MEMBACA Injil hari ini, Luk 4:38-44, saya jadi teringat dengan kisah berbagi kasih di masa tanggap darurat bencana gempa dan tsunami di Kepulauan Mentawai , Sumbar tahun 2010.
Gempa yang dahsyat telah memporakporandakan gugusan Kepulauan Mentawai. 400-an orang meninggal, ribuan orang kehilangan tempat tinggal dan sumber hidup.
Saat itu, semua orang datang membantu. Lembaga NGO di luar dan dalam negeri ambil bagian membantu. Gereja Katolik berhimpun bersama melalui lembaga Caritas terjun langsung ke pusat-pusat penampungan para pengungsi.
Saat itu, saya berkarya sebagai pastor di Paroki St. Maria Assumpta Sikakap, Mentawai, Keuskupan Padang.
Pastoran menjadi tempat berkumpulnya para relawan yang bergabung bersama Caritas. Semua orang datang, orang asing dan WNI, baik yang Katolik, Kristen Protestan, Islam, Hindu dan Budha, bahkan ada yang mengaku ateis berkumpul di Pastoran Sikakap.
Rasa kemanusiaan dan kepedulian yang mempersatukan kami. Tidak ada sekat yang memisahkan semua orang saat itu.
Barang-barang bantuan diberikan untuk semua orang tanpa membedakan agama. Satu hal menarik, saat membangun rumah untuk korban.
Ibu Siti dari Dusun Mabolak datang bertanya apakah sebagai seorang Muslim, dia juga boleh mendapatkan bantuan rumah dari Caritas dan Gereja Katolik Keuskupan Padang?
Saya menegaskan bahwa semua orang yang jadi korban bencana dapat bantuan, tanpa kecuali.
Kasih sejati melampaui sekat suku, agama, ras dan antar golongan.
Murid-murid Yesus mesti siap dan berani keluar dari “getho” dan zona nyaman pelayanan kasih, agar kasih Kristus yang universal itu, semakin dirasakan oleh semua orang tanpa disekat-sekat oleh unsur primordialisme.
Seperti yang difirmankan Yesus: “Juga di kota-kota lain Aku harus mewartakan Injil Allah sebab untuk itulah Aku diutus” (Luk 4:43).
Weri, Larantuka 2 September 2020.
