Pijar Vatikan: Injil “menurut “Paulus Arswendo (31D)

0
368 views
Arswendo by Detik.com

SAYA mengenal Arswendo dari sebelum dia dibaptis menjadi Katolik. Awal tahun 1985, setelah ditugaskan sebentar di Paroki Salib Suci Cilincing, saya disuruh “bos” saya Uskup Agung Jakarta waktu itu Mgr.Leo Soekoto SJ menjadi pastor pembantu (istilah sekarang lebih keren: Pastor Rekan) di Paroki Santo Mateus Bintaro.

Walau sudah  resmi menyandang nama Paroki, tetapi umat Bintaro waktu itu belum punya gereja sendiri. Kami Masih “nebeng” di bangunan milik Kodam Jaya.

Romo Otello Pancani SX, missionaris Xaverian dari kota Sassuolo Modena Itali Tengah itu, adalah Pastor Kepalanya. Tugas utama Romo Otello adalah membangun gedung gereja. Sementara saya diminta ngurus hal-hal yang bukan urusan pembangunan gereja dan pastoran.

Begitu pembagiannya. Jadilah sebagai pastor baru yang belum ada setahun tahbisan, pekerjaan saya yang utama adalah “blusukan”. Hampir 80% umat katolik Paroki Bintaro sudah saya kunjungi rumahnya.

Biasanya sebelum misa lingkungan pukul  7 sore, saya sudah keliling mengunjungi umat dari jam 3 sore. Ketua lingkungan, beberapa mudika atau bahkan misdinar, mengantar saya sekalian menunjukkan rumah umat yang jarang muncul dan sebaiknya diberi prioritas kunjungan.

Mgr Leo Soekoto pada suatu kesempatan Tepas (Temu Pastor), secara terbuka pernah memuji efektifitas kunjungan pribadi semacam itu dalam pemberesan perkawinan. Memang tahun itu pemberesan perkawinan di Paroki Bintaro meningkat pesat sekali.

Saya ingat, pertama kali saya berkunjung ke rumah Mas Wendo sehabis misa di Lingkungan Michael Pesanggrahan. Kalau ngga keliru, saya  mampir ke rumahnya sehabis misa di rumah Pak Advent Kuang tetangga Mas Wendo di Komplek Kompas.

Apakah pertemuan dengan saya itu dan obrolan-obrolan selanjutnya lalu membuat Mas Wendo jadi Katolik ? Tentu saja tidak. Saya sama sekali tidak pernah merasa “berjasa” membuat Arswendo dibaptis jadi Katolik.

Kalau ngobrol sama Mas Wendo, walaupun saya ini pastor di parokinya, sekalipun saya tidak pernah mengajak atau meminta dia jadi Katolik. Obrolan kami kebanyakan malah gurauan sana-sini tentang yang lucu-lucu.

Kepada yang menengoknya di penjara termasuk Romo Mudji, secara berkelakar Mas Wendo sering bilang: “Saya ini jadi Katolik, karena isteri saya dan disuruh Romo Kun.”

Yang pasti benar adalah Arswendo menjadi Katolik karena katekese hidup isterinya dan doa isterinya mbak Agnes yang tak pernah henti. Seperti kisah Santa Monica yang mendoakan Agustinus anaknya yang badung, itulah kira-kira.

Waktu saya ditugaskan di Paroki Bintaro awal 1985 sampai pertengahan 1986 itu, usia Mas Wendo 37 tahun. Saya baru setahun ditahbiskan imam. Bisa dibayangkan, di usia produktif dan usia puncak begitu Mas Wendo lagi getol-getolnya menulis, kerja dan cari duit, termasuk kemudian membesarkan tabloid Monitor yang tersohor itu.

Sehabis misa, walau bukan misa di lingkungan Mas Wendo, saya sering menyempatkan diri datang ke rumah Wendo.  Biasanya, dari kantor Mas Wendo nelpon ke pastoran. Maklum waktu itu belum ada HP. Dengan gayanya yang meriah, Mas Wendo bilang : “Mangké ndalu kagungan acara mboten ? Kita ‘mbut gé ngga!” Nanti malam punya acara ngga ? Kita “kerja”yuk .

