Pijar Vatikan II: Paus Fransiskus, Pemimpin Gereja Katolik yang Penuh Kejutan (32H)

0
1,873 views
Ilustrasi: Dua bocah Indonesia blangkonan ikut bersama Paus Fransiskus naik papamobile keliling Lapangan Santo Petrus Vatikan. (Ist)

SEJAK konsistori yang pertama 22 Februari 2014, Paus Fransiskus tidak pernah tidak membuat kejutan.

Pada kloter pertama konsistorinya, kita dikejutkan dengan terpilihnya Uskup Chibly Langlois sebagai Kardinal baru. Tak ada yang mengira bahwa Uskup Langlois dari Keuskupan Les Cayes, Haiti ini ditunjuk Paus menjadi Kardinal.

Haiti termasuk negara yang paling miskin di dunia, dan yang termiskin di seluruh belahan bumi barat. Selama ini juga belum pernah ada Kardinal dari Haiti.

Pada kloter konsistori angkatan Kardinal Suharyo ini, Paus Fransiskus memberi kejutan penunjukan Kardinal untuk Rabbat Maroko dan Huehuetenango, Guatemala.

Keuskupan Huehuetenango bahkan hanya Keuskupan kecil, bukan Keuskupan Agung. Belum pernah ada juga Kardinal untuk Maroko.

Ini pasti “bonus” dari kunjungan Paus ke Maroko baru-baru ini.

Keuskupan mentereng di Italia

Sementara itu, beberapa wilayah penting seperti Milan, Torino, dan Venezia di Italia, sampai hari ini belum diberi jatah Kardinal baru oleh Paus.

Kurang hebat apa Gereja Katolik di Milan dan Venezia yang sudah selalu menjadi “sede cardinalizia” dan telah mencetak banyak Santo dan Santa dalam Gereja kita.

Juga Keuskupan Philadelphia dan Los Angeles di Amerika yang selama ini selalu dipimpin oleh Kardinal. Konon Uskup Agung Philadelphia Mgr. Charles Chaput sering tidak “senada” gaya pastoralnya dengan Paus sekarang.

Maka, Paus Fransiskus pada konsistori 2016 lebih memilih Mgr. Joseph Tobin dari Newark, New Jersey, sebagai Kardinal dan sekaligus menjadi Uskup Agung Indianapolis.

Umat Katolik keturunan Hispanic (Spanyol) yang di Amerika jumlahnya jutaan itu juga sedang berdebar-debar menunggu terpilihnya Kardinal pertama keturunan Hispanic Amerika.

Yang digadang-gadang tentu siapa lagi kalau bukan Uskup Agung Los Angeles Mgr.Jose Gomez. Banyak issue yang beredar, Mgr. Gomez belum dipilih Paus jadi Kardinal Los Angeles, karena dia anggota Opus Dei.

Banyak Uskup sekarang tidak merasa nyaman dengan kiprah para Opus Dei yang sempat bergitu berjaya di masa Paus Johanes Paulus II.

Begitu issue yang beredar. Namanya juga issue.

Kardinal dari Eropa Timur juga tidak ada pada konsistori kali ini. Padahal banyak yang mengira pemimpin Gereja Katolik Yunani di Ukraina: Uskup Agung Sviatoslav Shevchuk, seharusnya mendapat “baret merah”.

Apalagi yurisdiksi Uskup Agung ini dalam ritus Bizantine, meliputi Buenos Aires, Keuskupan yang pernah dipimpin Bergoglio sebelum terpilih menjadi Paus.

Enam kali konsistori, Paus belum menunjuk Mgr. Shevchuk sebagai Kardinal, tentu menimbulkan banyak tanda tanya. Perkembangan Gereja Katolik di Eropa Timur harus mendapat dukungan dan simpati lebih dari para petinggi Gereja di Vatikan.

Perubahan numerik

Dari segi angka, ada perubahan yang cukup berarti sejak awal pemilihan Paus Fransiskus sampai konsistori hari ini.

Pada pemilihan Paus Fransiskus pada tahun 2013, sebanyak 35% Kardinal pemilih adalah anggota Kuria Vatikan, anggota Departemen Pemerintahan Vatikan.

Sesudah konsistori kloter Kardinal Suharyo hari ini, jumlah kardinal pemilih dari Kuria Vatikan tinggal 26%.

Kardinal yang berasal dari Italia juga turun tajam. Dari semula 24%, dengan konsistori hari ini jumlahnya tinggal 18%.

