Lelaki Pun Bisa Jadi Korban Pelecehan

0
243 views
ilustrasi

Awal Februari 2023, netizen dihebohkan dengan munculnya trailer film terbaru yang akan dirilis Netflix berjudul ‘Dear David’. Dear David berkisah tentang siswi SMA bernama Laras (Shenina Cinnamon) yang berbakat dalam menulis cerita fantasi liar di blognya.

Fantasi liar itu menjadikan seorang laki-laki sebagai korban pelecehan seksual karena difantasikan lewat fanfiction/fanfiksi liar. Laras sang penulis blog fantasi liar itu memang senang memperhatikan David (Emir Mahira), seorang primadona sepak bola yang memiliki banyak penggemar. Bisa dikatakan, Laras menyukai David hingga menuliskan cerita fantasi dewasa dengan menggunakan David sebagai karakter utama.

Suatu hari, Laras melanjutkan cerita fantasi dewasanya menggunakan komputer sekolah. Saat bel berbunyi, Laras terburu-buru mematikan komputer sekolah hingga gagal mengeluarkan akunnya. Akun tersebut diketahui siswa lainnya. Cerita fantasi dewasanya tersebar ke seluruh sekolah hingga sampai telinga para guru. Pihak sekolah mencari tahu penulis cerita fantasi dewasa itu. Jika tidak ada yang mengaku, siswa tersebut terancam dikeluarkan dari sekolah.

Di sisi lain, Laras sedang bermasalah dengan sahabatnya, Dilla (Caitlin North Lewis). Merasa reputasinya (Laras) sedang terancam, Laras pun menghindar. Dia tak mau mengakui perbuatannya. Dilla-lah yang menjadi korban fitnah dan tertuduh sebagai penulis fantasi tersebut. Tuduhan itu dipercaya semua orang karena Dilla kerap mengunggah foto-foto seksi di akun media sosialnya.

Laki-laki Juga Bisa Jadi Korban
Seperti kejadian di film Dear David, topik pelecehan seksual hampir selalu menarik perhatian masyarakat. Kalau pada masa lampau yang menjadi korban biasanya perempuan. Di zaman ini, justru sebaliknya. Beberapa tahun terakhir banyak sekali kasus pelecehan seksual dimana laki-lakilah yang menjadi korbannya.

Tindakan pelecehannya pun tidak hanya fisik tetapi juga non-fisik. Bahkan saat ini, pelecehan itu dilakukan melalui berbagai media sosial. Caranya, dengan Cyber Stalking (menguntit), Cyber Harassment (mengintimidasi), kiriman pesan atau email seksual yang tidak diinginkan dengan memberi ancaman, chat tidak senonoh, kata-kata tidak senonoh dan menghina kekurangan fisik atau mental seseorang. Dan masih banyak cara lain lagi.

Dalam film Dear David, David-lah (laki-laki) yang menjadi korban pelecehan, meski dilakukan secara virtual. SEcara fisik, mungkin tidak dirasakan oleh korbannya. Namun, secara virtual itu telah terjadi.

Tidak seperti zaman dahulu yang diyakini sebagai era kejayaan lelaki. Saat ini, masyarakat tidak lagi menganggap bahwa laki-laki harus kuat secara fisik dan mental. Atau sebaliknya, wanita harus selalu di dapur dan lemah. Sehingga tidak heran, fantasi liar Laras itu terbentuk dari budaya yang sudah berubah dimana dominasi laki-laki sudah tidak lagi sekuat dulu. Semua orang bisa menjadi apa yang saja yang diinginkannya, menandai era dimana wanita juga bisa dominan dibanding laki-laki.

Akademisi dari FISIPOL UGM, Ulya Niami Efrina J menyebutkan, maskulinitas yang kita kenal saat ini terbentuk dan terbagi oleh karena determinasi biologis, konstruksi sosial, dan campur pengaruh keduanya. Dalam konstruksi sosial, tiap orang atau kelompok pasti memiliki standar dan pemaknaan mengenai maskulinitas itu seperti apa.

Ada maskulinitas sebagai identitas kejantanan yang seharusnya dimiliki seorang laki-laki. Contoh yang sering kita jumpai disekitar kita seperti laki-laki harus kuat secara fisik dan mental, tidak boleh cengeng, tidak boleh menyukai warna pink, harus kompetitif, dan masih banyak lagi. Hal-hal seperti itu berakhir pada berbagai macam stereotip negatif sekitar sifat laki-laki yang dibentuk oleh masyarakat. Ada juga maskulinitas sebagai determinasi biologis dimana sifat dan sikap maskulinitas itu sudah terbawa sejak lahir.

Tidak heran, zaman kini, unsur maskulin yang terjadi akibat konstruksi sosial bisa saja terjadi dan terbentuk dalam diri wanita. Sifat dominan yang menjadi salah satu penanda penting dalam maskulinitas juga ada pada wanita zaman sekarang.

Hasil survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) selama masa pandemi di 34 Provinsi secara online dengan menggunakan teks, total responden 4.236 yang terdiri dari 3.539 responden perempuan, 625 responden laki-laki, dan 72 responden dari gender lainnya menyebutkan bahwa korban pelecehan tidak hanya monopoli wanita saja.

Survei yang dilaksanakan secara nasional pada akhir tahun 2021 selama 16 hari dalam peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) ini menyebutkan bahwa sekitar 78% atau lebih dari 3.000 responden perempuan menyatakan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik.

