Terawang Terawan Lagi

0
393 views
Ilustrasi: Ist

MAJELIS Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) sudah menyimpulkan bahwa Mayjen TNI DR. Dr. Terawan Agus Putranto (TAP), SpRad, penemu dan penerap metode cuci otak (brain flushing) melakukan pelanggaran etik. Pelanggaran etik kedokteran berat (serious ethical misconduct) ini diberikan sanksi berupa pemecatan sementara sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Apa yang sebaiknya diterawang?

MKEK tidak mempersalahkan teknik terapi Digital Substraction Angogram (DSA) atau metode cuci otak, melainkan pelanggaran kode etik kedokteran saja.

Dari 21 pasal yang yang tercantum dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki), Dr. TAP diangga[ telah mengabaikan dua pasal yakni pasal empat dan enam.

Pada pasal empat tertulis bahwa “Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.”  Dr. TAP dianggap MKEK tidak menaati dengan mengiklankan diri.

Pada pasal enam tertulis: “Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan, teknik, atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya, dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.”

Dr. TAP telah mendapat gelar doktoral di Universitas Hasanudin Makassar pada tahun 2016. Namun demikian, temuannya ini dikembangkan menjadi terapi cuci otak yang memicu perdebatan. Temuan metode baru yang sudah terbukti ilmiah secara akademik, bukan berarti otomatis etik diterapkan pada banyak pasien di dunia medis, karena harus diteruskan melalui uji klinik lengkap.

Penelitian yang mengikutsertakan subjek manusia harus hormat atas martabat manusia, sesuai PP 39/1995. Uji klinik adalah pengujian sebuah intervensi kedokteran baru pada manusia, yang pada dasarnya memastikan efektivitas, keamanan dan efek samping yang timbul pada manusia, akibat pemberian suatu intervensi dokter.

Uji klinik ini terdiri dari uji fase I sampai fase IV.

Sebenarnya publik tidak tepat untuk melakukan eksaminasi atau ‘legal annotation’, yaitu membuat ulasan terhadap putusan pengadilan MKEK tersebut. Eksaminasi hanya dilakukan terhadap kinerja hakim pengadilan dengan diterbitkannya SEMA (Surat Edaran Mahkam Agung) No 1 Tahun 1967, yaitu eksaminasi internal lembaga peradilan, yang bukan dimaksudkan sebagai kontrol publik.

Dengan demikian sanksi yang sudah dijatuhkan MKEK seharusnya dijalankan, tanpa dipengaruhi oleh kontrol publik.

Namun demikian, Majelis Pimpinan Pusat (MPP) IDI pada Minggu, 8 April 2018 telah melakukan rapat darurat. Rapat memutuskan bahwa PB lDl menunda melaksanakan putusan MKEK, karena alasan tertentu. Oleh karenanya ditegaskan bahwa hingga saat ini Dr. TAP masih berstatus anggota lDl dan sekaligus penerima sanksi dari MKEK.

Sebaiknya penundaan penerapan sanksi mengacu pada Pasal 31 ayat (1) KUHP, yaitu adanya permintaan dari Dr. TAP, disetujui oleh pelapor atau MKEK, dan Dr. TAP sanggup mematuhi syarat yang ditetapkan.

Selain itu, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) no 19 tahun 2016 Tentang Jaminan Kesehatan, serta berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) no 23 tahun 2017, tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional, dalam rangka menjamin kendali mutu dan biaya, penilaian teknologi kesehatan dilakukan oleh Tim ‘Health Technology Assessment’ (HTA), yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan.

Oleh karenanya MPP  merekomendasikan bahwa penilaian terhadap  metode DSA atau ‘Brain Wash’ dilakukan oleh Tim HTA Kementerian Kesehatan Rl.

Sangat mungkin Tim HTA Kemenkes akan memberikan rekomendasi bahwa penelitian tentang ‘Brain Wash’ harus dilakukan lebih lanjut secara bersama-sama oleh segenap dokter ahli, terutama dari bidang neurologi dan radiologi. Penelitian besar dengan rancang bangun yang lebih baik, tentu akan dapat dipublikasikan pada jurnal ilmiah internasional.

Dengan demikian nama harum Indonesia akan lebih dikenal dunia dan seandainya terapi tersebut direkomendasikan, akan lebih banyak pasien yang dapat ditolong.

Tidaklah ada manusia yang sempurna, sehingga masukan dari pihak siapa pun, termasuk keputusan MKEK dan pembelaan para tokoh nasional pasien Dr. TAP, sewajarnya menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua.

MKEK harus berbenah diri, karena bertindak cukup terlambat membahas pelanggaran etika ini, maladministrasi terkait kertas surat bukan dengan kop resmi MKEK, dan tidak adanya tembusan surat kepada PB IDI. Selain itu, juga keterbukaan informasi yang berlebihan dan menjadi viral atas masalah internal organisasi, juga tidaklah merupakan hal yang baik.

Faktor Dr.  TAP sebagai terlapor yang dianggap mengiklankan dan memuji diri, serta tidak koperatif dan menolak hadir di persidangan MKEK sebagai lembaga penegak etika kedokteran, juga perlu diperbaiki. Selain itu, dokter harus jujur dan secara berhati-hati menyampaikan kepada masyarakat, bahwa metode intervensi yang dilakukannya masih dalam taraf uji klinik, sehingga tidak boleh menarik imbal jasa kepada pasien.

Testimoni yang menyebutkan bahwa metode tersebut telah mengatasi masalah stroke sejak tahun 2005 pada sekitar 40.000 pasien, bahkan tidak banyak muncul komplain dari masyarakat, sebenarnya bukanlah bukti kevalidan sebuah metode kedokteran yang baru.

Penerawangan atas kasus Dr. Terawan menduga bahwa keputusan MKEK ini dapat menjadi yurispudensi, yaitu sebuah keputusan yang kemudian dijadikan pedoman dalam memutuskan suatu perkara yang sama di kemudian hari.

Apakah kita sudah bijak?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here