Laporan dari Napoli, Italia: “Ruang Karitas”, Wujud Solidaritas Gereja Katolik untuk Sesama

0
512 views
Ilustrasi: Kolekte dalam sebuah misa bersama Mgr. Aloysius Murwito OFM di Stasi Sagare, tujuh jam perjalanan naik speedboat dari Asmat. (Mathias Hariyadi)

DI Italia, di setiap paroki selalu tersedia sebuah ruang yang dinamakan “Ruang Karitas. Perlu diketahui bahwa keberadaan “Ruang Karitas” ini merupakan bagian integral dari karya pastoral Gereja, terutama dalam menanggapi penderitaan dari sesama yang miskin.

Di dalam ruangan ini tersedia berbagai jenis makanan, pakaian dan beberapa jenis kebutuhan lainnya yang akan didistribusikan secara gratis kepada orang-orang yang berkekurangan di wilayah parokinya, khususnya para imigran yang datang dari berbagai negara.

Barang-barang kebutuhan in diterima dari mereka yang secara suka rela berbagi kasih dengan sesama yang membutuhkannya.

Aksi karitatif ini tentu saja baik untuk diteladani.

 Splagchnizomai: Karena belas kasihan

Dalam kisah orang Samaria yang baik hati, tertera kalimat ini: “…dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.” (bdk. Luk. 10:33).

Kata yang digunakan untuk menerjemahkan frase “tergerak karena belas kasihan” adalah splanchnizomai.

Istilah  splanchnizomai merujuk pada arti perasaan (hati) dari seorang ibu (i sentimenti di una madre).

Isitlah ini juga mengandung arti vicinanza atau kedekatan (merangkul) dan kasih dari seorang ibu (affeto materno) yang tanpa pamrih (bdk. Gaetano La Speme, 2017).  

Sesungguhnya, persediaan “Ruang Karitas” di setiap paroki di Italia memiliki pesan moral yang begitu mulia. Fenomena ini ingin menegaskan bahwa kasih akan sesama bukan hanya sebatas pada ungkapan romantis semata tapi harus mengalir pada suatu aksi yang konkret.

Iman akan Allah mesti menjadi suatu iman yang hidup.

Tentang hal ini, Santo Yakobus berkata: “Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.” (Bdk. Yak 2:18b).

Menjawab kebutuhan

“Ruang Karitas” merupakan suatu jawaban yang riil lagi menawan dalam menanggapi situasi penderitaan yang dialami oleh sesama. Ia lahir sebagai suatu bentuk kepedulian terhadap jeritan penderitaan dari orang-orang di sekitarnya.

Kita mengenal orang-orang Eropa dengan budaya hidup individualis yang tinggi. Akan tetapi, gaya hidup ini menjadi runtuh, ketika berhadapan dengan sesama yang miskin, yang sedang berkekurangan.

Melihat fakta ini, kita kembali sadar bahwa di hadapan orang-orang miskin, saya dipanggil untuk menaruh kepedulian terhadap dirinya. Ada suatu kewajiban moral untuk bertanggung jawab atas keadaannya.

Emmanuel Levinas, filsuf etika abad-20  dalam Filsafat Alteritasnya mengungkapkan,  bahwa kehadiran “yang lain melalui ‘wajah’ (le face)” merupakan suatu imbauan etis atas diriku.

Wajah itu berbicara,” demikian kata Levinas (Felix Baghi, 2012).Ia berbicara bukan melalui suatu kodifikasi bahasa, bukan juga melalui ungkapan verbal. Ia berbicara melalui kehadirannya dan presensinya merupakan daya yang ampuh yang dapat meruntuhkan totalitas subjek dalam tatanan otonomi diri yang egoistis dan totaliter.

Konkretnya, kehadiran yang lain di hadapanku mau memberi sinyal bahwa keberadaannya tidak dapat diabaikan begitu saja. Diriku harus memberi prioritas yaitu perhatian dan respon terhadap keadaannya.

Gerakan karitatif Gereja Indonesia

Santo Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Dives in Misericordia menulis demikian: “La chiesa vive una vita autentica quando prefessa e proclama la misericordia” (Gereja hidup dalam suatu kehidupan yang otentik ketika mengakui (menghayati) dan mewartakan belaskasihan).

Pernyataan ini mau mengatakan bahwa berbelas kasih akan sesama merupakan karateristik utama dalam hidup menggereja. Setiap pengikut Kristus dipanggil untuk mencintai sesama.

Kita tahu bahwa di Indonesia komunitas gereja termasuk dalam kelompok minoritas. Akan tetapi, ke-minoritas-annya bukan menjadi halangan untuk mencintai sesama yang berkekurangan.

Sehingga pertanyaannya adalah sejauh manakah gereja atau umat Kristiani di Indonesia mengaplikasikan ajaran imannya dalam suatu tataran praktis? Ini adalah sebuah pertanyaan yang amat fondamental karena sejatinya kehadiran gereja harus memberi kontribusi yang berdaya guna, sumbangan ke arah praktis pembebasan bagi yang lemah.

