Komentator

0
384 views
Ilustrasi - Nyala terang dari lampu bolam. (Ist)

Renungan Harian
Selasa, 8 Juni 2021
Bacaan I: 2Kor. 1: 18-22
Injil: Mat. 5: 13-16
 
BEBERAPA
tahun yang lalu, ketika saya berpastoral di KUKSA-UI (mahasiswa katolik Universitas Indonesia), saya terlibat diskusi dengan teman-teman mahasiswa.

Dalam diskusi itu, banyak teman-teman mahasiswa mengritik Gereja Katolik yang tidak membumi, tidak terlibat dalam masyarakat.

Di samping itu, teman-teman mahasiswa juga mengritik kegiatan teman-teman mahasiswa yang sering kali kumpul-kumpul di Wisma SJ, karena seharusnya mereka berbaur dengan teman-teman mahasiswa umum.

Kalau kumpul hanya dengan teman-teman yang Katolik, maka itu namanya membuat pabrik garam.
 
Pada saat itu kritik mereka pada Gereja cukup pedas. Mereka memberi usulan-usulan apa yang harus dilakukan Gereja.

Beberapa teman mahasiswa menanggapi kritik itu dengan memberikan penjelasan tentang posisi Gereja. Namun demikian, teman-teman yang mengritik justru semakin keras dan seram.

Pada saat itu  diskusi itu saya ditemani Romo Herman Roborgh SJ, imam Jesuit dari Australia.

Sebenarnya Romo Herman Roborgh SJ hanya ingin mendengarkan dan meminta saya hanya mendengarkan dan tidak memberi tanggapan.

Namun karena teman-teman mendesak agar Romo Herman Roborgh SJ atau saya memberi tanggapan, maka Romo Herman menjawab.
 
“Teman-teman, terima kasih atas kritiknya yang menunjukkan perhatian dan kepedulian terhadap Gereja. Gereja itu siapa? Uskup, para imam? Biarawan-biarawati? Gereja itu adalah kita semua, saya, frater dan teman-teman semua.

Artinya kalau kritik yang teman-teman sampaikan itu berarti kritik untuk kita semua.

Maka pertanyaannya adalah apa yang telah kita semua lakukan agar Gereja sungguh-sungguh membumi dan  terlibat dalam masyarakat?

Semoga kritik itu menjadikan motivasi bagi teman-teman untuk bergerak dan bertindak.

Satu hal penting jangan hanya berteriak-teriak meneriakkan ketidakpuasan, dan mengatakan harus begini dan harus begitu.

Bergerak dan bertindak sehingga mengalami dan mengerti berbagai macam tantangan dan kesulitan. Ingat, kita adalah garam dan terang maka harus asin dan memancarkan cahaya,” Romo Herman menjelaskan.
 
Semua teman diam. Dan saat itu kami semua disadarkan bahwa kami adalah garam dan terang. Bukan diminta menjadi garam dan terang.

Artinya identitas kami adalah garam dan terang sehingga harus asin dan bercahaya.

Bergerak dan bertindak adalah wujud dari keberadaan garam dan terang.
 
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Markus: “Kalian ini garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar dengan apakah dapat diasinkan? Tiada gunanya lagi selain dibuang dan diinjak orang. Kalian ini cahaya dunia.”
 
Bagaimana dengan aku?

Apakah aku mau bergerak dan terlibat?
 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here