Artikel Pencerah: Doa, Orang Lain-Sesama Selalu Mendoakan Anda

1
466 views
Berdoa dan menyalakan lilin di The Virgin Mary Church "Goshin" di Wadi, Kairo, Mesir. (Mathias Hariyadi)

LAGU Di Doa Ibuku, Namaku Disebut sampai saat ini masih terus mengalun. Dalam setiap liturgi pernikahan misa di gereja. Lagu itu semakin bergema, karena dinyanyikan di saat sungkem, sujud di hadapan orangtua untuk berterimakasih atas kasih orangtua sebagai ungkapan nyata kasih Tuhan sendiri.

Seperti matahari dan hujan terus memberi kehidupan tanpa pilih kasih, tanpa menghitung dalam kalkulasi untung rugi atau ekonomis.

‘Sujud syukur’ di hadapan orangtua yang melahirkan anak dari rahim ibu, sekaligus juga ada ibu rohani yang melahirkan secara baru dalam baptis yaitu Gereja.

Maka para saksi-saksi perkawinan mengungkapkan “keluarga baru kristiani”, karena rahim Gereja keluarga menemani dan menjadi saksi janji suci mempelai berdua.

Namun, ada yang hakiki, selain terima kasih pada pemeliharaan orangtua ke anak sampai tahap siap pula membangun keluarga sebagai panggilan cinta. Yaitu, memohon restu ibu dan bapak.

Maka tepat sekali dan menyentuh hati, manakala permohonan restu diiringi paduan suara yang melantunkan lagu Doa dan Restumu.

“Doa dan Restumu (orang tua), kini kunantikan, dari penuh harap kami dambakan”. Begitu lirik kalimat mohon restu di bait pertama.

Dengan sungkem dan ‘mohon restu’ yang dipadukan dalam liturgi suci berbahasa lagu, maka saya mencatat setiap kali memberkati pernikahan, menyembul keluarlah sebuah keyakinan akan hal ini. Yakni, bahwa kita itu (khususnya pengantin) selalu didoakan oleh mereka yang mencintai kita.

Cara beriman

Keyakinan bahwa didoakan selalu oleh sesama dan yang punya tanggungjawab cinta pada kita. Inilah salah satu kekuatan iman (ke-berimanan).

Sudah semestinya tidak membiarkan peluang pada umat beriman di saat-saat salib hidupnya dan paling sepi, senyap. Bahkan seakan ditinggalkan sendirian dalam menghayati hidup rutin sehari-hari. Bahkan yang paling kering kemarau makna sekalipun.

“Sahabat, teman-teman, mari kita doakan saudara kita yang sedang sakit ini. Sahabatku, jangan putus harap, meskipun pandemi tak bisa bertemu, dalam sepimu dan tugas berat menemani saudaramu yang terindikasi ketularan virus Covid-19, kami tak henti-hentinya mendoakanmu.”

Doa, “virus” positif

Saat saya menulis ini, saya jadi teringat pada tanggapan terhadap tulisanku di Sesawi.Net ini, mengenai Sketsa dan Doa, ia menulis demikian.

“Bila doa bisa diungkapkan melalui sketsa, maka setiap doa bisa diucapkan melalui rupa-rupa wajah ekspresi seni ya?,” begitu tulisnya.

Tanggapan ini menguatkan renungan, doa itu menjalar bahkan mem-virus menjadi viral energi asa dan harapan dari berkah Tuhan Sang Pemelihara hidup ini.

Doa yang diungkapkan senyap, dalam hening bersungguh ke Tuhan, entah sendiri atau bersama dua atau tiga orang, seperti disabdakan Yesus, menjadi ranah kehadiran Tuhan.

Maka beriman bahwa kita ini ada yang mendoakan, meski tak menyatakan di-WA atau mengkomunikasikannya ke kita. Tapi inilah daya dahsyat kekuatan untuk terus beriman, berharap dan membagi kasih atau berkat-Nya ke mereka-mereka yang sedang membutuhkan doa kita.

