Pentingnya Kontekstualisasi Pengajaran Iman

0
1,390 views

Pengantar Redaksi:

Paparan Uskup Agung Semarang Mgr. Johannes Pujasumarta atas hasil sidang Dewan Imam KAS di Pasturan Sanjaya Muntilan 4-5 Juni lalu menuai tanggapan positif. Terutama menyangkut pentingnya kontekstualisasi pengajaran iman yang mesti disesuaikan dengan nafas zaman.

Methodius Kusumahadi –perintis LSM  Satunama Yogyakarta—merespon positif ajakan Uskup Agung Semarang. Terutama ketika  Mgr. Johannes Pujasumarta menggulirkan pemikiran agar  para pastur di lingkungan KAS tetap setia menyemai semangat panggilan rasuli sebagai imam yakni mengajar iman.

——————-

SEMBAH nuwun Mgr. Puja, saya diberi kesemapatan ngicipi hasil pertemuan sidang Dewan Imam KAS.  Sebagai aktivis katolik, saya tidak meragukan keikutsertaan para imam menyatukan diri dalam “trisuci” pelayanan Tuhan: mengajar/pelayan Sabda (Presbytorium Ordinis 4) dan menafsirkan; menguduskan/pelayanan sakramen (PO5) dan mengembalakan, memimpin (PO6).

Dari pengalaman sebagai umat beriman, ada tiga  hal saya haturkan sebagai umpan balik saya dalam perspektif kontektualisasi:

  1. Soal pendekatan (methodological approach). Manusia zaman dulu bisa “mendengarkan”. Karena tehnologi yang dihasilkannya, manusia sekarang ingin “didengarkan”. Jadi,  mengajar harus  berangkat dari apa yg diketahui, dimiliki oleh yang diajar, bukan berangkat dari apa yang dimiliki pengajar.  Ilmu sosial meringkas dalam apa yg disebut “evidence based techniques, evidence based decision making, evidence based public policy” dan lain sebagainya. Dengan spirit tersebu,  maka pegajar didorong memiliki semangat “mencari terus menerus” seperti nasehat Santo Bernardus :”Sebab, the love of God is beyond measures”.
  2. Assessment terhadap keadaan saat ini perlu dilakukan secara partisipatif terbatas, agar perspektif  kontekstual lebih mendekati objektivitas multidimensi (lintas sektor) sehingga strategi pastoralnya lebih efektif berlapis sesuai
    kapasitas objektif setempat mulai dari bawah ke atas (sejak dari kelompok basis, kring, lingkungan,wilayah, paroki, vikep,keuskupan, regional, nasional).
  3. Penanaman habitus baru yang strategis harus selalu bersifat struktural, dan hanya mungkin jika ada fungsi dalam kelembagaan yg memberi fokus pada sektor tersebut, sehingga tidak bersifat ad hoc.

Ini sekedar syering  saja: Yayasan Satunama butuh waktu sedikitnya 15 tahun secara terus-menerus melatih aktivis/pimpinan Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia lewat 11.500 alumni dari Aceh-Merauke untuk bisa menyumbang “sedikit perubahan”.

Sembah nuwun Mgr. Puja
Sungkem saking Ngayogyakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here