“Ini artinya, 4 dari 5 perempuan mengalami pelecehan seksual di ruang publik,” sebut Anindya Restuviani atau akrab disapa Vivi, aktivis perempuan dari Hollaback! Indonesia dan Jakarta Feminist dalam paparannya, Senin (31/01/2022). Vivi yang mewakili KRPA menyebut sekitar 29% responden laki-laki juga mengalami pelecehan seksual di ruang publik.

Jadi, perlu disadari juga bahwa stigma wanita sebagai kaum lemah, harus dijaga, selalu menjadi korban itu tidak selamanya benar.

Sebuah kisah nyata membuktikan pernyataaan ini. Kamis, 03 November 2022 di Kota Solo, seorang yang bekerja sebagai petugas kebersihan sebuah perusahaan melakukan pelecehan pada 5 remaja laki-laki di bawah umur.

Perkenalan antara pelaku dan korban bermula di media sosial Facebook, pelaku dan korban saling berkomunikasi dan bertemu. Saat bertemu, pelaku tidak langsung melakukan pelecehan seksual melainkan ada prosesnya. Ayah korban menceritakan bahwa proses tersebut berlangsung lama, mulai dari chat lalu korban (anaknya) bertemu dengan pelaku.

Saat bertemu dengan pelaku, hal yang disukai oleh anaknya dituruti yang membuat anaknya senang, lalu setelah itu pelaku mulai mengelus-elus dan melakukan bujuk rayu kepada korban. Kejadian pelecehan seksual ini dapat terungkap karena para korban melapor dan pelaku dicari oleh salah satu kakak korban.

Catatan Kasus
Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPA) mencatat ada 19.593 kasus kekerasan seksual dalam jangka 1 Januari-27 September 2023 di seluruh Indonesia. Data ini menunjukkan bagaimana remaja 13-17 tahun serta anak-anak 6-12 tahun rentan menjadi korban pelecehan seksual. 17.347 korbannya berjenis kelamin perempuan dan 3.987 sisanya berjenis kelamin laki-laki.

Memang angka korban laki-laki yang lebih sedikit dibanding korban perempuan bukan berarti korban laki-laki tidak penting dibandingkan perempuan. Selain itu kekerasan seksual dapat terjadi dimana, kapan dan kepada siapa saja. Menurut Kemenpppa 2023, kasus kekerasan seksual secara fisik sebesar 4.955 kasus, psikis 4.586 kasus, seksual 6553 kasus, eksploitasi 184 kasus, trafficking 201 kasus, penelantaran 1.438 kasus, dan lainnya seperti menggoda secara verbal, catcalling dll sebanyak 1.842 kasus.

Dari banyaknya kasus ini banyak korban yang sudah melapor tetapi bentuk bantuan dalam berbagai hal mengenai penanganan kasus pelecehan seksual ini belum direalisasikan secara menyeluruh. Hal ini memberikan dampak negatif. Dengan tidak adanya penangkapan serta pemberian hukuman terhadap pelaku secara adil, maka pelaku akan memakan korban baru dan korban lama memiliki pemikiran untuk balas dendam terhadap orang lain. Lalu, kasus baru muncul, mulai dari pembunuhan, penganiayaan, dll.

Hal itu dapat terjadi karena korban merasa trauma akan peristiwa yang menimpanya, dan tidak adanya layanan rehabilitas atau konseling untuk memecahkan kasus ini. Dari sini kita semua tahu bahwa, semua orang semua gender sederajat di mata hukum dan layak mendapat serta menerima keadilan secara adil tidak mendiskriminasi dalam hal apapun.

Sama di Mata Hukum
Dalam pemerintahan dan hukum, laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan, kesempatan, dan kebebasan dasar yang sama dalam pemerintahan, hukum, serta pemenuhan hak-haknya ditetapkan dalam Konstitusi negara. Hak-hak korban kekerasan seksual diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) .

Di dalam Undang-undang ini terdapat beberapa hukuman terkait tindakan pelecehan seksual yang dilakukan dengan berbagai motif yang berbeda, seperti “Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas akan dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)”.

Pelecehan seksual yang dilakukan di media sosial juga akan mendapatkan hukuman karena, perbuatan pelecehan seksual melalui media sosial dan pelanggaran atas data pribadi juga diatur di Perundang-undangan UU ITE, UU Pornografi dan KUHP. Pada KUHP, Tindakan Pidana Kejahatan terhadap kesopanan, diatur dalam Pasal 282 Ayat 1 dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan.

Menurut UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pada Pasal 45 Ayat 1 tindakan pelaku akan dikenakan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 miliar rupiah, jika perbuatan tersebut dilakukan terhadap anak-anak akan dikenakan pemberatan pidana sebanyak ⅓ (sepertiga) dari pidana pokok.

Menurut, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi), tindakan pelaku yang secara tidak langsung menyebarluaskan materi pornografi dapat melanggar UU Pornografi Pasal 4 Ayat 1, dengan ancaman pidana penjara paling sedikit 6 tahun dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 6 miliar.

Jadi, pada dasarnya kekerasan dan pelecehan seksual bisa terjadi pada siapa saja, tidak mengenal gender. Sayang, hingga kini upaya melindungi semua warga akan hal ini belum bisa terpenuhi secara maksimal, terbukti masih banyaknya kasus. Semoga ke depan dengan adanya UU TPKS, semua warga terjaga dan terlindungi secara hukum dan hidup dengan bahagia di negeri tercinta, Indonesia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here