Istilah “kerja” itu untuk kami-kami umat Bintaro artinya ngobrol-ngobrol serius. Kalau kerja beneran itu malah kami anggap biasa-biasa saja, kalah serius dengan “kerja” ngobrol-ngobrol itu. Terus terang, saya banyak belajar dari umat Bintaro pada kesempatan “mbut gé” (nyambut gawé), alias “kerja” alias ngobrol serius itu.

Selain Arswendo, di Paroki Bintaro ada pak J. Sudarko Prawiroyudo mantan anggota DPR-RI dari Partai Golkar dan almarhum Pak Thomas Soegito mantan Kepala RRI dan Kepala BP7, yang suka ngajak saya “kerja” yang artinya ngobrol serius sampai tengah malam itu.

Sebagian cukup besar umat Paroki Santo Mateus adalah karyawan, TNI dan PNS. Mereka tinggal di komplek perumahan. Ada komplek Kodam, Depsos, P&K, Departemen Perdagangan, Penerangan, Peruri, Komplek Kompas dsb.

Gereja darurat waktu itu sungguh menjadi tempat pertemuan yang “menyejukkan” bagi umat dengan pelbagai profesinya tersebut. Dari umat yang menyenangkan itu, saya sungguh mendapatkan banyak sekali kisah-kisah nyata perjuangan hidup beriman yang luar biasa di tengah ganasnya tuntutan hidup di Ibu Kota.

Saya banyak berhutang budi pada umat Paroki Santo Mateus Bintaro, karena mereka mengajarkan saya cara beriman yang tangguh.

Sampai saya berangkat ditugaskan studi ke Roma, Mas Wendo belum dibaptis. Dari Romo Mudji, saya mendapat cerita bahwa Romo Paroki menunda baptisan Arswendo karena Seksi Katekese menilai Arswendo terlalu sering “bolong-bolong” dalam mengikuti pelajaran agama.

Saya lalu membayangkan Pak Yitno, katekis paroki yang sudah sepuh dan setia itu, pasti kewalahan memberi pelajaran agama kepada orang seperti Arswendo.

Bisa-bisa katekis kita yang sederhana seperti Pak Yitno itu, malah “dikuliahi” wartawan macam Arswendo yang pengetahuannya lebih banyak dan lebih kaya.

Berkatekese dengan gaya dan isi yang “baku”, pasti tidak akan “nyambung” dengan cara pikir katekumen macam Arswendo. Bapak Uskup Agung Jakarta sampai mengetahui kasus ini dan ikut turun tangan.

Ketika Mgr. Leo Soekoto SJ datang ke Roma untuk pertemuan dengan Kuria Vatican, saya tanya kepada beliau tentang kasus baptisan Arswendo ini.

Dengan entengnya, Mgr. Leo menjawab: “Arswendo itu ‘kan wartawan. Gimana ceritanya dia disuruh taat waktu ikut pelajaran rutin. Kalau paroki tidak mengizinkan baptis karena bolong-bolong itu, dia berhak naik banding ke Uskup. Kan di atas Romo Paroki ada Uskup?”

Pasti “dukungan” dari Gembala Agung KAJ inilah yang juga membuat Mas Wendo makin mantab menjadi Katolik.

Ketika di Roma saya mendengar Mas Wendo dibaptis dan tidak lama kemudian masuk penjara karena kasus angket Tabloid Monitor, saya cuma bisa tertegun.

Di satu sisi saya tentu ikut bahagia, sahabat saya akhirnya memutuskan untuk dibaptis. Saya yakin itu keputusan besar dalam hidup Mas Wendo dan pasti sudah dipertimbangkan baik. 

Ketika dia dipenjara karena kasus Tabloid Monitor, dari Roma saya tentu ikut sedih dan sangat prihatin. Yang waktu itu langsung terbayang adalah kesedihan mbak Agnes dan putra-putrinya menerima kenyataan bahwa suami dan ayah mereka masuk penjara. Entah kenapa, saya tidak terlalu khawatir dengan Mas Wendo.

Saya lebih khawatir dengan keadaan Mbak Agnes dan putra putrinya. Kepada Mas Wendo saya lebih punya keyakinan ia akan bisa melalui masa sulit ini dengan baik.

Dengan gaya  “cengèngèsan”nya, ketabahan, kreatifitas dan kepandaiannya bergaul, Mas Wendo pasti bisa menghadapi kenyataan hidup di bui selama 5 tahun itu.

