Iman Katolik: Prodiakon, Dewan Paroki, Itukah Capaian Optimal Awam Katolik?

0
2,040 views
Ilustrasi: Seorang Prodiakon membantu tugas imam memberikan olesan abu di dahi umat pada hari Rabu Abu, (Mathias Hariyadi)

SAYA seorang Katolik, sudah babtis. Tetapi saya masih punya pertanyaan ini:

Sebetulnya apa sih capaian tertinggi menjadi seorang awam Katolik itu? Apakah memang harus menjadi Prodiakon atau anggota Dewan Paroki?

Gagasan hidup ideal menurut pastor

Ya, saya dapat mengerti bahwa pertanyaan tersebut sampai muncul. Sebab memang harus diakui bahwa Gereja Katolik dipimpin oleh seorang uskup yang dibantu oleh para imam.

Merekalah yang diberi kuasa mengajar oleh Gereja. Tentu saja, sadar atau tidak, isi ajaran yang paling pasti dan paling gampang adalah apa yang diyakini dan dihayatinya.

Artinya, hidup seorang katolik yang sempurna adalah yang sesuai dengan idealisme mereka.

Buat mereka, maka yang model hidup manusia terbaik itu, misalnya, sebagai berikut:

  • menjadi man for others;
  • tidak boleh mikir diri sendiri dan kepentingan diri;
  • rajin beribadat alias berdoa.
  • harus mengikuti ekaristi tiap hari.

Hidup religius seorang imam ya memang harus begitu. Ia tidak perlu mikir mencari harta dunia. Hal seperti itulah yang selalu diajarkan, diomongkan, dikotbahkan terus menerus kepada Umat Katolik. Di mana pun juga. Plus kapan pun juga.

Maka, lalu timbul idealisme di dalam hati dan budi umat pada umumnya. Mereka lantas meyakini bahwa hidup yang terbaik adalah —–sedapat mungkin– berupaya hidup mengarah dan menuju ke gagasan ideal tersebut. Alias sebisa mungkin –siapa tahu—bisa menjadi “mirip-mirip” pastor.

Awam itu bukan imam

Padahal kenyataannya, awam itu bukan imam. Mereka bukan pastor beneran. Kalau ia berkeluarga, menikah, maka ya juga tidak mungkin jadi imam. Yang paling mungkin ya hidup “seperti imam”. Sekurang-kurangnya hidupnya mesti berada di dekat atau di sekitar imam.

Untuk itu, yang paling ideal adalah kalau awam itu bisa menjadi Prodiakon atau jadi anggota Dewan Paroki.

Nah ini dia. Prodiakon malah boleh pakai jubah seperti imam. Bahkan seorang Prodiakon dapat memberi pelayanan yang biasa dilakukan imam: memimpin ibadat, menerimakan komuni.

Bangganya jadi anggota Dewan Paroki

Saking penginnya, malah ada juga Prodiakon yang meniru gaya romo-nya. Sedangkan kalau orang jadi anggota Dewan Paroki kan sudah pasti sering ketemu romo, dekat dengan romo.

Bahkan sampai dekat dengan keluarga romo. Sampai ada yang mendapat semacam “hak istimewa” yakni senantiasa boleh dekat dengan romo.

Apalagi kalau ia berperiode-periode jadi anggota Dewan Paroki. Sampai juga tidak malu, tetapi justru bangga bisa selalu terpilih menjadi dewan. Akhirnya, bisa benar-benar sudah menjadi “ke-romo-romo–an.

Merasa lebih baik dari orang lain. Merasa bagai pejabat, karena dipercaya romo. Kalau pertemuan wilayah atau lingkungan pun harus disediakan tempat khusus, di deretan paling depan, dll. Yang terakhir ini sebenarnya amat memalukan. Semoga tidak ada di lingkungan pembaca).

Ekses Konsili Vatikan II

Pertanyaannya, mengapa semua itu terjadi? Sebenarnya itu adalah dampak –kalau tak dibilang ekses- dari Konsili Vatikan II yang mendorong Gereja untuk lebih banyak melibatkan awam. Yang mau dituju adalah melibatkan awam dalam karya pastoral Gereja.

Tetapi yang namanya karya pastoral itu seluas horizon. Sejauh mata bisa memandang serta multi makna. Dari karya pribadi pastor sampai karya apa pun yang dilakukan Gereja. Di antaranya yang paling dekat dan nyata adalah karya sakramental dan atau peribadatan.

