Di Eropa, Panggilan Religius Sudah Mati: Krisis dan Misteri Panggilan

0
1,454 views
14 diakon baru yang menerima tahbisan diakonatnya dari Mgr, Ignatius Suharya di Kapel Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan, Yogyakarta, 25 Januari 2017. (Ist)

DI forum grup internal MSC, Pastor Herman Pongantung memposting laporan dari Kapitel MSC di Perancis yang menggambarkan bahwa panggilan di Eropa sudah mati. Sudah 30 tahun terakhir tidak ada calon MSC dari Perancis – Swiss. Ditanyakan pula: dimana biarawan bisa ditemukan? Di wilayah yang dulunya sangat kristiani  (katolik) dan begitu banyak biara serta Gereja, sekarang ini ditanyakan kita dapat menemukan biarawan-biarawati  dimana? Kalau di Eropa ada religius dan imam, maka mereka berasal dari Asia, Afrika, atau Amerika Latin yang diutus bermisi di Eropa.

Yang mengejutkan juga bahwa dalam pertemuan itu, ada pembicara yang mengatakan bahwa untuk menjadi seminaris atau calon biarawan itu harus dibaptis lebih dulu. Pernyataan itu sangat aneh, karena seharusnya sudah jelas dengan sendirinya bahwa kalau mau masuk biara ya sudah dibaptis.

Namun pernyataan itu menunjukkan bahwa mungkin banyak anak-anak dari keluarga katolik yang sudah lama tidak ke Gereja, maka anak–anak itu juga tidak pernah dibaptis, tidak pernah diajari tanda salib dan doa Bapa Kami  dan Salam Maria dan juga tidak pernah diajak pergi ke Gereja.

Namun kalau anak itu kemudian menjadi dewasa dan merenungkan hidupnya, lalu ia bertanya: apa artinya hidup saya ini, saya ini berasal dari mana dan menuju ke mana, kalau nanti saya tua dan mati lalu bagaimana? Kalau pertanyaan–pertanyaan itu menghantar dia masuk dalam pengalaman rohani pribadi dan kemudian ingin menjadi biarawan atau imam, padahal ia belum dibaptis, tentu ia harus dibaptis dulu.

Kalau semakin banyak umat  katolik KTP, tentu saja panggilan menjadi imam dan hidup membiara menjadi sebuah mimpi dan cita-cita di siang bolong. Doa-doa saleh dari segelintir umat katolik itu bagaikan teriakan orang di padang gurun yang tidak pernah mendapatkan jawaban apa pun.

Krisis keluarga

Krisis panggilan di Eropa tentu berkaitan dengan suasana hidup keluarga-keluarga, masyarakat dan umat di paroki-paroki. Kalau di dalam lembaga-lembaga sosial itu tidak ada suasana yang mengkondisikan anak-anak muda untuk tertarik untuk menjadi imam atau biarawan, maka tentu saja institusi imamat dan biarawan itu akan tinggal menjadi kenangan.

Tarekat-tarekat religius internasional berusaha untuk membuat komunitas–komunitas internasional di Eropa dengan harapan bisa membuat pastoral kehadiran saja, sehingga bisa memberikan tanda bahwa masih ada sisa-sisa kehidupan tarekat misionaris dari Eropa yang di tempat asalnya sendiri sudah hampir punah.

Saya sebut saja sebagai contoh.  Tarekat MSC saya sendiri, bila anggota MSC Belanda, Perancis, Italia, Jerman, Spanyol sudah tua tua semua dan sudah meninggal, maka rumah–rumah biara MSC itu  kalau mau dipertahankan harus diisi anggota MSC dari Indonesia, Filipina, Afrika, dan Amerika Latin.

Tetapi mereka mungkin tidak bisa lagi mengkatolikkan masyarakat Eropa, mereka hanya berpastoral kehadiran untuk menjadi tanda bahwa tarekat itu masih eksis di daerah–daerah misi tempat para misionaris Eropa dulu pergi.

Realitas panggilan religius di Manado

Sekarang saya ingin kembali ke realitas panggilan di tempat yang saya lihat di Manado ini.

Kemarin, saya memberi rekoleksi persiapan kaul kekal dengan 8 frater tingkat V. Ada 9 frater MSC tingkat VI yang sudah kaul kekal tahun lalu.

Jumlah frater praja Manado dan Ambon juga masih ada 100 lebih.

Cuma, kalau sudah mulai tingkat V dan VI,  jumlah mereka tinggal sedikit. Tingkat VI praja Manado hanya 3 orang; dan tingkat V praja Manado hanya 5 orang. Jumlah di Pondok Emaus ada 54 orang waktu masuk. Dan di Seminari Kakaskasen masih ada 130 seminaris.

