Injil Minggu II Tahun C – 16 Januari 2022: Belajar Mengenali Karunia Rohani

0
438 views
Ilustrasi - Perkawinan di Kana by Gerard David

Yoh 2:1-11

PADA hari Minggu Biasa II Tahun C ini dibacakan Yoh 2:1-11 bersama dengan Yes 62:1-5 dan 1Kor 12:4-11.

Bacaan-bacaan ini dapat membantu kita untuk semakin menyadari bahwa Tuhan berkenan hadir di tengah-tengah kita dengan macam-macam karunia yang diberikan-Nya demi kesejahteraan bersama.

Itulah dasar kesatuan dan kegembiraan yang sungguh.

Paradigma baru berteologi

Yes 62:1-5 ditulis dengan latar belakang pembangunan kembali kota Yerusalem yang ditinggalkan sebagai reruntuhan selama masa pembuangan (586/7 hingga 537/8 Sebelum Masehi).

Upaya membangun kembali kota itu didasarkan pada keyakinan bahwa Tuhan kini sudi berdiam kembali di gunung-Nya yang suci, Sion, di Yerusalem.

Syair mengenai Sion dalam bacaan ini menggairahkan kembali semangat orang. Yang pertama-tama perlu dihidupkan kembali ialah reruntuhan batin mereka.

Baru dengan demikian, mereka akan dapat menghidupkan kembali tempat ibadat di kota suci itu.

Perhatian besar Tuhan diibaratkan sebagai kasih sayang kepada mempelai yang dikasihi-Nya. Suasana kemurungan beralih menjadi kegembiraan pesta pernikahan.

Kini, umat tidak usah merasa diri ditinggalkan. Tuhan yang dulu membuat orang gemetar kini tampil sebagai mempelai yang lemah lembut dan penuh perhatian.

Bangsa-bangsa lain menyaksikan hal ini dan ikut bergembira. Mereka juga tidak lagi perlu merasa terancam akan direbut harta dan kotanya seperti dulu, ketika Tuhan digambarkan sebagai yang mempimpin umat-Nya merebut Tanah Kanaan.

Teologi penaklukan seperti itu terasa usang. Ada paradigma baru, yakni teologi yang menaruh keprihatinan untuk membangun ruang hidup bersama, baik di dalam umat maupun dengan orang-orang lain.

Warta seperti ini dapat berbicara kepada orang-orang yang tidak termasuk umat dan berlaku di mana-mana, karena menyentuh keinginan yang paling dasar dalam diri manusia, yakni keinginan untuk hidup damai dengan orang-orang lain, keinginan untuk tidak merasa terancam oleh kehadiran orang lain.

Yang lain kini memperkaya, bukan merebut kekayaan.

Juga di bidang hidup ibadat. Umat Perjanjian Lama butuh waktu yang panjang untuk sampai pada keterbukaan seperti itu. Mereka mengalami banyak kepahitan sebelum bisa melihat bahwa orang-orang lain juga sama seperti mereka.

Kegembiraan tak terputus = tanda?

Suasana gembira menandai pesta pernikahan di Kana. Banyak tamu datang dan ikut merasakan suasana itu. Tak heran jika persediaan anggur menipis. Akan tetapi, kegembiraan tetamu berlanjut, karena ada anggur yang lebih baik yang bisa dihidangkan.

Kita tahu bagaimana ini terjadi.

Yesus menyuruh pelayan-pelayan mengisi tempayan-tempayan dengan air dan membawanya kepada pemimpin perjamuan.

Pemimpin perjamuan mencicipinya sambil terheran-heran mengapa tuan rumah masih menyimpan anggur yang lebih baik.

Pesta berlangsung terus dan menjadi makin meriah. Tentunya makin banyak orang dapat ikut serta bergembira.

Pada akhir kisah mengenai pesta di Kana itu disebutkan bahwa inilah “tanda” pertama yang dibuat oleh Yesus (Yoh 2:11).

Apa yang dimaksud dengan “tanda” di sini? Air menjadi anggur?

Meskipun unsur ini penting, rasa-rasanya maksud Yohanes lain. Baginya, tanda yang jelas ialah kemeriahan pesta yang berlangsung terus dan kehadiran Yesus di situ yang memungkinkan pesta itu tidak terhenti.

Inilah yang dirujuknya sebagai hal itu.

Kegembiraan yang tak terputus dan malah bertambah besar inilah yang membuat murid-murid­Nya percaya kepada-Nya.

Percaya di sini ialah percaya bahwa Ia itu patut diikuti; Ia itu memperhatikan orang; Ia itu membuat orang makin mengenali kebaikan Tuhan.

Murid-murid-Nya percaya, bukan karena peristiwa menakjubkan air menjadi anggur.

Kehadiran-Nya yang membuat orang merasa tak kurang satu apa itulah yang menjadi tanda yang pertama yang dilakukan Yesus bagi orang banyak.

Belajar dari Maria

Pada awal kisah di Kana itu disebutkan… ada perkawinan di Kana dan ibu Yesus ada di situ (Yoh 2:1). Baru setelah itu dikatakan bahwa Yesus dan murid-murid-Nya diundang juga. Dapat diduga bahwa Maria mengajak Yesus dan Yesus mengajak murid-murid-Nya.

Ini dilakukan orang di mana-mana. Bila diperhatikan, akan tampak betapa besarnya peran Maria dalam peristiwa ini. Dia-lah yang mengatakan kepada Yesus bahwa orang kehabisan anggur.

Maria jugalah yang berkata kepada pelayan-pelayan agar menuruti semua yang dikatakan Yesus.