Mendengar berita Mas Wendo dipenjara, saya lalu membayangkan lagi obrolan-obrolan saya dengannya, setiap kali kami “mbut gé, nyambut gawé”, ngobrol-ngobrol serius” itu. Memang, sejak pertemuan saya yang pertama, saya langsung terkesan pada kedalaman refleksi, pengetahuan dan ketajaman cara pandang seorang Arswendo.

Tidak mengherankan, saya lalu cukup enak dan nyaman ngobrol dengan Mas Wendo. Apapun yang diobrolkan selalu memberi sesuatu yang “nikmat” dan “gayeng”.

Ibarat makan, sehabis ngobrol dengan Mas Wendo, rasanya saya ini “kenyang” seperti habis makan enak dan bergizi tinggi. Padahal yang kami obrolkan tidak selalu yang serius.

Malah banyak yang “katro”, ndlodog dan nylekuthis. Hal-hal sepele seperti ngupil, bau pete dan semacamnya. Dia juga Masih selalu ingat tentang “filsafat bolongan” yang saya dapat dari obrolan saya dengan tukang becak yang sering mangkal di depan Pastoran Cilincing.

Pengalaman rekoleksi saya waktu di Cilincing dengan para WTS Katolik Kramat Tunggak yang seru itu, juga dia acungi jempol. Tentu obrolan serius soal beda beriman dan beragama juga tentu saja sering kami obrolkan.

Tetapi obrolan yang disukai Mas Wendo, sebenarnya adalah obrolan tentang beriman dan beragama. Ini termasuk obrolan favorit Mas Wendo sebelum dibaptis.

Setelah jadi Katolik, kami malah jarang ngobrol tentang yang satu ini. Kami sering diskusi, apa percaya sama Tuhan itu harus dibaptis ?

  • Apa baptis itu jaminan “masuk surga”?.
  • Apa dengan baptis, kita harus tambah saleh?
  • Lha kalau bawaan kita suka selingkuh dan omong jorok misalnya, apa ya dengan baptis tidak malah membebani?

“Lha bisnis tulisan saya ini tulisan “sekwilda” (sekitar wilayah dada) yang seronok itu jé.”, begitu celetukannya suatu ketika.

Selain yang syur-syur yang biasanya kami ulas sambil “cekakaan”, tentu kami juga pernah ngobrol mengenai hal-hal sangat teologis berat seperti “extra ecclesiam nulla salus”, dosa asal, kiamat, arti Bunda Maria diangkat ke surga dengan mulia, dsb.

Yang pasti, sejak semula saya memang sangat terkesan dengan peziarahan dan pencarian Mas Wendo dalam mencari Tuhan. Pelan-pelan saya merasa bahwa Arswendo adalah orang yang memiliki iman yang baik, benar, yang tidak terbelenggu dengan macam-macam simbol. Dia tulus. Jujur dengan dirinya sendiri. Tidak pura-pura jujur.

Dengan caranya yang unik, Arswendo selalu bisa menemukan hakikat terdalam dari iman dan beriman. Dia bisa sampai pada keyakinan bahwa ukuran iman itu bukan rajin berdoa, banyak beramal, jadi orang saleh atau orang kudus, yang ukurannya adalah prestasi diri.

Beriman itu berarti tegas menyatakan diri, bahwa pusat hidup itu bukan lagi pada diri sendiri, tetapi pada Allah, pada Tuhan Yesus yang kita ikuti.

Karenanya, pada orang seperti Mas Wendo, saya lalu juga tidak segan-segan sharing mengenai hidup dan perjuangan iman saya sendiri. Saya pernah bilang ke Mas Wendo, imamat saya ini harus membuat saya lebih beriman.

Kalau pada suatu ketika, imamat ini tinggal menjadi jabatan, kedudukan yang tidak semakin membuat saya beriman, pasti tidak segan-segan saya akan meninjaunya lagi.

Mendengar sharing subyektif ini, dengan tawanya yang khas Mas Wendo cuma nyelethuk: “Wah, apik iki.”

Tahun 1993, menjelang tahbisan adik saya Romo C. Kuntoro Adi SJ di Gereja St. Antonius Kota Baru Yogya, saya pulang dari Roma dan mengajar di Atma Jaya.

