WASHINGTON 1862. Orang-orang di Washington sungguh tidak mampu memahami keputusan Presiden Abraham Lincoln (1809-1865) yang mengangkat Edwin McMaster Stanton (1814–1869) menjadi Menteri Pertahanan.
Ketika itu, Perang Saudara (1861-1865) tengah mengancam perpecahan AS.
Sudah menjadi rahasia umum di Washington bahwa Stanton, ahli hukum dan politisi kondang itu, sangat membenci Lincoln. Ketidaksukaan Stanton terhadap Lincoln tidak pernah ditutup-tutupi. Tidak ada sedikit pun pada diri Lincoln yang bisa menggerakkan hati Stanton untuk memujinya.
Pada tahun 1855, Stanton sebagai pengacara membela John M Manny, dalam kasus pelanggaran hak paten yang diajukan oleh McCormick Reaper Company. Ketika itu, Abraham Lincoln yang juga sebagai pengacara dilibatkan dalam tim menangani kasus tersebut, Stanton sangat tidak suka.
Maka, ketika Stanton melihat Lincoln lantas mengatakan kepada temannya dalam nada rasialis, “Mengapa Anda membawa kera bertangan panjang ke sini.”
Meskipun dihina disebut sebagai kera, Lincoln tidak kecil hati. Lincoln bahkan memuji Stanton dengan mengatakan telah belajar banyak dari kinerja Stanton di pengadilan.
Tetapi pujian Lincoln itu tidak meruntuhkan sinisme hati Stanton. Ia bahkan menyebut Lincoln sebagai “jerapah”, karena berleher panjang.
Lincoln ketika itu adalah pemuda kurus, jangkung, tetapi tegap. Pakaiannya selalu tak pernah tampak pas. Lengan bajunya selalu terasa pendek dan celananya selalu menggantung di atas mata kaki.
Orang tidak pernah menduga bahwa di kemudian hari lelaki kurus, jangkung, dan brewokan itu menjadi orang besar. Tidak ada yang pernah bisa meramalkan kehendak sejarah.
Suatu ketika pada tahun 1860, pengacara yang menjadi politikus, dan disebut kera serta jerapah itu, terpilih menjadi presiden. Namun, Stanton tetap kurang menghargainya dan menganggapnya tidak memiliki cukup kepandaian.
Yang tidak pernah diduga, atau sedikit pun dipikirkan oleh Stanton dan banyak orang lainnya adalah bagaimana Lincoln menjawab segala sikap dan tindakan Stanton terhadap dirinya.
Lincoln memiliki strategi tentang bagaimana menundukkan musuh.
Menurut cerita, Lincoln adalah seorang presiden yang memiliki banyak musuh. Salah satu musuhnya, pada akhirnya menembak Lincoln.
Bagaimana Lincoln menundukkan dan menghancurkan musuhnya?
Ia merangkul dan menjadikan musuh-musuhnya sebagai teman. Seperti yang dikatakan oleh Sun Tzu, ahli strategi militer dari Tiongkok (544 SM – 496 SM) bertempur dan menaklukkan musuh dalam peperangan bukanlah kehebatan paling tinggi; kehebatan tertinggi terjadi ketika Anda mampu menghentikan musuh tanpa perlawanan.
Ini yang barangkali dalam salah satu ajaran Jawa dirumuskan “menang tanpa ngasorake”.
Kata ngasorake artinya merendahkan atau menistakan, atau mempermalukan. Memang, dewasa ini strategi menang tanpa ngasorake sudah kurang dikenal lagi dalam pergaulan politik, pergaulan antarkelompok serta golongan.
Masyarakat hanya mengetahui satu cara untuk memenangkan sesuatu, yaitu kekerasan (violence) atau penistaan (humiliation). Dapat menistakan orang lain menjadi lebih penting dari pada memenangkannya.
Hal sama saja dengan membunuh sebanyak mungkin musuh lebih penting dari pada memenangkan perang.
Jalan “menang tanpa ngasorake” itulah yang dipilih Lincoln. Ia mengangkat Stanton menjadi Menteri Pertahanan di zaman Perang Saudara. Sebab, Lincoln meyakini bahwa cinta adalah satu-satunya kekuatan yang mampu mengubah musuh menjadi teman.
Lincoln sangat percaya bahwa kasih itu sabar; kasih itu murah hati. Kasih tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran.
Strategi “menang tanpa ngasorake” bukan berarti lantas mengubur dalam-dalam perbedaan yang diperlukan dalam kehidupan demokrasi. Tidak. Sebab, tanpa perbedaan atau tanpa bersedia menerima perbedaan sama saja membiarkan negara dalam genggaman kehidupan tirani, diktatorisme, absolutisme dan sejenisnya.
Dengan mengangkat Stanton menjadi Menteri Pertahanan, Lincoln harus dengan sukarela menelan semua harga dirinya; mengubur dalam-dalam egonya. Ia harus menyingkirkan kepentingan diri dan lebih mengutamakan kepentingan bersama, kepentingan negara dan bangsa yang tengah menghadapi perang.
Ketika rekan-rekannya bertanya pada Lincoln, mengapa ia memilih Stanton, tokoh yang sangat membencinya?
“Karena ia adalah orang terbaik untuk pekerjaan itu,” jawab Lincoln.
Banyak yang mengatakan, sungguh sulit memahami Lincoln dan Stanton. Dua tokoh itu, pada dasarnya, sangat berbeda.
Lincoln adalah orang yang memiliki visi luas, jauh ke depan, watak manusiawinya sangat kuat, manusia yang benar-benar memiliki hati, tetapi sangat sederhana dalam mengekspresikan diri.
Presiden AS ini juga dicatat sebagai tokoh yang bisa fleksibel, meski tidak terlalu pandai dalam hal-hal khusus.
Akan tetapi, keunggulan Lincoln yang paling menonjol dibanding orang lain adalah mampu mengabaikan penghinaan, cercaan, ejekan, dan sinisme terhadap dirinya.
Yang penting bagi Lincoln, selama semua itu tidak mengganggu atau menghalanginya mencapai tujuan; misalnya menghapus perbudakan dan kembali mempersatukan negerinya — maka hal itu tidak menjadi masalah.
Sebaliknya, Stanton walaupun pintar dan mampu melakukan banyak hal, tetapi kejam, kasar, sombong, dan cepat tersinggung serta marah.
Namun, keduanya bisa bekerja sama dalam sebuah tim. Apalagi, Stanton orang yang sungguh bertanggungjawab dan mendahulukan kepentingan negara dan bangsa ketimbang kepentingan diri dan ambisi pribadi.
“Tak pernah sekali pun saya berusaha untuk dikenang dunia. Hidupku ini kubaktikan pada peristiwa-peristiwa di sekitar, bagi generasi dan zamanku, semata-mata agar diriku terjalin dengan sesuatu yang penting bagi sesamaku,” demikian kata Lincoln suatu ketika.
PS
- Baca lengkap di https://triaskun.id/2019/10/25/kisah-lincoln-dan-stanton/
- Artikel ini sudah tayang di Kompas.id hari Selasa (22/10/19) lalu.