Medsos di Balik Jubah Kaum Religius: 85 Suster, Bruder, Frater, Imam Muda Belajar Bijak Cermati Tanda-tanda Zaman (3)

0
1,179 views

INI materi paparan Romo Oki Dwihatmanto OFM ketika dia bicara di hadapan 85 peserta seminar tentang “Kaum Religius di Zaman Digital”. Pesertanya adalah para suster, bruder, frater, imam muda lintas ordo/tarekat religius. Datang dari beberapa kota seperti Singkawang, Ketapang, dan kota-kota lainnya, mereka berkumpul selama tiga hari di Rumah Retret Wisma Immaculata Susteran SFIC di belakang Gereja Katedral St. Yoseph Pontianak.

Menurut Romo Oki Dwihatmanto OFM, kemajuan teknologi merupakan hal  yang tidak bisa kita hindari dalam kehidupan ini. Itu  karena kemajuan teknologi akan berjalan sesuai seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Setiap inovasi  telah diciptakan untuk memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia. Semua kemajuan ini telah memberikan banyak kemudahan; juga menyediakan cara-cara baru untuk melakukan berbagai maca kegiatan sehari-hari.

Baca juga:   Belajar Bijak Sikapi Medsos: 85 Suster, Bruder, Frater, Imam Lintas Tarekat Kumpul di Pontianak 29-31 Mei 2017 (2)

Pastor Minister Provinsial Ordo Kapusin (OFMCap) Provinsi Pontianak Romo Amandus Ambot OFMCap tengah memberi paparan singkat tentang maksud dan tujuan lokakarya ini kepada segenap peserta di Rumah Retret Wisma Immaculata, Susteran SFIC Pontianak. (Mathias Hariyadi)

Khusus di bidang teknologi,  masyarakat sudah menikmati banyak manfaat yang dibawa oleh inovasi-inovasi yang telah dihasilkan dalam dekade terakhir ini. Namun demikian, walaupun pada awalnya diciptakan untuk menghasilkan manfaat positif, di sisi lain juga juga memungkinkan digunakan untuk hal negatif. Salah satu dampak negatif dari IPTEK adalah membuat orang tinggal di dalam dirinya sendiri. Situasi ini mulai merogoti sendi-sendi kehidupan para religius.

Budaya serba cepat-langsung

Guna menyikapi tantangan zaman yang serba modern dan iklim instant (cepat-langsung) ini, demikian Romo Oki Dwihatmanto OFM,  kaum religius perlu terus- menerus membaharui diri dengan bijak dan cerdas sebagai pengguna medsos. Itulah konteksnya ketika romo ini bicara tentang medsos dalam konteks panggilan Gereja masa kini.

Ia menegaskan bahwa sebagai anggota Gereja yang dipanggil  secara khusus dalam hidup bhakti, maka para suster, bruder, frater dan imam  perlu memiliki kesadaran sebagai pekerja “di ladang Tuhan’. Tugas utamanya adalah  menyelamatkan Umat Allah dari kesesatan pengaruh negatif dunia modern yang cenderung menjadikan manusia sebagai “tuan atas dan bagi dirinya sendiri.”

Mereka harus menjadi ‘garam dunia’ sesuai ajaran Gereja yang mengatakan: “Kaum beriman, lebih tepat kaum awam beriman, senantiasa berada pada garis depan kehidupan Gereja. Oleh karenanya, mereka itu secara khusus hendaknya memiliki kesadaran yang semakin jelas bukan hanya tentang menjadi milik Gereja, melainkan tentang menjadi Gereja. (Paus Pius XII)

Euforia IPTEK

Kegembiraan dan sukacita manusia modern atas kemajuan dahsyat IPTEK –katakanlah euforia IPTEK)– telah menciptakan budaya konsumtif bagi masyarakat.  Hal itu –kata Romo Oki Dwihatmanto OFM–  bahkan juga sudah mulai masuk ke biara-biara.

Dampak negatif yang muncul antara lain: jiwa konsumtif, persaingan ketat, jatidiri dan makna hidup semu, Menggantungkan hidup pada hal duniawi, ketakutan dan keserakahan memicu egoisme. Budaya konsumtif  yang mendorong masyarakat berbelanja itu telah menciptakan jatidiri dan makna hidup yang semu. Iklan mempromosi gambaran diri yang baru bagi pengguna produknya.

Yang kemudian terjadi adalah  banyak orang berbelanja bukan karena kebutuhan, tetapi sebagai  upaya menciptakan gambaran diri yang baru. Barang mewah dibeli karena kemampuannya memberikan citra diri berbeda pada pemiliknya.  Pendeknya, belanja bukan karena kebutuhan riil, melainkan demi memperbaiki citra diri.

Budaya persaingan juga telah mendorong terciptanya jatidiri dan makna hidup yang semu. Itu karena pengaruh sistem imbalan atas prestasi dan hukuman atas kegagalan. Orang sukses, menang dalam persaingan, maka ia  bercitra diri positif, hebat, dianggap teladan, dipuji-puji, diminta kisah sukses dimana-mana. Orang gagal adalah mereka yang dianggap tak berguna, disingkirkan, gagal dalam segalanya.  Ketika orang mengalami PHK, memasuki masa pensiun, maka ia mengalami depresi. Orang bisa kehilangan makna hidup, jatidiri, martabat.

Konsumtifisme, iklim persaingan  telah mendorong masyarakat menggantungkan hidup pada hal-hal yang bersifat duniawi. Yakni,  kelekatan pada status sosial, karir, kepemilikan atas barang. “Semua itu bukan  bukan lagi untuk memuliakan Allah,” kata Romo Oki OFM.

Para suster tekun menyimak dan mendengarkan paparan narasumber. (Mathias Hariyadi)

Ketakutan dan egoisme

Hal-hal duniawi itu bersifat terbatas dan tidak kekal. Namun,  manusia malah bergantung pada landasan yang rapuh, terbatas, tidak kekal.  Manusia lalu hidup dalam ketakutan dan keserakahan.

Mereka menjadi takut: status SOS, harta, karir bisa hilang setiap saat.  Juga bisa menjadi bertindak dan berperilaku serakah: dalam ketakutannya itu,  manusia berusaha mengamankan yang menjadi sandarannya. Ia ingin bekerja keras, agar bisa semakin banyak memiliki  namun itu juga membuatnya semakin gelisah.

Ketakutan dan keserakahan memicu egoisme. Takut dan serakah menjadikan orang sulit melihat yang lain. Ia terpicu hanya ingin mengejar kepentingannya sendiri, budaya individualisme yang dipicu praktik kebebasan yang berlebihan.

Rupanya, inilah yang kemudian dianggap sebagai ‘kebenaran’ zaman ini. (Bersambung)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here