santo Petrus Vatikan.

Dalam pertemuan itu, delegasi Indonesia diterima dengan hangat oleh Sekretaris PCID Mgr. Indunil Kodithuwakku yang berasal dari Sri Lanka.

“Saya ikut menyambut dan menghadiri rangkaian diskusi dalam pertemuan tersebut. Ini sesuai kapasitas saya sebagai Kepala Desk Islam Asia-Pasifik,” papar Romo Markus Solo SVD menjawab Sesawi.Net hari Jumat petang tanggal 27 September 2019.

Romo Markus Solo SVD, anggota Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama (PCID) sekaligus Kepala Desk Islam Asia-Pasifik PCID– berfoto bersama dengan tamu delegasi Indonesia yang dipimpin anggota Wantimpres RI KH Yahya Cholil Staquf (kedua dari kanan) dan Mgr. Agustinus Agur dari Keuskupan Agung Pontianak, Kalbar (paling kanan).
Tamu delegasi Indonesia dan Romo Markus Solo SVD berfoto di depan Kantor PICD, tidak jauh dari Lapangan Santo Petrus Vatikan.

Munas NU tolak penggunakan kata “kafir”

Dalam pertemuan bersama antara PCID dan rombongan delegasi Indonesia itu antara lain dibahas beberapa hal penting. Di antaranya adalah kondisi bangsa dan negara Indonesia di mana akhir-akhir ini sering terjadi ketegangan antarumat beragama.

Kasus-kasus intoleransi dibahas dan didiskusikan bersama. Termasuk di antaranya fenomena kecenderungan sekelompok umat beragama yang semakin ingin “menutup diri” dan menjadikan komunitasnya eksklusif.

Merespon paparan tersebut, PCID mengemukakan beberapa hal yang kiranya bisa menjadi catatan bersama. Di antaranya sebagai berikut:

  • PCID menyambut baik keputusan Munas NU belum lama ini yang resmi telah menolak menggunakan istilah dan kata “kafir” untuk menyebut komunitas umat agama lain.
  • Kata tersebut secara an sich (pada dirinya sendiri) memang tidak “bersahabat”. Baik secara etimologis maupun semantik, kata itu bersifat diskriminatif.
  • Dengan itu pula, kata atau istilah itu tidak mendukung terjadinya semangat damai dan upaya membina kerukunan bersama atas dasar nilai-nilai kemanusiaan umum atau humanity yang secara inheren melekat pada umat manusia.

Pentingnya pendidikan

Atas diskusi bersama itu, kepada anggota Wantimpres RI KH Yahya Staquf dan sejumlah Ketua GP Ansor dari beberapa wilayah, PCID merespon positif  atas gagasan itu dan mengajak jajaran NU agar mampu menjadikannya semangat bersama.

Menurut Romo Markus Solo SVD, Kepala Desk Islam Asia-Pasifik PCID, upaya membina dan membangun semangat bersama untuk kerukunan sosial itu harus dimulai dari nilai-nilai kemanusiaan pada umum.

Barulah berikutnya, kata pastor dari Serikat Sabda Allah (SVD) mantan anggota Provinsi Austria dan kini tinggal di Generalat SVD ini, semangat baik itu mesti ditanamkan secara intens dan terus-menerus di bangku sekolah.

“Pendek kata,” ungkap Romo Markus Solo SVD, “pembinaan semangat itu harus dilakukan melalui jalur pendidikan.”

“Kalau kita secara bersama-sama menginginkan masa depan Indonesia yang damai dan rukun, maka kita semua harus mulai dari sekarang serius bekerja keras membangun semangat itu melalui  jalur pendidikan,” demikian argumen imam SVD asal Indonesia ini.

“Kita harus melawan sikap cuek dan tak mau peduli akan hal sedemikian penting ini. Mengapa demikian? Ini karena dalam dunia relasi antarumat beragama juga  berlaku pepatah yang sama yakni ‘dikenal, maka juga disayang’.  Oleh karena itu, kita tidak boleh hanya berpangku tangan dan berhenti pada sikap sekedar menciptakan toleransi umum,” papar Romo Markus Solo SVD.