Secara keseluruhan, para Kardinal Pemilih dari Eropa, dengan konsistori hari ini, angkanya juga turun cukup signifikan: dari semula 52% sekarang tinggal 42%.

Kardinal pemilih dari Amerika Serikat juga turun 3%. Dari semula 10% dari Paus Benedictus XVI, menjadi cuma 7% pada era Paus Fransiskus.

10 Kardinal Elektor

Dengan tambahan 10 Kardinal Pemilih pada konsistori hari ini, maka para “pemenangnya” adalah Amerika Latin, Afrika, dan Asia.

  • Kardinal Pemilih dari Amerika Latin meningkat 2% menjadi 18.5%.
  • Afrika meningkat 4% menjadi 14%.
  • Asia meningkat 3% menjadi 12%.
Konsistori Kardinal di Basilika St. Petrus Vatikan, Sabtu tanggal 5 Oktober 2019. (Ist)

Singkatnya, wajah para Kardinal kini tidak “terlalu putih” dan tidak terlalu Eropa.

Para Kardinal dari belahan Bumi Selatan, kini jumlahnya meningkat drastis: dari 35% saja menjadi 44%. 

Jelas sekali, Paus Fransiskus memberi perhatian yang sangat besar pada Gereja Katolik “pinggiran”.

Dalam memilih “tim”-nya, Paus Fransiskus kini tidak lagi terikat pada pakem pusat-pusat “kekuasaan” Gereja yang tradisional dan konservatif.

Istilah Kardinal sebagai “Pangeran Gereja” pelan-pelan juga tersingkir. Contoh yang sangat jelas adalah “nasib” Keuskupan Super seperti Milano.

Sampai konsistori keenam ini, Paus Fransiskus masih juga melewati penunjukan Mgr. Mario Enrico Delpini, Uskup Agung Milano.

Sementara itu, Paus nyentrik ini malah mengangkat Mgr. Giuseppe Petrocchi dari Keuskupan L’Aquila menjadi Kardinal.

Seperti kita tahu, pada tahun 2009, kota L’Aquila yang tidak berapa jauh dari Roma ini kena gempa besar yang menewaskan 308 orang dan meruntuhkan banyak sekali bangunan bersejarah.

Bagi Paus Fransiskus, pemimpin Gereja yang bekerja keras merehab bencana besar macam L’Aquila itu pantas mendapat kehormatan seorang Kardinal.

Anti Paus

Pasti banyak sekali fihak-fihak yang tidak suka pada gaya penggembalaan dan “pemerintahan” Paus Fransiskus ini, termasuk dalam mengangkat para Kardinalnya.

Paus Fransiskus tahu benar, bahwa para Kardinal itu bukan sekedar posisi untuk memilih Paus mendatang.

Para Kardinal adalah juga pembantu Paus yang utama. Collegio Kardinal adalah rekan bekerja Paus yang sangat diandalkan.

Maka “kesengajaan” Paus Fransiskus dalam “pendekatan pastoral” yang berbeda dengan para pendahulunya adalah strategi yang memang sudah dipertimbangkan matang-matang.

Pater Adolfo Nicolas SJ, mantan Pater Jenderal Jesuit, konon pernah diajak secara pribadi berdiskusi cukup lama mengenai “positioning” Paus Fransiskus ini.

Paus Fransiskus pada pertemuan dua sahabat Jesuit itu mengatakan, ia akan tetap menjadi Paus, “until the changes are irreversible.”

Membenahi Collegio Kardinal seperti yang Paus Fransiskus harapkan, nampaknya adalah arah dan keniscayaan yang harus ia ambil.

Ignatius Kardinal Suharyo di Aula St. Paolo, sesaat usai pelantikannya menjadi Kardinal di Basilka St. Petrus Vatikan, 5 Oktober 2019. (Ist)

Bukan seperti pelantikan anggota DPR

Hari Sabtu pekan lalu itu, kita Umat Katolik Indonesia pantas berbangga dan bersyukur diberi Tuhan Kardinal baru dalam diri Bapak Kardinal Suharyo.

Pelantikan Kardinal Suharyo hari Sabtu pekan lalu itu tentu bukan seperti pelantikan para anggota DPR kita beberapa hari yang lalu.

Para wakil rakyat yang kemarin dilantik,memenangkan suara pemilih dalam jumlah tertentu. Apakah mereka menang dan melenggang ke Senayan dengan cara yang baik dan benar sehingga pantas mengemban kursi sebagai “wakil rakyat”, silahkan anda masing-masing menilai.

