Terima Kasih Dik, Tetaplah Berlaku Santun dan Baik

0
993 views

SABTU, biasanya aku suka menghabiskan waktu dengan mau menikmati istirahat di rumah, memasak bersama teman karibku atau pun kalau rajin merapikan perabot di rumah. Tapi kali ini apa boleh buat, hari itu aku harus masuk kantor, mengejar deadline suatu tugas. Maka, tepat pukul 06.00  pagi walau mata enggan terbuka, badan yang seakan protes karena disuruh keluar rumah, aku sudah duduk di kursi kumal dalam bis umum yang melaju menuju ke daerah perkantoran.

Perjalanan tidak terasa lama, hanya berlangsung setengah dari waktu yang biasa dibutuhkan. Sebenarnya kalau saat itu macet berat, rasanya aku malah mensyukurinya karena bisa tidur di dalam bis. Tapi lalu lintas pagi yang boleh dikategorikan lancar, membuat pukul 08.00 pagi itu aku sudah duduk di depan komputer kantor.

Singkat kata, pekerjaan harus segera bisa dituntaskan. Newsletter telah lengkap, semua artikel telah diedit, dan format selesai dikerjakan. Perasaan lesu di awal pagi itu telah menguap berganti kelegaan, walau rasa pegal dan capek ganti menyergap.

Teringat akan pesan seorang motivator bahwa kita perlu memberi penghargaan kecil pada diri sendiri kadang-kadang. Maka dari itu, aku kemudian berjalan ringan ke toko roti yang berjarak satu blok dari kantor. Kulihat-lihat apa yang dipajang pada toko bakery yang lumayan beken itu – rotinya bisa ‘ngomong’ kata salah satu temanku. Harga rotinya sebenarnya cukup mahal buat kantongku, tapi sekali-kali menyenangkan diri tentu termasuk penghargaan kecil yang dimaksud barisan tukang kipas itu, demikian pembenaranku saat itu.

Akhirnya kubeli dua roti yang melihatnya membuatku tersenyum. Iya, tersenyum karena membalas senyum yang tertera pada roti tersebut. Apakah jenis ini tahan satu hari, tanyaku pada pramuniaganya. Dia mengiyakan sambil tersenyum ramah, dan menambahkan “isi dalamnya kacang merah, rasanya enak.”

Sengaja kupilih tipe roti yang belum pernah kubeli dan tahan paling tidak sehari karena rencananya untuk dinikmati setelah jalan santai kami di hari Minggu pagi. Setelah membayar dan memasukkan kedua roti cantik itu ke dalam tas, perjalanan berlanjut dengan mencari kendaraan pulang.

Begitu ketemu bis yang tepat, aku langsung naik. Di kursi samping sopir telah duduk seorang ibu. Waduh, itu artinya seluruh kursi dalam bis besar itu telah habis diduduki, karena kursi samping supir selalu disisihkan terakhir untuk boleh diduduki penumpang. Itu semacam kode bagi para calon penumpang bahwa bisnya belum penuh tempat duduknya. Walau sudah paham kode tersebut, aku tetap meloncat naik dan langsung bergeser ke bagian belakang. Daripada disuruh-suruh kernet.

Baru saja aku bersandar pada jok di belakangku sambil mengatur  agar tasku rata menggantung di pundak, seorang anak laki-laki berusia sekitar 8 tahun dengan botol plastik minuman di tangan kirinya berdiri dan tersenyum ke arahku sambil berucap ‘silakan duduk’.

Sambil menggumamkan terima kasih dan seulas senyum, benakku masih sempat mencoba mencari sebab keramahan anak tersebut. Apa anak ini pengamen yang nanti akan menyanyi dengan menggemerincingkan batu-batu kecil di dalam botol plastik sehabis penyair jalanan yang lagi beraksi itu? Tapi ide itu langsung terbantah karena botol minuman di tangannya masih terisi seperempat dengan warna coklat sebuah minuman soda ternama.

Pakaian anak itu juga nampak bersih walau hanya kaus dan celana santai. Rupanya dia menumpang bis tersebut dengan satu rombongan keluarga, ada kakaknya yang duduk di sebelahku, ada wanita muda yang sepertinya ibunya, duduk di sebelah wanita berkerudung yang lebih tua– mungkin itu neneknya – dan seorang lelaki muda kurus di bangku deretan kanan.