Sejak itu saya lebih intensif ngobrol dan ketemu Mas Wendo. Sepulang dari Roma itu, saya bertemu dengan sosok Arswendo yang makin “dewasa” dalam beriman. “

Retret agung” di penjara Cipinang membuatnya lebih matang, lebih kreatif, lebih berbobot dan lebih mendalam caranya memandang kehidupan ini.

Saya sangat terharu, begitu bertemu sehabis pulang dari Itali, Mas Wendo menunjukkan kartu pos dengan tulisan tangan yang pernah saya kirimkan dari Roma. Kartupos bergambar Basilica Santo Paulus “Fuori Città”, makam Santo Paulus nama permandiannya itu, dia bawa dan dia simpan terus di sel penjaranya.

Saya tidak tahu mengapa kartu pos sederhana yang sudah mulai lusuh itu, nampak sangat berharga baginya. Saya terharu, untuk perhatian sekecil itu, dia Masih menyimpannya dengan baik dan menganggapnya berarti.

Di penjara, tentu saja Mas Wendo tidak hanya menyimpan kenangan dan kunjungan para sahabatnya. Cinta, penerimaan, pendampingan dan ketabahan mbak Agnes isterinya tercinta serta anak-anaknya yang waktu itu kecil dan remaja, menjadi kekuatan terpenting bagi Mas Wendo.

Di penjara Cipinang itu, dia juga tetap kreatif berkarya, sibuk mengisi hari-harinya dengan aneka refleksi dan tulisan yang “dahsyat”. Banyak sekali novel dan tulisan yang dihasilkan seorang Paulus Arswendo di Cipinang itu.

Novel, kumpulan puisi dan tulisan-tulisan Arswendo dari penjara itu, sangat kental nuansa rohaninya.

Tengok saja tulisan-tulisan Arswendo seperti Menghitung Hari (1993), Sebutir Mangga di Halaman Gereja: Paduan Puisi (1994), Projo & Brojo (1994), Abal-abal (1994), Khotbah di Penjara (1994), Auk (1994), Berserah itu Indah (kesaksian pribadi) (1994), Sudesi : Sukses dengan Satu Istri (1994), Sukma Sejati (1994), Kisah Para Ratib (1996) dsb.

Apakah dari penjara, ada tulisan-tulisannya Arswendo yang mengumpat Tuhan?

Apakah dari penjara, ada tulisan-tulisannya yang menunjukkan Arswendo menyesal menjadi Katolik karena setelah dibaptis malah Masuk bui? Tidak!

Menurut saya, di penjara Arswendo makin menghayati, makin bisa pasrah menerima “kehendakNya” dan malah “menikmati” apa artinya “memanggul salib kalau mau mengikuti Tuhan”.

Sejak sebelum dibaptis, saya sudah menyaksikan kualitas hidup beriman seorang Arswendo. Jadi saya tidak kaget, kalau sesudah dibaptis dan dibui, ia malah bisa memanfaatkan waktu tidak hanya dengan “menghitung hari” tetapi juga dengan menjadi lebih beriman di tengah kepahitan !

Kisah hidup Arswendo, menurut saya mirip dengan kisah Paulus nama pelindung baptisnya. Tepat sekali ia memilih nama pelindung Paulus dan bukan Agustinus pelindung saya. Paulus adalah seorang pewarta besar, pencinta jemaat dan penulis yang produktif.

Sebelum “dijatuhkan” dari kuda penganiayaan, Saulus sudah menjadi anggota klub elite Sanhedrin, ahli taurad, penulis, pengkotbah, jago bahasa terMasuk bahasa Yunani yang menjadi bahasa internasional waktu itu.

Ketika ia bertobat dan memakai nama Paulus, rasul besar ini makin bersinar dalam mengikuti Tuhan dengan pergi “keliling dunia” mewartakan Injil.

Ketika seorang Arswendo “dari sono”nya sudah menjadi besar karena tulisan-tulisannya, kini Paulus Arswendo Atmowiloto juga semakin bersinar karena menjadi pewarta Injil yang hidup bagi umatNya di masa kini.

Keluarga Cemara, misalnya, kini sudah menjadi “Injil” menurut Arswendo yang monumental, karena terwartakan dengan sangat dahsyat dan dampaknya terbukti sangat mencengangkan.

Kotbah terbaik para imam di mimbar gereja, rasanya tidak sebanding dengan dahsyatnya kotbah Arswendo dengan Keluarga Cemara-nya. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here