Belajar Bermisi bersama Putri: Mendoakan Anak Korban Aborsi (4)

2
808 views
Ilustrasi (Ist)

PADA setiap tanggal 11 Februari, kita merayakan Hari Orang Sakit Sedunia, dimana orang-orang sakit diundang mempersembahkan derita-penyakit mereka dan dipersatukan dengan penderitaan Kristus sehingga menjadi korban rohani (lih. Lumen Gentium 34; Kol 1:24).

Dengan menyatukan penderitaan dan penyakit dengan korban Kristus sendiri, orang Kristen diundang untuk “naik kelas”: bukan bertanya mengapa, tetapi untuk apa. Paulus pun dari penjara menasihati umat Filipi, “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus,  melainkan juga untuk menderita bagi Dia” (Flp 1:29). Menderita bagi Kristus dan Gereja-Nya merupakan level kedua kekristenan – dimana level pertama percaya kepada Kristus – sebab kita diundang semakin serupa dengan Kristus yang menderita.

Saya jadi teringat akan Carlo Acutis, seorang remaja modern kelahiran Milan Italia tahun 1991, yang aktif mengembangkan minat dan kemampuan IT-nya dan mencoba mewartakan Injil dengan website dan program computer yang dibuatnya. Sejak menerima komuni pertama dia selalu mengikuti Misa harian dan meyakini  bahwa “Ekaristi adalah jalan tol menuju surga”.

Namun, pada usia 14 tahun dia terkena penyakit leukemia. Dia justru mempersembahkan penderitaannya untuk Gereja dan Bapa Paus. Dia menghadap Tuhan pada usia 15 tahun. Sekarang dia digelari Hamba Allah,  sebuah langkah menuju proses dinyatakan Beato dan Santo.

Dua pengalaman kecil

Kendati saya punya kedekatan dengan Putri, namun sampai hari ini pun saya belum pernah bermimpi bertemu dia. Saya hanya dibantu untuk peka dengan aneka kebetulan dan kisah-kisah kecil dalam pengalaman hidup Putri, yang saya tahu justru setelah dia meninggal. Di sini saya mau mengisahkan dua pengalaman pribadi berkaitan dengan Putri, setelah dia meninggal.

 Romonya anak-anak

Ketika mensharingkan pengalaman saya tentang Putri kepada pembimbing rohani saya, seorang imam senior, saya katakan keyakinan saya, tentu sekarang Putri sudah berbahagia bersama Tuhan.

Tetapi Romo itu mengatakan, “Romo, jangan berhenti sampai di situ.” Saya pun menanyakan maksudnya. “Masih banyak anak-anak yang telah keguguran dan digugurkan, tetapi tidak ada yang mendoakan!” tandas beliau.

Saya jadi teringat pengalaman seorang imam yang setiap bulan mempersembahkan misa khusus untuk kedamaian arwah anak-anak  korban aborsi. Bahkan pengalaman imam itu saya tulis dalam salah satu refleksi di buku Doa dan Refleksi Menantikan Kelahiran (Obor, 2009). Waktu itu saya merasa, bagian saya adalah menceritakan pengalaman khas romo itu, tetapi tidak terbersit sama sekali bahwa hal ini juga menjadi ‘bagian’ saya.

Kebetulan berikutnya terjadi, begitu saya keluar dari wisma romo pembimbing rohani itu, pembantu yang membukakan gerbang, seorang umat Paroki Blimbing dimana dulu saya pernah melayani sebagai pastor rekan, menanyakan dimana saya sekarang tinggal, lalu berseloroh, “Romo Didik ini dulu di Blimbing dikenal Romonya anak-anak.”

Deg… hati saya disadarkan oleh pernyataan dua orang yang tidak saling janjian ini.

Memang dulu sewaktu di paroki,  setiap bulan saya mempersembahkan misa untuk anak-anak dengan khotbah khusus yang menyapa mereka. Dan kini saya sadari, bahwa anak-anak itu tidak hanya mereka yang masih hidup dan tumbuh berkembang, tetapi juga anak-anak yang telah menghadap Tuhan, korban aborsi – baik keguguran maupun digugurkan – yang membutuhkan doa-doa.

Pengalaman perjumpaan dengan Putri mengantar saya pada “perutusan” baru, ikut mendoakan anak-anak korban aborsi.

Saya yakin, Anda yang membaca tulisan saya ini, juga akan ikut mendoakan anak-anak korban aborsi yang Anda ketahui dan belum sempat Anda doakan.

Doa untuk kelahiran keponakan saya ketiga

Kedekatan saya dengan Putri saat pertama kali berjumpa di Susteran Passionis Ciliwung (2005-2006), bisa jadi didorong oleh kerinduan memiliki keponakan sendiri. Saya dua bersaudara, dan saat itu adik saya belum menikah. Tetapi sekarang saya memiliki tiga keponakan dari adik saya.