Yang pasti, kita semua yakin tidak semua anggota DPR yang kemarin terpilih dan dilantik, berhasil memenangkan “hati” rakyat, kendati ia memenangkan jumlah suara tertentu.

Hadiah baik untuk Gereja Katolik Indonesia

Lain dengan pilihan Kardinal Suharyo. Putera dari Sedayu, Daerah Istimewa Yogyakarta ini, sejak kecil sudah menjadi orang istimewa yang telah memenangkan hati umat Tuhan.

Bapak Kardinal Suharyo sebagai imam dan Uskup sungguh merupakan anugerah besar untuk gereja Indonesia. Pengangkatan beliau sebagai Kardinal pada kloter konsistori hari ini, seperti kata teman-teman: memang “sudah layak dan sepantasnya”.

Ignatius Kardinal Suharyo (berdiri, paling kiri) saat masih sangat muda sebagai frater yang tengah menjalani Tahun Orientasi Pastoral di Seminari Mertoyudan, kira-kira tahun 1972-an. (Dokumen Seminari Mertoyudan)

Kelayakan dan kepantasan Mgr. Suharyo sebagai imam, sebagai Uskup dan sebagai sahabat beriman sungguh sudah teruji.

Boleh-boleh dan sah-sah saja, kalau pelantikan sebagai Kardinal hari ini, dianggap oleh begitu banyak orang sebagai “prestasi”, sebagai puncak karir, sebagai peraih jabatan tinggi setinggi jabatan presiden.

Namun saya sangat tidak yakin kalau Bapak Kardinal Suharyo memiliki pendapat seperti itu.

Ketika tahun 1997, Mgr. Suharyo mampir ke Pertapaan Trappist Santa Maria di Rawaseneng untuk bertemu kakak kandungnya yakni alm. Romo Suitbertus Sunardi OCSO, pertapa Trappis di situ, saya sempat menyalami Mgr. Haryo sebelum beliau ditahbiskan menjadi Uskup Semarang.

Jawabnya: “Dados Uskup punika musibah!” – “Jadi Uskup itu bencana!”

Undian bebas canda

Saya sempat serumah selama satu setengah tahun dengan Romo Suharyo di Seminari Tinggi Kentungan, semenjak beliau pulang dari tugas studi di Roma pada pertengahan tahun 1981 sampai akhir tahun 1983.

Pada sekitar bulan Agustus tahun 1982, Romo Haryo ikut menghadiri Munas Romo-Romo Projo se Indonesia yang menyepakati terbentuknya wadah Unio Indonesia.

Munas itu diadakan di Paroki Bonaventura Pulomas. Tuan rumah Munas adalah Unio KAJ dan ibu-ibu paroki.

Pada penutupan Munas, ibu-ibu Paroki Pulomas di bawah arahan Ibu Rieta Bandy mengedarkan “angket bercanda” kepada seluruh umat dan para Romo yang hadir, siapa Romo Unio yang paling ganteng dan paling baik.

Pemenangnya dua.

  • Yang paling ganteng dan sekaligus paling baik adalah Romo Haryo.
  • Runner-up-nya Romo Marcel Bria. Yang terakhir ini juga terpilih oleh ibu-ibu Pulomas waktu itu, sebagai yang paling macho.
  • Ada-ada saja ibu-ibu itu !

Romo Haryo hanya tersenyum malu menerima potongan tumpeng hadiah pemenang Romo paling ganteng dan paling baik itu.

Kami para sahabat Mgr. Suharyo memang akan terus bersyukur pernah dianugerahi Tuhan orang seperti beliau dalam hidup ini. Tidak hanya ibu-ibu Paroki Pulomas, semua merasakan kalau Mgr. Suharyo memang orang yang baik, orang yang ganteng lahir dan batinnya, luar dan dalamnya. Utuh, bulat, tidak tercela.

Ia pantas ditunjuk menjadi Kardinal, karena ia tidak hanya memiliki kebaikan dan kepandaian, tetapi karena juga memiliki hati dan iman yang luar biasa indahnya.

Sepindhah malih: saestu ndhèrèk bingah saha mangayubagya Bapak Kardinal Suharyo.

Kami semua sangat bangga dan bahagia untuk anugerah Bapak Kardinal yang sejak dulu selalu menjadi teladan iman dan beriman kami senyatanya, sekarang ini, di sini, di negeri yang amat kami cintai ini.

Kelapa Gading, Sabtu 5 Oktober 2019

Dini hari menjelang pelantikan Bapak Kardinal Suharyo

Dalam doa dan bahagia – A. Kunarwoko

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here