“Tidak hanya berhenti di situ saja. Melainkan harus lebih dari itu. Yakni, menuju hidup sosial bersama (co-existence) yang dijiwai oleh rasa kasih persaudaraan sesama manusia (human fraternity). Dan itu tidak lain harus dimulai dari panggung pendidikan,” tegasnya.

Para peserta diskusi terbuka antara delegasi Indonesia pimpinan anggota Wantimpres RI KH Yahya Cholil Staquf dan Mgr. Agustinus Agus dengan mitranya dari Vatikan yakni Dewan Kepausan untuk Dialog Antargama atau Pontifical Council for Interreligious Dialogue (PCID).
Rombongan delegasi Indonesia berfoto di depan kantor lembaga PCID dengan latar belakang Lapangan Santo Petrus Vatikan dan Basilika.

Menerima keberagaman

Menurut Romo Markus Solo SVD, pendidikan yang baik dengan mengedepankan semangat human fraternity itu harus dimulai pertama-tama dari rumah, dari keluarga. Barulah kemudian, penanaman semangat itu ditumbuhkembangkan di basis pendidikan PAUD, SD, SMP-SMA, dan kemudian di Perguruan Tinggi.

“Sejak dini, anak-anak harus diberitahu dan dididik bahwa Indonesia adalah bangsa pluralis. Mereka itu harus diajari bisa menerima kenyataan akan keberagaman di banyak aspek kehidupan masyarakat di bidang bahasa, budaya, tata nilai, etnisitas, dan masih banyak lagi,” tegas Romo Markus Solo SVD sembari menjelaskan faktisitas dan entitas bangsa Indonesia yang pada kenyataannya memang begitu majemuk.

Pendidikan inklusif

Ditanyai Sesawi.Net tentang bentuk model pendidikan macam apa yang harus dilakukan di Indonesia, demikian kata Romo Markus Solo SVD, maka tidak lain kecuali model pendidikan inklusif.

Artinya, tegas Romo Markus Solo, semua jenjang pendidikan itu harus mampu membuka cakrawala anak-anak didik pada pemahaman dan penerimaan akan keberagaman.

“Mengapa sampai kemudian muncul radikalisme agama? Itu karena model pendidikan yang keliru dan meninggalkan aspek pentingnya yakni kesadaran dan penerimaan akan keberagaman itu,” demikian argumen Romo Markus Solo SVD yang dia sampaikan di saat berlangsung pertemuan antara PCID dan delegasi Indonesia pimpinan anggota Wantimpres KH Yahya Cholil Staquf.

Menurut Romo Markus Solo SVD, model pendidikan nasional kita harus mengarahkan pada murid dan mahasiswa pada sikap arif, juga sadar bahwa keberagaman itu nyata dan indah.

“Bersedia menerima ‘yang lain’ itu sebagai saudara sesama anak bangsa dan bukannya menghakim mereka hanya karena mereka itu ‘orang lain’. Pendek kata, berbeda itu indah dan menerima perbedaan itu merupakan sesuatu hal lumrah di mana-mana,” papar Romo Markus Solo SVD.

Mengunjungi Imam Masjid Agung Roma.
Mengantar delegasi Indonesia bertemu dengan Imam Masjid Agung Roma.

“Negara kita memang dikehendaki oleh Tuhan sedemikian ragamnya sehingga kita masing-masing ini bisa  saling mengenal dan  memperkaya. Sekaligus sesama kita itu bisa menjadi teladan bagi yang lain. Karena itu, saya sangat mendukung upaya NU untuk senantiasa tanpa henti  memperjuangkan identitas Islam yang mengakar pada sejarah dan budaya khas Indonesia yakni menghargai pluralisme,” tambahnya.

“Artinya, kita semua ini adalah benar-benar 100 persen orang Indonesia yang kebetulan saja punya keyakinan religius berbeda-beda,” tegas Romo Markus Solo SVD di forum diskusi PCID dengan delegasi Indonesia hari Selasa petang tanggal 25 September 2019 lalu. (Selesai)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here