Lantaran gelap gulita hati dan putus gelap malam kehampaan yang sedang dialami saudara-saudari kita.

Percaya bahwa ada yang mendoakan di waktu suka dan duka, di saat untung dan malang. Hal itu akan meluaskan jendela harap kita untuk mempercayai kehadiran Tuhan bagai secercah cahaya di lorong gelap.

John Henry Newman, yang tahun lalu resmi sebagai santo atau orang kudus, menuliskan dalam bahasa himne lagu berjudul: Lead, Kindly Light. Bimbinglah langkah di jalan gelap dengan cahayaMu Tuhan, sehingga satu langkah kami pun dalam tuntunan-Mu sudah cukup menerobos gelap krisis.

Jangan abaikan yang tidak kasat mata

Namun dalam dunia positivis, semua-semuanya menuntut bukti yang bisa dilihat lima indra dan mengabaikan yang tidak kasat mata, problem doa yang terus muncul ada tiga macam dari pertanyaan-pertanyaan pengalaman.

Pertama, kapan Tuhan mengabulkannya? Sudah ikut macam-macam cara doa, dan liturgi doa khusus-khusus dan ternyata belum kesampaian yang diminta.

Jawaban-jawaban untuk soal pertama ini barangkali klise. Namun, cobalah menyelami lebih mendalam semacam “duc in altum”.

Waktu manusia, tentang kapan itu, bukan waktu Tuhan, maka tetap percaya bahwa Tuhan akan membuat semuanya indah pada waktu-NYA (huruf NYA dan bukan “nya” manusia, paling tidak menguji keberimanan kita. “Lah, rencana-Nya adalah tetap rencana Tuhan dan bukan rencanamu.”

Perjanjian Lama memberi nuansa ini, kata rekan saya yang pendoa. Ataukah karena dalam berdoa, kita semua memasuki tahap-tahap proses mengenal Tuhan, mirip-mirip dengan tahapan masa kecil kita, Tuhan kita hayati sebagai hal yang memberi permen, manisan-manisan kita.

Tuhan, guru kita

Berikutnya, Tuhan adalah guru, di mana pemuridan dengan didikan ’menjewer’ telinga, kita alami dari para guru yang baik karena ajarannya disiplin dan kata-kata tajam edukatifnya.

Hanya sayangnya, kita baru mengiyakan kebaikan guru itu setelah selesai dari pemuridan tahap sekolahnya.

Coba jawablah: “Bukankah guru yang diingat dan dikenang adalah yang keras unik, galak namun mendidik?”

Berikutnya, saat kita beranjak menghayati Tuhan sebagai sahabat di kala suka dan duka serupa dengan  “A friend in need is a friend indeed”.

Namun masih kalkulasi baik, kurang baik dan buruk, belum ke tahap melintasi kalkulasi, hitung-hitung manusiawi untung rugi. Kalkulasi untung rugi ini memperlakukan Tuhan seperti jual beli pedagang.

Bila Tuhan meluluskan apa yang kita minta, maka kita OK dan setia, namun saat tidak terjadi, kita protes dan marah padaNya.

Padahal, bukankah logika Kerajaan Surga adalah mencari dan menemukan sampai ketemu satu)domba yang hilang daripada 99 domba yang lain?

Barangkali di sini tantangan selangkah maju dalam berdoa muncul dalam sikap terus mau terus ‘pasrah’ (bukan pasif).

Namun jalan terus, tekuni terus karena situasi apa pun adalah ‘kias’ dan ‘tanda’ kehadiran-NYA dalam kasih pemuridan demi kedewasaan dan menjadikan manusia yang dipanggil-Nya dan terus buka mata budi dan hati untuk membaca tanda-tanda kehadiranNya.

Fiat voluntas tua

Dan membacanya mesti seperti sikap Ibu Maria, saat “belum paham kehendak-Nya”, ada dua:

  • Yang pertama, menyimpan dalam hati dan merenungkannya.
  • Yang kedua, terjadilah kehendak-MU (bukan kehendakku).

