Luka

0
428 views
Ilustrasi - Dendam anak karena dalam keluarga tidak dianggap. (Ist)

Renungan Harian
Selasa, 22 Maret 2022
Bacaan I: T. Dan. 3: 25. 34-43
Injil: Mat. 18: 21-35

BEBERAPA tahun lalu, saya ngobrol dengan seorang anak OMK yang oleh teman-temannya dijuluki “nenek sihir”. Ia dijuluki “nenek sihir” oleh rekan-rekannya, karena anak ini amat mudah mengkritik orang lain dan sering kali bahasa yang digunakan tidak enak dan bahkan cenderung menyakiti.

Anak ini aktif dalam kegiatan OMK dan kegiatan di paroki. Ia dengan rela membantu teman-temannya dan diserahi tanggungjawab apa pun dijalankan dengan baik.

Namun, banyak teman yang bekerjasama dengan dia merasakan bahwa dia itu orang yang rumit. Hal-hal yang sederhana menjadi rumit dan sering menimbulkan perbantahan. Belum lagi apabila orang lain mengerjakan tidak seperti yang dia mau, ia akan menegur dengan cara yang tidak enak. Maka banyak teman-temannya yang menghindar bekerjasama dengan dia.
 
Dalam pembicaraan dengannya, ia menceritakan bahwa dia adalah anak dari seorang ibu tunggal. Dia tidak pernah mengenal bapaknya sampai saat itu. Sejak kecil dia dirawat oleh kakek dan neneknya, sedangkan ibunya sudah menikah lagi dan mempunyai tiga anak.

Pada saat SMA karena harus sekolah di kota, maka dia ikut ibunya. Situasi yang baru karena sekarang harus tinggal dengan bapak yang baru dan ketiga adik tirinya.
 
Tinggal bersama dengan ibunya membuat dia merasa canggung. Dalam kecanggungan itu, ia merasa bahwa di rumah itu dia tidak terlalu dianggap. Setiap ada permasalahan dengan adik-adik tirinya, dia selalu dipersalahkan dan diingatkan supaya tidak bikin malu karena rumah ini statusnya menumpang.

Situasi itu membuat dirinya merasa bahwa dia adalah pribadi yang tidak pernah diharapkan kehadirannya. Ia merasa bahwa dirinya hanya pengganggu bagi keluarganya dan beban bagi keluarganya.

Ia sadar bahwa dalam dirinya muncul kebencian dan dendam, tetapi dia sendiri tidak tahu benci dan dendam dengan siapa. Rasa benci dan dendam itu dia tumpahkan dengan memaksa dirinya sedemikian rupa untuk membuktikan pada keluarga dan semua orang bahwa dia orang yang hebat dan kehadirannya dibutuhkan oleh banyak orang.
 
Mendengarkan semua kisahnya, saya merasakan betapa berat beban anak ini. Karena saya bukan ahli untuk membantu anak ini, maka saya menawarkan kepadanya untuk memperkenalkan dengan seorang ahli yang dapat membantu dia.

Saya juga tetap menyediakan diri untuk menjadi teman bicara.
 
Setelah beberapa bulan, anak ini datang dan menceritakan pengalaman dia mengolah diri didampingi seorang ahli.

“Romo, sekarang saya sudah lebih ringan dan lebih lega. Saya merasa dua pertiga beban saya sudah hilang. Saya sudah menerima situasi saya yang seperti ini; saya bisa mengerti situasi mama sehingga saya harus ada; saya juga bisa mengerti mengapa waktu tinggal dengan mama saya diperlakukan seperti itu.

Romo, saya tidak lagi benci dan dendam dengan mereka. Dan saya rasa saya tidak harus mengampuni karena memang tidak ada yang salah dengan mereka.
 
Romo, selama proses ini dan menurut saya belum selesai adalah bagaimana saya bisa mengampuni diri saya sendiri.

Saya masih “kejam” memperlakukan diri saya sendiri meski sering dalam nalar saya muncul bahwa itu positif. Tetapi kenyataannya apa yang keluar membuat banyak orang tidak nyaman dengan diri saya.
 
Belajar dari pengalaman anak muda ini, rasa benci dan dendam sering kali sulit hilang dari diriku bukan pertama-tama karena aku tidak bisa mengampuni mereka tetapi karena aku belum bisa mengampuni diriku sendiri.

Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Matius mengajak untuk bermurah hati dan mempunyai hati yang penuh belas kasih juga terhadap diri sendiri.

“Aku berkata kepadamu, bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.”
 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here