10 Muharam dalam Kaca Mata Injili

0
2,612 views
Ilustrasi: Kenduri.

Orang-orang di desa kami memiliki tradisi menarik untuk menyambut tanggal 10 Muharam. Dalam hitungan kalender masehi, hari tersebut jatuh pada Senin, 5 Desember 2011 kemarin.

Selepas shalat maghrib, seluruh kepala keluarga atau laki-laki yang mewakili keluarga berkumpul di mushala sambil membawa besek yang berisi makanan lengkap khas desa. Ada nasi, sayur lombok pedas, bakmi goreng, kerupuk, peyek, oseng tempe, lodeh kentang pedas dicampur cecek, dan macam-macam jenis lainnya, sesuai selera masing-masing keluarga yang memasaknya.

Seluruh makanan dalam besek itu diletakkan di tengah-tengah mushala, sementara semua yang hadir duduk bersila mengelilinginya, siap untuk berdoa bersama. Orang-orang desa biasa menyebutnya dengan istilah kenduri sedekahan. Namun kalau saya refleksikan, tradisi ini lebih tepat disebut sebagai kenduri solidaritas.

Menyadari kenisbian
Sebelum memulai doa kenduri, ustad desa menyampaikan maksud dan konteks tradisi ini. Bulan Muharam atau bulan Sura dalam hitungan Jawa, adalah bulan keselamatan. Diyakini bahwa pada bulan inilah Allah menciptakan segala kehidupan. Pada bulan Muharam pulalah, segala sesuatu akan kembali kepada Allah pencipta pada zaman akhir. Pada bulan ini, para nabi mengalami banyak keselamatan. Nabi Nuh diselamatkan dalam bahtera, dan nabi Yunus diselamatkan dari mulut ikan.

Diyakini pula pada bulan Muharam, semua nabi menjalani pernikahan. Sehingga, orang-orang Jawa tradisional sangat menghormati bulan Muharam dengan tidak menyelenggarakan hajatan apapun, terutama pernikahan. Dalam kesadaran akan segala kelemahan dan kekurangpantasan diri, orang-orang tidak menyelenggarakan hajatan pada bulan ini agar tidak menyerupai para nabi.

Dengan demikian, maksud tradisi ini adalah mengajak seluruh warga desa untuk menyadari ketidakpantasan dan kenisbian diri di hadapan Allah sekaligus bersyukur atas karya besar Allah yang menyelamatkan manusia meskipun ia tak pantas di hadapan-Nya. Sikap tunduk penuh rendah hati di hadapan Allah dan kesadaran akan kenisbian diri ini secara kidmat dan anggun diungkapkan dalam lantunan dzikir pujian atau semacam litani yang berulang-ulang dengan menggunakan bahasa puitis Arab yang indah:

Hasbunallah wani’mal wakil, ni’malmaula wa ni’mannasir
(Cukuplah Allah yang menjadi Penolong bagi kami, hanya Dialah sebaik-baik Pelindung)

Apa yang dilantunkan dalam dzikir tersebut sebenarnya merupakan sebuah kutipan dari ayat Al Qur’an Surat Ali ‘Imran : 173. Ketika dilantunkan dan direnung-renungkan secara mendalam, bagi siapapun yang memiliki kerinduan untuk memasuki pengalaman akan Allah, apapun latar belakang agamanya, ayat itu sungguh membantu menyadari diri bahwa ia merupakan makhluk ciptaan yang sungguh memiliki banyak keterbatasan dan ketidakpantasan, serta mengakui ternyata hanya Allahlah sumber pertolongan dan perlindungan.

Di satu sisi, kesadaran ini membantu orang untuk tidak mengandalkan pertolongan semu dari semua hal lain, selain Allah sendiri. Di sisi lain, kesadaran ini mendorong untuk menghayati hidup secara ugahari tanpa dibebani banyak kekhawatiran dan ambisi karena sepenuhnya terbuka kepada pertolongan dan perlindungan Allah.

Ketika ikut melantunkan dzikir pujian dan doa ini secara berulang-ulang, suasana batin yang saya alami persis sama ketika melantunkan pujian sebagaimana terdapat dalam Mazmur 54:4 yang berbunyi “Sesungguhnya Allah adalah Penolongku, Dialah yang menopang aku”.

Membagikan diri, memecahkan roti
Yang menarik lagi dari kebiasaan orang-orang di desa kami ini adalah bahwa makanan kenduri yang telah didoakan bersama dengan lantunan dzikir dan beberapa doa permohonan itu pada prinsipnya harus diberikan kepada mereka yang miskin dan kurang beruntung. Namun karena mereka yang benar-benar disebut miskin dan kurang beruntung ini hanya beberapa, maka makanan kenduri itu akan dibagi dan saling ditukar sehingga semua mendapatkan bagian. Tentu saja, mereka yang miskin dan kurang beruntung akan didahulukan, selebihnya, makanan itu dibagi secara merata.

Pembagian makanan kenduri ini ternyata merupakan luberan dari sikap iman akan Allah sebagai satu-satunya penolong. Melalui praktik membagi-bagikan makanan kenduri itu, warga desa menghayati diri untuk memberikan pertolongan kepada sesama sebagai tanda kehadiran dari pertolongan Allah sendiri. Praktik pembagian makanan ini menjadi cara untuk memberikan peneguhan kepada sesama bahwa keyakinan akan Allah sebagai penolong itu bukanlah hal yang sia-sia. Selain itu, melalui pembagian makanan, setiap warga desa memerankan diri sebagai alat yang berguna bagi karya penyelamatan Allah terhadap manusia.

Kalau dicermati secara mendalam, bukankah praktik berbagi ini serupa dan tidak berbeda dengan praktik memecah-mecah roti yang dilakukan oleh Yesus untuk memberi makan lima ribu orang? Bukankah ini merupakan wujud nyata sikap hidup beriman mengambil bagian dalam penyelamatan Allah melalui praktik membagikan hidup kepada orang lain?

Membagi-bagikan makanan kenduri merupakan wujud solidaritas kepada sesama sebagai materialisasi dari karya pertolongan Allah kepada manusia yang nyata. Oleh karena itu, kenduri yang oleh orang-orang di desa kami disebut sebagai kenduri sedekahan ini, sangat pantas disebut pula sebagai kenduri solidaritas dalam keyakinan besar akan pertolongan Allah.

Seandainya spiritualitas yang dihayati oleh orang-orang desa ini dihayati juga secara konsisten oleh para pemuka, pejabat, dan pelayan publik di negeri ini, betapa luar biasanya dampak yang akan diterima oleh seluruh bangsa, terutama mereka yang tidak beruntung. Seandainya demikian tentu tidak perlu terdengar lagi berita tentang nasi aking, busung lapar, dan penderitaan lain yang berbanding terbalik dengan segala kemewahan para pejabat, lengkap dengan ritual korupsinya.

Setelah semua makanan kenduri selesai dibagikan, uang infaq yang dikumpulkan sebagai semacam kolekte pada malam itu, langsung dihitung dan diserahkan kepada seorang anak yatim yang hadir di antara warga.

Dalam luapan haru dan kagum atas ungkapan dan praktik hidup beriman orang-orang desa yang sederhana ini, dalam perjalanan pulang dari mushola, sambil membawa makanan kenduri yang telah dibagi-bagi, berulang-ulang saya melantunkan kembali dzikir iman dan pujian yang indah itu. Sungguh memesona iman orang-orang desa ini. Semoga mereka senantiasa terberkati.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here