Anak Manja Salah Didik, Dewasa tak Berkembang Maju

0
565 views
Ilustrasi: Anak manja karena salah asuh. (SteemKR)

BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.

Selasa, 13 Juli 2021.

Tema: Gregetan.

  • Bacaan Kel 2: 1-15a.
  • Mat. 11: 20-24.

ADA sebuah kesadaran yang pasti, kesadaran iman.

Iman itu hasil perjumpaan seseorang dengan Allah. Iman mewarnai kehidupan seseorang.

Karena Allah sendiri yang bertindak.

Kita dan dalam kebersamaan diharap mengubah sejarah manusia menjadi sejarah iman. Itulah Gereja, kita semua.

Namun perlu disadari, semua ini tidak lepas dari campur tangan Allah. Karena Allah itu menyejarah. Ia bertindak dalam sejarah manusia.

Ia adalah Tuhan atas sejarah.

Ia menumbuhkan benih solidaritas dalam diri setiap orang. Tidak tanpa risiko. Namun, solidaritas akan muncul sebagai kekuatan dahsyat bilamana orang berani memikul tanggungjawab yang utuh dan memiliki kepekaan hati nurani.

“Puteri Firaun dipakai Tuhan untuk melaksanakan rancangan-Nya. Tentu ini di luar nalar. Bagaimana mungkin di lingkup istana Mesir dan bangsa yang menindas Israel muncul seorang heroik yang menyelamatkan.”

Ketika dibukanya, dilihatnya bayi itu, dan tampaklah anak itu menangis, sehingga belas kasihanlah ia kepadanya dan berkata: Tentulah ini bayi orang Ibrani.” ay 6.

“Bawalah bayi ini dan susukanlah dia bagiku, maka aku akan memberikan upah kepadamu.” ay 9a.

Ketika anak itu telah besar, dibawanyalah kepada puteri Firaun, yang mengangkatnya menjadi anaknya, dan menamainya Musa, sebab katanya: “Karena aku telah menariknya dari air.” ay 10.

Karya penyelamatan Allah tak terduga.

Gregetan

“Gimana ya menghadapi anakku? Gregetan banget. Rasanya mau marah saja. Bagaimana tidak? Ia semakin keterlaluan,” keluh seorang ayah.

“Kenapa? Ada apa?” tanyaku heran.

“Gini Romo. Kalau dia lagi marah atau uring-uringan, saya yang selalu disalahkan. Bukannya mengoreksi diri. Kejadiannya berulang-ulang. Saya tidak tahu mesti bagaimana. Selalu menyalahkan saya; mengungkit hal-hal tidak dapat saya atur di masa lalu,” terang bapak itu.

“Bagaimana dengan masa lalu yang menjadi pembenaran dirinya?” tanyaku.

“Sepeninggal mamanya, anak ini selalu merasa benar. Dinasihati tidak mau terima. Nyonya selalu memanjakan dia.

Berkali-kali ditipu oleh temannya. Ia begitu percaya pada temannya. Beberapa kali berbisnis, ujung-ujungnya buntung. Modal lenyap. Syukur kalau kembali. Ini tidak.

Awalnya, hanya bisa untung beberapa juta. Lama-kelamaan modalnya malah amblas. Tidak ada untung blas sama sekali. Setiap mengalami kebangkrutan, menyalahkan orang lain. Artinya, dia minta modal lagi. Akhir-akhir ini tidak saya beri. Ia mengancam pergi. Saya luluh.

Terakhir kali, saya memberi modal dengan nasihat: Ini yang terakhir. Setiap diberi modal, perilakunya baik. Terlihat rajin berusaha keras. Ketika mendapat untung, saya pun diberi bagian. Tak lama hal yang sama terjadi. Mulai uring-uringan, besengut dan marah. Katanya, ‘Pi, bangkrut lagi.’ Di rumah selalu mencari masalah.

Minta perhatian.

Memang sejak kecil, saya cenderung memanjakan. Apa pun saya lakukan untuk dia, satu-satunya anak laki-laki. Saya berharap, nanti, dia bisa meneruskan usaha kami. Semua kebutuhan dan keinginan dipenuhi. Dua kakak perempuannya pun memanjakan. Gemesin. Imut-imut dan manja.

Apakah salah didik atau harus didoakan apa ya Mo,” tanya bapak itu.

“Doa apa ya? Ini kan terkait dengan karakter. Konsultasilah dengan psikolog,” usulku.

“Aduh bisa marah Mo. Dikira gila,” sergahnya.

“Bukan gila. Psikologi membantu memahami perangai, latar belakang; mencari tahu sebab apa anak berperilaku tertentu dan berulang-ulang. Bukankah perubahan dapat diharapkan melalui kesadaran. Tentu unsur trust, kepercayaan juga penting. Begitu,” demikian “nasihatku”.

“Lalu Yesus mulai mengecam kota-kota yang tidak bertobat, sekalipun di situ Ia paling banyak melakukan mukjizat-mukjizat-Nya.” ay 20.

Tuhan, ajari aku mengenal mukjizat-mukjizat-Mu dalam diri dan bersyukur. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here