“Tak apa-apakah?” tanyaku kepadanya. Setelah dia menegaskan dengan gelenggan dan senyum yang tetap tersungging, aku duduk. Sebenarnya buatku tidak masalah berdiri dalam bis, apalagi ruang berdiri masih lega. Toh nanti setelah setengah perjalanan, ada penumpang yang akan turun sehingga aku bisa duduk. Tetapi perasaan surprise mendapatkan seorang anak kecil yang berkelakuan spontan seperti itu menurutku hal yang luar biasa.

Sejauh yang kutangkap, tidak ada orang yang menyuruh anak itu melakukan hal tersebut.  Maka aku duduk lebih untuk menerima kebaikannya seperti kadang kita menerima sebuah permen yang disodorkan seorang anak kecil walau pun kita tidak suka makan permen itu. Melihat kebahagiaan si pemberi  yang merasa telah melakukan sesuatu yang baik mendorong kita melakukannya.

Aku duduk dengan pikiranku tak bisa lepas dari rahmat yang baru saja kuterima. Benar, diberi tempat duduk merupakan rahmat luar biasa bagi penumpang bis umum jurusan padat dan sumpek tersebut. Sepanjang pengalaman naik bis jurusan yang sama selama lima tahun, jarang sekali aku melihat hal tersebut, apalagi mengalami sendiri. Budaya mengalah untuk wanita jarang terlihat, bahkan pernah dua kali aku berdiri bersama ibu muda yang jelas tampak hamil, tanpa ada bapak-bapak atau pun wanita lain yang bersedia menawarkan tempat duduk kepadanya. Kok tega-teganya.

Rasa capek yang tadinya mulai menjalar, secara ajaib menguap entah kemana. Aku kok merasa senang, bukan karena tidak harus berdiri selama satu jam di bis, tetapi terlebih karena menemukan ada anak yang berkelakuan baik seperti itu. Anak itu yang awalnya berdiri dekat ibunya, sekarang sudah duduk di pangkuan ibunya, persis di bangku depanku.

Langsung kuingat akan dua roti yang akan menemani Minggu pagi aku dan teman karibku. Kami berdua tentu akan tersenyum sambil menyantap kue yang terlihat cantik dan yang katanya enak tersebut. Tapi, keinginan menunjukkan penghargaan atas kebaikan anak itu akhirnya mengalahkan rasa sayang akan roti tersebut. Aku ingin dia tahu bahwa kelakuan sederhana tersebut sangat berkesan bagi penerimanya. Kuambil satu roti senyumku dan kusodorkan kepada anak tersebut. “Buat adik,” kataku tanpa lupa tersenyum. Dia membalas senyumku dan menggelengkan kepalanya. “Tak apa-apa, ini buatmu.” Akhirnya diterimanya roti tersebut dan langsung berucap terima kasih dengan jelas. “Sama-sama,” jawabku dengan senyum.

Sepanjang perjalanan tersebut kami tidak berkomunikasi, tapi pikiranku tetap terpaku atas tingkah lakunya yang sopan dan kebaikan hatinya yang jelas tidak dibuat-buat. Ini hasil pendidikan budi pekerti yang diberikan keluarga atau sekolahnya, rekaku dalam hati.

Tindak tanduknya yang manis tidak berhenti disitu. Ketika rombongan mereka turun dari bis, lebih dulu daripadaku, aku menanti apakah dia akan memandangku supaya aku bisa tersenyum lagi kepadanya. Ketika terakhir dia lewat setelah rombongan keluarganya, anak itu tidak hanya tersenyum, sekali lagi ucapan terima kasih jelas dia utarakan. Hal yang tampaknya sederhana tapi sangat berarti buat yang menerimanya. Aku tersenyum dan cepat membalasnya.

Adegan singkat dalam bis kota tersebut membuatku merasa harapan akan masih banyaknya orang-orang baik dan calon pemimpin di negara ini naik beberapa derajat. Terima kasih Dik, engkau membuat hariku cerah dan membuatku mengucap syukur atas rahmat lewat perantaraanmu. Tetaplah tersenyum dan bertumbuh baik sampai dewasa dan masa tuamu.

Photo credit: Ilustrasi (Berdiri mengantri/Mathias Hariyadi)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here