Romo Gregorius Priyadi SJ: 12 Tahun Menjadi Misionaris di Kamboja, Gereja-gereja Mungil Bermekaran (2)

0
2,340 views

TAK terkecuali Gereja Katolik Kamboja. Rezim Khmer Merah binaan Pol Pot juga telah menghancurkan tatanan kehidupan iman di Kamboja. Banyak bangunan gereja diberangus, namun yang paling menyedihkan banyak umat katolik juga telah ‘habis’ menjadi korban pembantaian atau pembunuhan massal seiring dengan digulirkannya progam “Zero Year” tahuun 1975.

Dari yang semula pernah berjumlah 75 ribu orang, kini umat katolik di seluruh Kamboja  tidak lebih dari angka 3.000 orang. “Itu pun didominasi oleh anak-anak muda,” ungkap Romo G. Priyadi SJ dalam misa khusus di Serpong, Minggu lalu.

Menjadi seorang misionaris asing di Kamboja –dan tanpa terasa sudah berjalan 12 tahun—tak ayal membuat Romo G. Priyadi SJ merasa bangga. Setidaknya sebagai pastur Yesuit asli Indonesia, dia telah bisa berbuat sedikit untuk pewartaan  iman di tanah misi sebagai bentuk rasa syukur atas rintisan para misionaris Yesuit Belanda yang telah membangun Gereja Indonesia, terutama di Jawa Tengah dan Batavia.

“Jadi, saya merasa hepi saja ketika mendapat tugas menjadi misionaris di Kamboja membangun gereja lokal di sana,” kata romo yang awet muda kelahiran Kaliurang, Paroki Pakem, Yogyakarta ini.

Kemiskinan dan harapan

Hanya ada 22 Yesuit yang bekerja intensif melayani reksa pastoral Gereja Katolik Kamboja. Mereka datang berasal dari 9 negara. “Jadi komunitas kami di Pnom Pehn sungguh ramai karena para Yesuitnya berasal dari berbagai latar belakang bahasa, budaya dan bangsa,” kata Romo Priyadi SJ.

Sekarang ini, Serikat Yesus Provinsi Indonesia mengirim 5 Yesuit berkarya penuh di Kamboja. Tiga orang pastur berkulit Jawa, termasuk dua orang frater yang secara khusus bertugas belajar bahasa Khmer untuk kemudian hari bisa melayani secara intensif Gereja Katolik Kamboja.

Selain Romo G. Priyadi, di Paroki Siem Reap –6 jam perjalanan darat dari Ibukota Pnom Penh– ada Romo Stephanus “Panus” Winarta. Sementara di rumah residensi Yesuit di Ibukota Phnom Pehn ada Romo Mardi Widayat SJ dan dua frater skolastik SJ yang lagi belajar bahasa.

Yang menarik, kata Romo G. Priyadi SJ, Gereja Katolik Kamboja lebih banyak didominasi oleh orang muda, karena generasi tua sudah habis menjadi korban keganasan rezim Pol Pot. Mereka selalu bilang merasa aman dan hepi menjadi anggota Gereja Katolik, karena –walau mereka sendiri miskin—“selalu diajari bagaimana memperhatikan orang lain, hidup bersemangatkan kasih,” begitu kata Romo Priyadi.

Untuk bisa pergi ke sebuah stasi, kadang butuh waktu berjam-jam mencapai lokasi stasi di pedalaman. Itu pun harus ekstra hati-hati, karena masih banyak lokasi rawan ranjau darat sisa-sisa perang. Kalau ada hujan dan hamparan sawah langsung berubah menjadi rawa-rawa dan perlu rakit untuk mencapai kawasan daratan di balik “lautan”, maka jangan heran kalau waktu berjam-jam lamanya mencapai lokasi hanya ada 3-4 orang untuk ikut misa mingguan.

Lokasi di pedalaman dan tantangan alam yang ganas menjadi cerita menarik tersendiri bagi para misionaris asing di Kamboja. Tak terkecuali para Yesuit Indonesia yang kini berkarya membangun gereja lokal Kamboja dari keterpurukannya sejak lama.

Ranjau darat bertebaran

Romo Panus SJ misalnya sekali waktu pernah bercerita, di Battambang dekat perbatasan dengan Thailand misalnya, tiba-tiba saja sebuah bom aktif yang ditanam di dasar jembatan meledak ketika sebuah truk sarat penumpang melintasi jembatan itu. “Mobil pertama lewat dengan sukses. Begitu pula mobil kedua aman. Baru mobil ketiga yakni truk sarat penumpang lewat, maka mendadak sontak dor dan semua penumpangnya tewas kurang lebih 22 orang,” kata Romo Panus SJ kepada Sesawi.Net dalam perjalanan pulang dari Stasi Taom menuju Siem Reap dengan sebuah kendaraan minivan terbuka berisi anak-anak misdinar, 2 pemudi Jepang, dan empat ‘turis’ Indonesia yang lagi senang blusukan ke Kamboja.

Di Stasi Taom misalnya, setelah 40 tahun vakum, jumlah umat hanya 29 orang. Romo Panus SJ yang menjadi pastur Paroki  Siem Reap mengunjungi stasi ini setidaknya sepekan sekali. Romo datang  untuk misa di sebuah bangunan gereja kuno yang sangat lusuh bekas peninggalan Perancis yang pernah dijadikan kandang hewan selama rezim Pol Pot berkuasa. Untuk mencapai kawasan pedalaman ini, butuh waktu setidaknya 1,5 jam perjalanan darat dan kemudian bersambung dengan naik rakit menyeberangi sungai.

Di Paroki Siem Reap ada yang menarik yakni Kampung Laut Katolik dimana umatnya hidup di atas rumah-rumah panggung di atas sungai besar. Sayang sekali, tahun 2011 lalu, kami urung mengunjungi lokasi ini.

Dua Yesuit Kamboja

Sekarang ini, kata Romo G. Priyadi SJ, sudah ada dua orang asli Kamboja yang ada dalam pendidikan formasi sebagai Yesuit. “Satu frater skolastik SJ belajar filsafat di Filipina, sementara satu lagi lainnya sebagai novis di Manila. Kamboja tidak punya rumah-rumah formasi SJ,” kata Romo G. Priyadi SJ.

Menjadi seorang misionaris asing di Kamboja sungguh merupakan perjalanan iman bagi Romo G. Priyadi SJ. Sekalipun menyandang sarjana hukum bidang pertanahan dari UI, namun perjalanan hidup pastoral romo yang selalu awet muda dan selalu tampil sumringah ini justru tidak pernah mampir di bangku kuliah sebagai dosen. Romo kelahiran tahun 1953 dan menerima tahbisan tahun 1990 ini malah menghabiskan jam terbangnya sebagai imam sebagai pastur paroki dan karya sosial gerejani.

Sebelum di Kamboja, Romo G. Priyadi SJ berkarya beberapa tahun lamanya sebagai pastur paroki di Gereja Santo Yohanes Penginjil Blok B, Jakarta Selatan. Juga pernah berkarya di Institut Sosial Jakarta, sebelum akhirnya menyediakan diri menjadi tenaga misionaris asing di Kamboja. (Selesai)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here