Saya mau menuturkan pengalaman kelahiran keponakan ketiga, yang lumayan unik.

Kandungan adik saya sudah masuk minggu ke-42, tetapi belum ada tanda-tanda akan melahirkan.  Hari Sabtu, 8 Oktober 2016, saya mengajar kursus teologi di Surabaya, sehingga pulangnya menginap di adik saya sembari ikut berjaga-jaga, kalau adik saya segera melahirkan. Habis ikut Misa Sabtu sore, adik saya langsung periksa ke bidan dan disarankan segera opname di rumah sakit. Akhirnya malam itu saya ikut bermalam di mobil ikut menjaga kedua keponakan saya.

Kendati adik saya sudah diinduksi, sampai Minggu siang belum ada tanda-tanda akan lahir. Bila kondisi demikian terus, hari Senin adik saya mungkin akan menjalani operasi sesar. Karena Seninnya saya harus mengajar di Malang, maka Minggu sore itu saya pulang ke Malang.

Sejak Sabtu sore ikut menunggui adik, tidak henti saya berdoa rosario dan memohon bantuan doa Santa Gianna Beretta Molla, pelindung ibu rumah tangga, dokter, dan penyayang kehidupan. Pengalaman saya dua-tiga kali mendoakan ibu yang kesulitan melahirkan, dengan perantaraan St. Gianna Beretta Molla, segera terkabul.

Tetapi kali ini, sepertinya ada kendala.

Begitu saya sampai di seminari, hari Minggu pkl. 20.00, saya mendapat kabar dari Ibu bahwa adik sudah bukaan 3, kata perawatnya sih akan dilihat lagi setelah 4 jam, dan bisa jadi keponakan saya akan lahir pada esok harinya. Malam itu usai mandi kembali saya berdoa Rosario, dan pada akhir peristiwa, usai kemuliaan dan terpujilah, saya sisipkan doa Fatima dan doa spontan pada St. Gianna Beretta Molla.

Itu juga yang saya lakukan sejak Sabtu sore.

Tiba-tiba, saya teringat akan Putri, yang di ruangan anak RKZ paling besar di antara pasien anak lainnya dan yang mau bertanya pada Tuhan, kenapa anak kecil diberi sakit. Maka pada akhir peristiwa ke-4 dan ke-5, setelah doa Fatima dan kepada St. Gianna, saya tambahkan kata-kata: “Put, Tante Nanik mau melahirkan, kamu bantu doa ya.”

Itu kata yang terucap dari saya dengan keyakinan bahwa Putri sudah berbahagia bersama Tuhan dan mau mendoakan juga pada Tuhan.

Usai doa Rosario, saya masih sempat menonton TV sebentar. Tiba-tiba pk. 21.45 ibu saya menelepon dan memberitahu, “Selamat ya, keponakan ketiganya sudah lahir.”

Rasa syukur, gembira, dan bahagia campur jadi satu. Kok secepat itu? Konon para perawat yang menangani adik saya juga tidak percaya, bisa lahir sehat dan normal secepat itu. Yang pasti, berkat campur tangan Tuhan yang berkenan mendengarkan doa-doa kami, juga doa dari Putri.

Yuk, terus bermisi

Kembali ke tujuan semula tulisan ini, saya mengajak dan mengingatkan diri sendiri, lewat pengalaman Putri ini untuk terus menjalankan tugas misi, dimanapun kita berada, berani keluar dari egoisme diri dan terarah pada kebutuhan orang lain melalui doa, derma, kurban, dan kesaksian.

Bila kisah pengalaman Putri menginspirasi Anda dan mengobarkan api misioner dalam hati Anda, mungkin untuk itulah saya dipertemukan dengan Putri, untuk terus belajar dan mewujudkan laku misi. (Selesai)

Quezon City, Manila  –  Pada HR St. Yusuf, 19 Maret 2017

2 COMMENTS

  1. Kisah dan sharing pengalaman “misi’ yang bernas. Terimakasih Romo, kami di rumah dalam keluarga juga selalu membiasakan berdoa pada sore hari saat saudara2 kita juga mengumandangkan azan magrib….memang betul…kalau kita terbuka pada kejadian2 di dunia ini maka, bahan doa kita tidak pernah habis, karena tidak hanya sebatas di sekitar kita tetapi d iujung dunia yang lain ada banyak saudara yang bisa kita kenal lewat Doa. Terimakasih Romo untuk sharing yang menarik dan membangkitkan semangat “misi”, bagi semuanyang membaca. Salam hangat dari Yogyakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here