Gereja harus mampu meningkatkan suatu gerakan yang bersifat progresif revolusioner demi mencapai suatu atmosfer kehidupan yang layak.

Di tengah situasi kemiskinan yang tengah mendera kehidupan masyarakat kecil di Indonesia, gereja dipanggil untuk keluar dari dirinya, keluar dari dunianya dan melakukan gerakan pembaharuan yang mampu menyelamatkan orang-orang yang lemah.

Bukan sesuatu yang ekstrim, jika dikatakan bahwa keberadaan “Ruang Karitas”  menghembuskan roh pencerahan bagi gereja di Indonesia untuk peka mendengar jeritan orang miskin di sekitarnya.

Paus Fransiskus pada peringatan hari Orang Miskin Sedunia, mengatakan: “Dengarkanlah rintihan dari orang-orang miskin….Ada kebutuhan yang besar bagi orang-orang yang tahu menghibur (respek dengan penderitaan sesamanya) tetapi bukan dengan kata-kata kosong, melainkan dengan kata-kata yang hidup” (Ascoltare il grido dei poveri….C’è grande bisogno di gente che sappia consolare, ma non con parole vuote, bensì con parole di vita), (bdk. IlFattoQuotidiano.it, edisi 18 Novembre 2018).

Benar bahwa  Gereja di Indonesia tidak sekaya Gereja di Italia. Namun jauh dari itu, penulis sangat yakin bahwa ada begitu banyak anggota Gereja di Indonesia yang memiliki kehidupan ekonomi, lebih dari cukup (kalau tidak mau dibilang kaya).

Tugas Gereja

Maka dalam konteks ini,  tugas utama Gereja adalah merangkum dan membangun kerja sama serta mengajak umatnya membangun suatu aksi karitatif bagi sesama yang miskin.

Melalui jalan ini, gereja memberi suatu testimonianza yang hidup tentang inti ajaran imannya yakni cinta kasih. Dengan ini pula, nasihat-nasihat saleh, sabda-sabda kehidupan dari mimbar sabda menjelma dalam aksi yang nyata.

Sebab jika tidak demikian, maka “Nasihat-nasihat bertubi-tubi datang untuk menyalakan api kecil pengharapannya akan hari depan, namun semua itu malah terdengar seperti konser requiem yang seolah datang mengiringi pemakamannya. Dia merasa menjauh dari bumi manusia dan seolah mengisolasi diri ke sisi bulan yang tak tampak dari bumi.

Ada hal-hal di dalam kehidupan ini yang tidak dapat diatasi dengan nasihat, melainkan dengan ikut merasakan. Itulah penderitaan dan kesedihan.

“Manusia yang bersedih ingin dipahami, bukan dinasihati, dan dipahami seperti dia merasakan sendiri hal-hal yang tak ia pahami di dalam kehidupannya. Dia membutuhkan compassion”. (F. Budi Hardiman, 2011).

Kepekaan Gereja Indonesia dalam membantu sesama yang miskin mengindikasikan kedalaman dan kematangan penghayatan imannya akan Yesus Kristus, Allah yang menjelma menjadi manusia. Tidak cukup bagi gereja untuk mengasihi dan menyembah Allah yang bertahta dalam mezbah yang maha agung namun mengabaikan sesama yang sedang menderita.

Pater Leo Kleden SVD dalam bagian terakhir sajaknya Surat untuk Tuhan menulis demikian:

Maka di sini di laut derita, bisakah seorang mengelak teriak dari kapal yang sedang karam? Apa makna semua doa, madah puji dan nyanyi ibadah bagi mereka yang kini tenggelam? Sungguh, di laut duka aku telah melupakan engkau. Namamu – tak lagi penting untuk diriku, dan mungkin namaku tak pernah berarti untukmu jua. Tapi mengapa di siang ini, ketika hibuk dalam letih, sesudah hilang semua pamrih, tiada terduga engkau tiba: O Cahaya mahacahaya, Sunyi suci yang melahirkan Kata, lebih kaya dari cinta lebih miskin dari rindu, di tengah wajah kanak-kanak lapar, aku sujud menyembah engkau”.

Oleh karena itu, kualitas iman mesti diwujudnyatakan dalam tindakan. Penghayatan iman akan Kristus harus mampu memberikan efek sosial positif kepada umatnya lewat kepedulian terhadap orang-orang kecil.

Menyediakan “Ruang Karitas” adalah salah satu langkah praktis guna mewujudnyatakan cinta kasih bagi yang lemah. Sekecil apa pun yang Gereja berikan tetapi sangat berarti bagi yang membutuhkannya.

Rabindranath Tagore, seorang Brahmo Samaj dan sastrawan asal India menulis demikian: “Tuhanmu ada di jalan, di mana orang menumbuk batu dan menanam kebunnya. Bukan hanya di kuil yang penuh asap dupa dan gumawan serta pengiring hitungan tasbih.”

Tindakan yang lahir dari sebuah hati yang penuh kasih dapat menembus segala ruang pemisah, tanpa memandang suku bangsa, agama dan ras.  

           

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here