Lectio Divina 10.07.2021 – Jangan Takut dan Menyangkal Aku

0
292 views
Ilustrasi: Jangan takut, kamu lebih berharga daripada burung pipit, by Vatican News.

Sabtu. Pekan Biasa XIV (H)

  • Kej.49: 29-32;50:15-24.
  • Mzm.105: 1-2.3-4.6-7.
  • Mat. 10: 24-33.

Lectio

24 Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, atau seorang hamba dari pada tuannya. 25 Cukuplah bagi seorang murid jika ia menjadi sama seperti gurunya dan bagi seorang hamba jika ia menjadi sama seperti tuannya. Jika tuan rumah disebut Beelzebul, apalagi seisi rumahnya.

26 Jadi janganlah kamu takut terhadap mereka, karena tidak ada sesuatu pun yang tertutup yang tidak akan dibuka dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui. 27 Apa yang Kukatakan kepadamu dalam gelap, katakanlah itu dalam terang; dan apa yang dibisikkan ke telingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah.

28 Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.

29 Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. 30 Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya. 31 Sebab itu janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit.

32 Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di surga. 33 Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di surga.” 

Meditatio-Exegese

Janganlah kamu takut

Pada awal masa kepausannya, Santo Paus Yohanes Paulus II, menggemakan sabda Yesus, “Janganlah kamu takut.”

Beliau meneladan Yesus, tahu bahwa rasa takut merupakan kekuatan yang sangat luar biasa besar.

Rasa takut menyebabkan kepanikan dan pelarian diri atau memicu untuk tetap berpegang pada iman dan melaksanakannya. Takut akan Allah menjadi racun atas takut akan kehilangan hidup.

Pemazmur bermadah, “Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku. Takutlah akan TUHAN, hai orang-orang-Nya yang kudus, sebab tidak berkekurangan orang yang takut akan Dia. Marilah anak-anak, dengarkanlah aku, takut akan TUHAN akan kuajarkan kepadamu.” (Mzm. 34:5.10.12).

Dalam perikop ini, Santo Matius menggemakan sabda Yesus ini tiga kali (Mat. 10:26.28.31), “Janganlah kamu takut.” ne ergo timueritis.

Kata timueritis berasal dari kata kerja timere (Latin). Ungkapan ini digunakan untuk menguatkan hati para murid dalam menghadapi persekusi, pengejaran, penderitaan, bahkan, pembunuhan.

Di samping itu, para murid harus percaya pada penyelenggaraan ilahi. Yesus mengajak para murid untuk melihat dan belajar dari alam yang menyelenggarakan hidup bagi burung pipit.

Bahkan rambut pun diperhatikan Allah (bdk. Mat. 10:30; Luk. 21:18). Tiap murid selalu lebih bernilai di hadapan-Nya.

Kalimat lain (Mat. 10:28), “Takutlah.”, timete, digunakan untuk memaknai rasa segan, kasih dan hormat kepada Allah. Ia mempunyai segala kuasa untuk membunuh jiwa dan raga serta menempatkannya di neraka. Kepada-Nya, tiap murid harus berpihak.

Mereka dapat membunuh tubuh. Yesus mengulang peringatan akan kesulitan yang dihadapi para murid dalam melaksanakan tugas perutusan dari-Nya. Mereka akan menghadapi persekusi, pengejaran dan penderitaan, bahkan pembunuhan (Mat. 10:17-23).

Namun, ancaman itu tidak boleh menjadikan mereka gentar atau gemetar ketakutan. Seorang murid harus meneladan Sang Guru dan ambil bagian dalam hidup, sengsara dan wafat-Nya. 

Yesus bersabda, “Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, atau seorang hamba dari pada tuannya. Cukuplah bagi seorang murid jika ia menjadi sama seperti gurunya dan bagi seorang hamba jika ia menjadi sama seperti tuannya.” (Mat. 10: 25-26).

Maka, bila Sang Guru diperlakukan dengan buruk, para murid harus rela mengikuti jejak telapak kakiNya dari Taman Getsemani, Gedung Pengadilan Romawi, Via Dolorosa, hingga Bukit Tengkorak.

Dengan kata lain, para murid seharusnya cemas dan gelisah bila tidak ada persekusi atau pengejaran, bahkan jika perlu, pembunuhan, saat mewartakan Kabar Suka Cita.

Beritakanlah itu dari atas atap rumah. Warta Sukacita, Injil, harus diwartakan dan diwujud-nyatakan. Para murid akan mengalami kesulitan dan tantangan tak kecil.