Lama saya berproses memaknai “Fiat”– Ibu Maria ini, apa sumber mata airnya?

Akhirnya saya temukan, karena Maria mensyukuri, menghayati dalam-dalam tugas panggilan dari Tuhan atas dasar, kasih Allah yang maha besar, yang lebih dahulu mencintainya, sehingga begitu kabar Malaikat Gabriel datang, Ibu Maria siap.

Lantaran bukan tugas berat dan tanggung jawab besar atas kabar ini. Namun, terutama sekali karena Maria sudah dalam tahap sumelehing ati (disposisi pasrah terbuka pada kehendak Tuhan) dalam kesadaran dikasihi Tuhan.

Sumelehing ati ing katresnan Dalem Gusti: pasrah terbuka pada kehendakNya karena kasihNya.

Pengalaman rohani Ignatius Loyola

Saya jadi menggaitkan pengalaman doa sumelehing ati ini dengan tahapan pasca proses hidup Ignatius Loyola, hingga berdoa “Ambilah ya Tuhan, kemerdekaanku dan segalanya”.

Ini karena Ignatius dalam Latihan Rohani, setelah doa mohon yang paling sulit untuk manusia yaitu kerendahan hati -pada puncak disposisi (sikap batin) inilah- kemudian satu-satunya permohonan yang dihunjukkan adalah berilah rahmat dan cinta-MU ya Tuhan, ini cukup bagiku.

Sejalan pengalaman spiritual ini, sama-sama bersumber dari kesadaran dicintai Tuhan (di Ignatius Loyola, didalami dalam kontemplasi kasih Tuhan dengan renungan kontemplasi untuk mendapatkan kasih-Nya (dan saya lanjutkan untuk sumeleh tinggal dalam kasihNya sehingga siap merasul, membagi berkah Tuhan demi kemuliaan Tuhan: AMDG (Ad maiorem Dei gloriam).

Dan Ibu Maria mengungkap puitis sekali, syukur terima kasih atas kasih Allah yang Maha Agung ini dalam Kidung Magnificat.

Dari syukur atas kasih-Nya menuju restu mohon tetap tinggal dalam rasa tetap dikasihi Tuhan (apa pun keadaan nyata, pahit manis, malang dan untung) dan siap menerima berkah Allah paling agung. Yaitu, menghantar dan memberikan Yesus ke kita, setia sampai di bawah salib. Bahkan Michel Angelo memberi kita bahasa karya seni: “Pieta”, saat Maria memangku Yesus setelah tuntas mati untuk mengasihi manusia melalui salib.

Proses pemuridan

Kembali ke awal tulisan ini, dan judulnya Doa. Di dalamnya termuat sudah perjalanan proses berdoa pun sebagai pemuridan Tuhan sebagai guru untuk kita.

Meski baru sedikit tertuang tulis, namun ini pula berkah-Nya yang mengundang kita untuk menjadi berkah ke orang lain, lantaran terus tanpa lelah meyakinkan sesama. Yakni, bahwa Anda didoakan selalu oleh saudara-saudarimu, juga orangtua.

Bahkan oleh mereka yang tidak Anda kenal, maka jangan putus harapan dalam masa sulit pandemi ini.

Yakin bahwa yang lain mendoakan Anda serta kita semua yang terus berdoa adalah laku iman Maria. Dengan oasenya adalah sumelehing ati ing katresnan Dalem Gusti. Sehingga nyanyi Magnificat di bulan Oktober, Bulan Maria ini, akan kita kidungkan.

Karena syukur atas hidup dari Tuhan, kasih-Nya tanpa lelah, tanpa libur.

Allah telah memberi dengan gratis dan cuma-cuma, maka bagikanlah berkah ini dengan gratis pula. AMDG.

1 COMMENT

  1. Terima kasih refleksi yg luar biasa dan itu memang sdh terbukti pada diri saya dalam hidup berkeluarga

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here