Ini perlu menjadi perhatian dari para bapak Uskup, karena panggilan hanya banyak di tahun awal, tetapi menjadi sedikit di tahun akhir. Sebanyak 80 % keluar, dan 20% saja bertahan.

Kemarin,  kebetulan saya mendapat informasi dari seorang frater lulusan Seminari Kakaskasen yang pulang pastoral dari Ekuador dan calon kaul kekal. Ia mengatakan bahwa dari 60 anak waktu di seminari Kakaskasen tingkat awal (quarta), kini tinggal 3 orang saja, yaitu satu MSC dia sendiri, dan dua orang di praja Manado. Meskipun demikian, masih ada saja yang masuk Seminari dan berusaha bertahan, sehingga biarpun banyak sekali yang keluar, namun masih ada sisa-sisanya yang akhirnya ditahbiskan.

Angkatan MSC yang tahun lalu ditabiskan itu kebetulan sangat unik. Jumlahnya 9 orang.

Tiga orang di pembinaan: RP Sisco, RP Aba, dan RP Eky. Tiga  orang di luar negeri: RP Kardo di Ekuador, RP Yongky di Perancis dan RP Frits di Jepang; serta tiga imam lainnya di paroki: RP Agus Maming di Tanjung Redep; sedangkan RP Steven Beljanan dan RP Aris Fenanlampir baru saja menerima tahbisan imamatnya di Ambon 28 Januari 2017 lalu.

Saya sebagai iman dan biarawan yang sudah berumur, sudah punya “kenangan” atau “ingatan” sejarah pribadi tentang misteri panggilan Tuhan dan juga mendapat banyak kesempatan untuk mendengarkan kisah tentang misteri panggilan Tuhan melalui sharing pribadi dan bimbingan rohani para frater.

Misteri panggilan religius

Kemarin, ketika saya mensyukuri hari ulang tahun, saya mendapatkan hadiah paling indah dari 8 frater MSC calon kaul kekal yang memberikan dirinya, membagikan pengalaman hidupnya atau “mewahyukan” pribadinya dan rela diketahui oleh teman-temannya. Mereka berbuka-buka tentang “bagaimana ceritanya” merasa dipanggil Tuhan, sudah menjalaninya sampai sekarang dan ingin mengajukan permohonan kaul kekal.

Itu karena kaul kekal berarti akan menjadi calon tahbisan diakon dan kemudian tahbisan imam.

Kebetulan ada inspirasi yang bagus dari bukunya Henri Nouwen yang diterjemahkan dan diberi kata pengantar oleh Mgr. Suharyo dengan judul aslinya: Life of the Beloved (Hidup Orang yang Dikasihi).

Ada empat kata kunci yang bisa menjadi pola untuk merenungkan misteri panggilan: diambil – diberkati – dipecah-pecahkan – dibagi-bagikan.

  • Kita diambil, dikhususkan, diistimewakan, disendirikan, ditarik keluar dari lingkungan hidup dan keluarga dan dibawa oleh Tuhan ke tempat yang akan ditunjukkan Tuhan kepada kita.
  • Kita bukan hanya diambil, melainkan juga dilengkapi dengan talenta dan semua hal yang dibutuhkan dalam pendidikan dan pembinaan panggilan.
  • Kemudian hidup kita akan dipecah–pecahkan, ditarik ke kiri dan ke kanan untuk melakukan tugas ini dan itu sehingga waktu , tenaga, pikiran, dan tubuh itu dipakai dengan baik.
  • Lalu dibagi-bagikan kepada sesama dalam banyak bentuk karya pelayanan.

Sebenarnya spiritualitas ekaristis itu berlaku untuk semua umat kristiani yang sudah dibaptis dan menjadi murid Yesus;  tetapi secara lebih khusus bisa diterapkan pula dalam hidup panggilan religius dan imamat.

Sebagai orang yang mulai tua yang sudah cukup lama dalam panggilan dan merasakan sendiri kerapuhan dan kelemahan–kelemahan manusiawi dalam menghayati kaul-kaul, maka seperti Yesus yang menatap mata pemuda kaya itu dengan belas kasih, maka demikian pula saya ini. Saya juga ingin menatap mata para konfrater muda itu dengan kasih karena mendengarkan kesaksian pengalaman misteri panggilan mereka yang unik, khas, khusus seolah–olah hanya diperuntukkan bagi diri mereka masing-masing dan tidak bisa berlaku untuk orang lain.

Memang begitulah misteri panggilan; tetapi begitu jugalah isteri hidup itu sendiri. Bukan hanya panggilan adalah misteri, melainkan hidup kita ini juga sebuah misteri.

Seperti Tuhan Allah juga sebuah misteri.

Kalimat terakhir ini saya kutib dari bukunya Romo Albertus Purnomo OFM, Bertarung dengan Allah, Kanisius, 2015, hlm. 15–16.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here