Yang akan dihadapi adalah kerajaan setan. Kerajaan ini memiliki segala daya dan kuasa yang mampu mengubah dalam sekejab kebenaran menjadi kebohongan dan kebohongan menjadi kebenaran.

Namun, seberapa kuat cengkeraman kuasa jahat itu, lambat laun kebenaran tidak bisa dibendung.

Nabi Amos berkata, “Biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Am. 5:24). 

Maka, walau menghadapi pelbagai macam upaya untuk membelokkan kebenaran, para murid harus selalu memiliki keberanian untuk setia pada kebenaran yang diajarkan Sang Guru.

Inilah tantangan yang harus dihadapi oleh setiap murid Tuhan, seperti diajarkan oleh Santo Paus Yohanes Paulus II,  “… kita menghadapi perang besar dan dramatik antara kebaikan melawan kejahatan, kematian melawan hidup, “budaya kematian” melawan “budaya kehidupan”.

Kita mendapati diri tidak hanya “dihadapkan pada”, tetapi harus berjuang “di tengah-tengah” perselisihan ini: kita semua dilibatkan dan kita semua ambil bagian dalam perang besar dan dramatis, dengan tanggungjawab yang mau tak mau harus dipikul untuk memilih berpihak pada hidup atau pro life, tanpa syarat.” (dikutip dari Ensiklik Evangelium Vitae, 8).

Mengakui/menyangkal

Yesus meringkas tugas perutusan yang harus diemban para muridNya. Ia bersabda, “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di surga.

Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di surga.” (Mat. 10:32-33).

Setiap murid selalu ditantang untuk bersikap: memihak atau melawan-Nya. Yang dipihak-Nya dan setia pada-Nya selalu diakui-Nya di hadapan Bapa. 

Katekese

Jangan meratapi kematian, tetapi ratapilah dosa. Santo Augustinus, Uskup Hippo, 354-430:  

“Injil adalah hidup. Dosa dan pengingkaran pada Allah adalah kematian jiwa. Jadi, jika jiwa bisa mati, bagaimana jiwa abadi? Karena selalu ada aspek hidup di dalam jiwa yang tidak pernah bisa dipadamkan. Dan bagaimana ia mati?

Jiwa terus menerus hidup, tetapi ia dapat  kehilangan hidupnya  yang sejati. Karena jiwa hidup bagi sesuatu yang lain, dan ia memiliki hidupnya yang sejati. Perhatikan tata urutan makhluk ciptaan. Jiwa menghidupkan raga. Tuhan adalah sumber hidup bagi jiwa.

Seperti hidup yang adalah jiwa tinggal di dalam tubuh, agar tubuh tidak dapat mati; demikian juga dengan hidup dari jiwa (Allah) harus hadir dalam jiwa, agar ia tidak dapat mati.”  

“Bagaimana tubuh mati? Dengan lepasnya jiwa. Saya katakan, karena lepasnya jiwa, tubuh mati; dan jasad yang ditinggalkan jiwa hanya disebut sebagai  bangkai; betapa hinanya barang itu dihadapan yang hidup.

Di dalamnya masih ada beberapa anggota, mata dan telinga. Benda-benda ini seperti halnya dengan jendela rumah, yang ditinggal pergi penghuninya.

Mereka yang meratapi orang mati menangis dengan sia-sia di jendela rumah. Tidak ada seorang pun  di dalam sana mendengar… Mengapa tubuh mati? Karena jiwa, sumber hidupnya, lepas. Tetapi pada titik mana jiwa itu sendiri mati?

Ketika Tuhan, Sang Sumber Hidup jiwa, telah meninggalkannya… Maka, kemudian, kita memahami dan  berpegang teguh keyakinan: tubuh mati bila tanpa jiwa; dan jiwa mati bila tanpa Allah.

Setiap orang yang hidup tanpa Allah pasti memiliki jiwa yang mati.  Saya sarankan bagi kalian, yang meratapi orang mati, untuk meratapi dosa. Meratapi kefasikan yang kalian lakukan. Meratapi ketidak-percayaan kalian.” (dikutip dari Sermon 65,5-7)

Oratio-Missio

“Bersyukurlah kepada TUHAN, serukanlah nama-Nya, perkenalkanlah perbuatan-Nya di antara bangsa-bangsa. Bernyanyilah bagi-Nya, bermazmurlah bagi-Nya, percakapkanlah segala perbuatan-Nya yang ajaib.” – Mzm 105:1-2

  • Apa yang perlu kulakukan agar aku diakui oleh Anak Manusia?

Omnis ergo qui confitebitur me coram hominibus, confitebor et ego eum coram Patre meo, qui est in caelis – Matthaeum 10:23

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here