Kedewasaan Dalam Saling Menghormati

0
1,068 views
Taslim Syahlan mohon berkat untuk air dari Romo Budi

UNGARAN – Kabupaten Semarang (Rabu, 16/12/2015). Sesudah bulan lalu (21/11/2015) sejumlah Pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Semarang mengunjungi dan bersilaturahmi dengan Romo Aloys Budi Purnomo, Pr sebagai Delegatus Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (Komisi HAK KAS) yang sejak 03 November memulai tugas yang baru melayani umat di Paroki Kristus Raja Ungaran, giliran kali ini sejumlah Pengurus FKUB Provinsi Jawa Tengah yang berkunjung dan bersilaturahmi kepadanya yang juga bertugas sebagai wakil ketua FKUB Jateng. Kunjungan kali ini diikuti oleh Prof Dr Mudjahirin Tohir (Ketua FKUB Jateng), Taslim Syahlan (Sekretaris), Tjandra (anggota dari Buddha), Pdt. Bambang dan Ari Pradhana (Kristen) dan Lukas Awi Tristanto (Katolik).

Kunjungan kali ini sangat unik, sebab kepada Romo Budi diberikan oleh-oleh berupa bingkisan Natal – dan itu merupakan bingkisan Natal pertama tahun ini yag diterimanya. Saat rombongan tiba di Gereja yang terletak di girlan (pinggir jalan) Ungaran itu, mereka langsung dipersilahkan duduk di ruang tamu pastoran. Setelah saling menyapa, bersalaman dan peluk cium persahabatan, para tamu tampak begitu enjoy berada di ruang tamu pastoran. Ada yang duduk santai di tepi bibir kolam ikan sambil memandang ikan-ikan di dalamnya. Ada pula yang menikmati minuman.

Yang menarik adalah saat Taslim memohon ijin untuk menjalankan ibadat sholat. Romo Budi mempersiapkan tempat seadanya. Syukurlah ada alas lantai yang bersih yang bisa dibentangkan untuk pengganti sajadah. Dan sekretaris FKUB Jateng itu pun menjalankan ibadat sholat dengan khusyuk, sementara yang lain melanjutkan obrolannya. Sesudah itu, giliran Prof Mudja yang menjalankan ibadat shoat di tempat yang sama. Ini merupakan kali pertama pastoran Ungaran dipergunakan untuk mendirikan ibadat sholat.

Prof Mudjahirin Tohir sholat di pastoran Ungaran
Prof Mudjahirin Tohir sholat di pastoran Ungaran

Sesudah itu, obrolan terus berlanjut secara informal sambil menikmati santap siang yang sudah disediakan. Obrolan bermula dari sebuah pertanyaan terkait dengan yang belakangan ini sedang hangat, yakni seruan MUI yang mengatakan agar para karyawan-karyawati mal-mal atau sejenisnya yang beragama Islam tidak menggunakan topi sinterklas. “Mengapa yang seperti itu harus disampaikan oleh MUI?” tanya Pdt. Bambang. Pertanyaan itu dijawabnya sendiri, bahwa topi sinterklas itu hanyalah sekadar fashion yang tidak menyangkut hakikat Natal. Itu hanyalah bagian dari budaya tidak menjadi hakikat agama.

Prof Mudja pun menimpali, “Itu yang harus dijelaskan kepada khalayak. Kita sendiri sebagai orang FKUB juga tidak mengerti tentang hal itu. Apakah topi itu bagian dari ritual atau bukan. Mungkin untuk menetralisir, mereka yang tidak beragama Kristiani, tidak usah memakai topi sinterklas tetapi mengenakan peci atau topi lain yang lebih netral.”

Pembicaraan kian menjadi seru ketika sampai pada kesadaran untuk tidak serta-merta mengidentikkan pakaian dan fashion dengan keagamaan tertentu. Dari situ lalu muncul obrolan tentang jilbab bagi kaum Muslimah, dan mantila bagi kaum perempuan Nasrani yang mengenakannya. Ada keserupaan, tetapi dengan pemaknaan agamis yang berbeda. Yang satu identik dengan Islam, yang lain dengan Kristiani. “Bahkan, ada yang merasa tidak layak untuk mengikuti sholat gara-gara tidak mengenakan peci karena seolah-olah peci itu bagian dari agama Islam” kata Prof Mudja.