Tidak keliru bila dikatakan Maria mengantar kedatangan Yesus sang Penghadir Tuhan kepada orang banyak dan mempertemukan mereka dengan Tuhan sendiri.

Bisa kita bayangkan Maria dapat juga berusaha mencari bantuan ke tempat lain. Tetapi ia meminta kepada Yesus.

Maria percaya bahwa Yesus bisa berbuat sesuatu, meskipun belum pernah menyaksikannya sendiri.

Yohanes yang menceritakan peristiwa ini mungkin mau menyarankan agar kita juga percaya bahwa kehadiran Yesus itu pasti memberi sesuatu.

Bagaimana penjelasan reaksi Yesus “Mau apa engkau dariku, Bu? Saatku belum tiba.” terhadap kata-kata ibunya?

Dalam bahasa Yunani Kitab Suci, tetapi asalnya dari bahasa Ibrani, ungkapan itu harfiahnya berbunyi “Apa bagiku dan bagimu?”.

Ini sudah menjadi ungkapan klise untuk mengungkapkan macam-macam reaksi terhadap perbuatan orang lain, dari sekadar basa basi untuk mengatakan agar tak usah repot-repot sampai ungkapan rasa kurang enak. Nadanya bisa halus, netral, atau ketus.

Dengan memakai sebutan “Bu”, ungkapan itu jadi bernada halus dan dimaksudkan agar Maria tidak perlu merepotkan diri lagi dengan perkara ini karena saatku belum tiba.

Artinya, Yesus mempunyai perhitungan sendiri. Tidak perlu ungkapan ini dikait-kaitkan dengan saat penebusan di salib nanti atau saat apa lagi dalam kehidupan Yesus.

Sekali lagi, kita dapat belajar dari Maria. Ia tidak mendesak-desak. Ia percaya Yesus mempunyai perhitungan sendiri.

Sering dalam doa, kita merasa semuanya penting dan mendesak serta menjadi gelisah, karena merasa tak ada jawaban.

Amat boleh jadi Tuhan berkata kepada kita, “Mau apa kalian dariku? Saatku belum tiba.” seperti kepada Maria, ibunya, orang yang paling dekat kepadanya.

Dan sikap Maria yang menghormati perhitungan Tuhan dapat membantu kita. Maria tidak diam saja. Ia mempersiapkan jalan Tuhan: ia menyuruh orang melakukan apa yang nanti dikatakan Yesus.

Inilah cara menantikan saat Tuhan bertindak dalam perhitungan-Nya sendiri.

Karunia rohani demi kesejahteraan bersama

Dalam bacaan liturgi hari Minggu, bacaan kedua sering tidak mudah dikaitkan dengan kedua bacaan yang lain.

Namun demikian, sering dapat membantu bila didalami sikap iman mana yang dianjurkan dalam bacaan kedua itu.

Dalam 1Kor 12:4-11, Paulus mengajak orang memahami bahwa Roh yang sama berkarya di tengah-tengah manusia dalam berbagai bentuk karunia dan macam-macam pelayanan serta perbuatan-perbuatan yang menakjubkan.

Dalam cara bicara Paulus, ungkapan “karunia Roh” sebetulnya berarti “pemberian rohani”.

Jadi lebih berpusat pada pemberian sendiri dan sifat pemberian itu, bukan pada gagasan mengenai kekuatan yang tiba-tiba menghinggapi orang.

Begitulah, dalam ay. 7, Paulus menegaskan bahwa semua pemberian rohani itu bagi kepentingan bersama. Bila unsur ini tak ada, orang boleh mempertanyakan apa asalnya betul-betul dari Roh, apa sungguh rohani sifatnya.

Mukjizat spektakuler, sukses besar bukan jaminan bila arahnya bukan demi kebahagian bersama.

Kerap istilah “karunia Roh” dipahami sebagai kekuatan atau kekhususan yang menakjubkan yang berasal dari Roh.

Seperti di Kana tadi, air berubah jadi anggur melulu tidak akan banyak artinya bila tidak membuat orang-orang yang hadir bisa terus bergembira.

Mukjizat dan tanda

Dalam Injil-injil, kisah mukjizat Yesus sebenarnya dimaksudkan sebagai tanda agar kehadiran Yang Ilahi di tengah-tengah manusia terlihat orang banyak.

Kehadiran inilah yang membuka mata orang buta, yang membuat orang tuli mendengar, yang membuat orang gagu bicara, yang membuat orang lumpuh bisa berjalan kembali, yang membuat orang berdosa merasakan pengampunan.

Bila dimengerti sebagai mukjizat belaka, malah akan kurang tampaklah kehadiran Yang Ilahi yang sesungguhnya.

Maklumlah, di hadapan mukjizat orang akan tidak bisa berbuat banyak selain tunduk dan boleh jadi tidak lagi merdeka.

Akan tetapi, berhadapan dengan tanda, orang dapat mencari maknanya dan menghidupi kenyataan yang ditandakan.

Dulu, umat Perjanjian Lama butuh waktu panjang sebelum menginsafi betapa tidak lestarinya keyakinan yang dibangun semata-mata atas dasar tindakan-tindakan mukjizat Tuhan yang menjadi unsur pokok teologi penaklukan Tanah Kanaan.

Baru kemudian mereka sadar bahwa teologi membangun ruang hidup bersama lebih memungkinkan hidup damai.

Dalam masyarakat yang majemuk, teologi seperti ini dapat mengajak orang menghargai perbedaan dan membuat orang peka akan cara-cara Tuhan hadir di tengah umat manusia. Teologi penaklukan malah bisa berakibat kekerasan dan permusuhan.

Salam hangat,

A. Gianto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here