Tetapi yang  paling dapat banyak dan mudah memberi tempat serta  kesempatan awam untuk terlibat adalah ya pastilah lewat kegiatan peribadatan.

  • Dari sisi imam, di ibadat inillah  paling nyata terasa adanya kekurangan tenaga imam.
  • Dari sisi awam, terlibat dalam ibadat itu menarik.

Kecuali perannya yang –itu tadi—seperti ke-imam-imaman, terutama dengan jubahnya,  juga ada kesempatan tampil dan dikenal umat banyak.

Modalnya pun relatif tidak sulit: “kesucian diri”, minimal tidak berdosa, yang menjadi sandungan umat.

Sampai ada suatu masa bahwa yang anaknya nikah campur, pernah “disingkiri” untuk jadi Prodiakon. Hingga yang tersisa jadi Prodiakon tinggal yang usia lanjut.

Kasihan umat yang dilayani dengan tangan gemetar karena sudah mulai buyutan. Kena tremor. Maka tak heran, bahwa dalam praktik ini justu jadi sandungan baru, karena ketuaannya.

Dekrit tentang awam

Kecuali pelibatan awam dalam karya pastoral Gereja, Konsili Vatikan II justru mau mengangkat peran awam dalam Gereja secara keseluruhan. Malah ada dekrit Konsili khusus tentang Awam.

Di sana dirumuskan apa itu awam. Apa itu panggilan khas awam. Panggilan khas awam, justru terletak pada ke-awam-annya.

Seumpama sepasang rel, Gereja punya dua rel.

  • Satu rel adalah hirarki (pastor termasuk).
  • Rel satunya adalah awam.

Keduanya harus menjalankan perannya secara maksimal dan optimal. Artinya awam akan memberi sumbang sih paling luhur dan utama justru dalam posisi dan panggilannya sebagai seorang awam, apa pun profesinya.

Jadi jangan sampai awam direduksi perannya menjadi keimam-imam-an (Prodiakon).

Sekarang ini ada contoh bagus.

Seorang tenaga medis  (dokter, perawat. dsb) awam. Sekarang ini, peran dan sumbangannya bagi Gereja tidak dapat digantikan oleh imam, bahkan oleh uskup sekalipun.

Justru karena mereka ini secara profesional –menurut keahliannya yang sudah tersertifikasi—adalah memang benar-benar tenaga kesehatan tokcer: dokter, perawat.

Imam juga tidak perlu beralih profesi menjadi  dokter atau perawat. Sekarang ini dokter dan perawat jelas jangan dan tidak perlu sama sekali jadi Prodiakon atau jadi anggota Dewan paroki.

Gereja justru hadir dan secara nyata berkarya dalam dan melalui awam Katolik yang menjadi dokter dan perawat itu.

Pada intinya, Gereja akan menjadi Gereja yang hidup justru dalam melalui para awam, dalam dan lewat ke-awam-annya. Siapa pun dan apa pun profesinya, di mana pun mereka berada. Apa pun profesinya: polisi, guru, TNI, politisi dll.

Maka jelas salah, kalau seorang yang karena profesi awamnya, tidak (selalu) hadir di Doa Dosario, pertemuan lingkungan, bahkan ke gereja di hari Minggu, lantas disindir hingga setengah “dikucilkan” oleh umat, apalagi oleh pastor parokinya.

Bila ini terjadi, maka mereka ini tidak memahami panggilan awam menurut Konsili Vatikan II.

Berperan aktif

Kesimpulannya, idealisme seorang awam Katolik, adalah menjadi awam yang secara unik berperan aktif, terlibat dalam (karya) Gereja justru melalui ‘keawamannya’.

Kalau ia awam yang guru, sekaranglah saatnya untuk jadi guru Katolik sejati, di masa pandemi ini. Lewat pembelajaran sistem daring ini.

Banggalah jadi awam justru lewat panggilan khas, sesuai profesi Anda. Kalau di sela waktunya dapat menjadi Prodiakon atau anggota Dewan Paroki, tentu boleh dan bagus.

Tapi tidak menjadi kurang Katolik, hanya karena tidak dapat menjadi prodiakon atau anggota dewan.

Semarang, 14 Juli 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here