“Apa alasan yang paling mendasar bahwa umat Islam tidak boleh mengucapkan selamat Natal?” tanya Ari Pradhana. Dan inilah jawaban spontan Prof Mudja, “Ada pandangan yang menyangkut premis minor tapi ditarik dalam kesimpulan mayor. Orang Islam yang mengucapkan selamat Natal dianggap mengakui bahwa Yesus adalah Anak Tuhan.”

Sementara itu, Taslim menjelaskan, “Sebetulnya, dalam Al Quran sendiri kisah kelahiran Yesus itu juga ada. Yesus adalah Nabi yang istimewa. Kami juga mengakui dan menerimanya. Dalam pengertian ini, maka, mengucapkan selamat Natal tidak masalah. Yang menjadi masalah ketika orang menghubungkan ucapan selamat Natal itu dengan pandangan seperti yang disampaikan Pak Ketua tadi.”

Pak Taslim sendiri amat menghayati ucapannya itu sebab saat berpamitan, sekretaris FKUB Jateng itu dengan penuh takzim mengucapkan selamat Natal kepada Romo Budi. Bahkan, sebelumnya, beliau memintakan dua botol air mineral agar didoakan dan diberkati oleh Romo Budi untuk kemudian beliau bawa pulang.

Tanpa terasa, perjumpaan hampir tiga jam itu berisi dengan obrolan-obrolan yang amat serius dan mendalam, termasuk diskusi tentang mengapa Yesus dalam kalangan Kristiani disebut Tuhan. Pdt. Bambang dengan penuh semangat menjelaskannya. Romo Budi menimpalinya. Pdt. Bambang berbicara dari sisi teologi Trinitas. Romo Budi menambah dari sisi Katolik tentang gelar-gelar yang diberikan kepada Yesus, antara lain gelar Tuhan yang dalam bahasa Yunani disebut Kurios. Bahkan, diskusi sampai pada soal Allah Sang Khalik dan Yesus sebagai Makhluk tapi bagaimana yang Makhluk ini bisa disebut Tuhan, justru karena dalam diri-Nya terpancar dan terpraksis sifat-sifat ke-Allah-an, sehingga Yesus yang sungguh-sungguh manusia – kecuali dalam hal dosa itu – juga sekaligus disebut Tuhan dengan sifat-sifat ke-Allah-an. “Tuhan sebagai gelar bagi Yesus menunjuk pada kualitas istimewa ke-Putra-an-nya dan dari gelar ini Yesus tetap berbeda dar Allah yang disebut Bapa meski keduanya memiliki kesatuan yang mesra. Sebutan Anak untuk-Nya tak harus karena alasan biologis melainkan karena keistimewaan kualitasnya kurang lebih sama seperti bangsa ini memiliki putra-putri bangsa bukan karena bangsa ini memperanakkan mereka tetapi karena kualitas hidup mereka hingga beroleh sebutan istimewa” tambah Romo Budi.

Karena diskusi kian seru dan tidak bisa saling memuaskan karena menyangkut aqidah iman, apalagi ketika Tjandra bertanya soal sorga dan neraka itu apa, tiba-tiba Prof Mudja berseloroh, “Tuhan…, Engkau bersembunyi di mana? Masih perlukah agama-agama di dunia ini?”

Apa pun suasananya, yang jelas, kunjungan silaturahmi itu telah menginspirasi untuk terus menghayati praksis hidup beriman dan beragama secara dewasa dengan sikap saling menghormati satu terhadap yang lain. Tak mungkin agama-agama dibubarkan. Tak mungkin pula agama-agama dilebur menjadi satu. Semua ada karena kehendak-Nya agar manusia kian mampu memuliakan Nama-Nya, apa pun sebutan-Nya dan dengan cara apa pun dilakukannya. Yang terpenting adalah bahwa kemanusiaan itu satu untuk mewujudkan peradaban kasih dalam kehidupan bersama yang sejahtera, bermartabat dan beriman, apa pun agamanya. Karenanya, tak usahlah berdebat tentang aqidah dan dalil iman masing-masing agama, namun kian kita bisa melek agama lain, kian kita bisa pula menghadirkan cara hidup beriman dan beragama secara dewasa.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here