Renungan Harian
Rabu, 5 Mei 2021
Bacaan I: Kis. 15: 1-6
Injil: Yoh. 15: 1-8
SETELAH misa siang, ada sepasang suami isteri yang sudah cukup sepuh meminta waktu untuk berbicara. Pada saat bertemu di ruang tamu, bapak memulai pembicaraan mengatakan maksud menemui saya.
“Romo, kami sedang bingung dan sedih. Anak perempuan saya, yang bekerja di kota lain, tiba-tiba mengatakan bahwa dirinya akan dilamar oleh keluarga pacarnya. Kami selama ini tidak tahu bahwa dia sudah punya pacar Romo, karena selama ini dia juga tidak pernah cerita. Beberapa kali dipancing-pancing oleh ibunya, jawabnya selalu bahwa dirinya belum memikirkan perkawinan.
Romo, yang membuat kami gundah adalah pacarnya itu beda keyakinan. Anak saya sebenarnya tetap ingin menjadi orang Katolik. Tetapi keluarga pacarnya menuntut anak saya pindah keyakinan.
Kami sudah menasehati dan sedikit banyak menekankan supaya tidak diteruskan. Tetapi anak saya tetap pada pendirian. Kalau memang harus pindah keyakinan tetap akan dijalani asal bisa menikah. Dia bahkan mengancam, bahwa boleh tidak boleh tetap akan menikah dan dua hari lagi keluarga pacarnya akan melamar.
Kami jadi bingung Romo. Kami sesungguhnya tidak rela kalau anak saya harus berpindah keyakinan. Kami tidak tahu bagaimana harus menghadapi keluarga pacar anak saya yang mau melamar. Kenal juga belum, tetapi sudah mau melamar.
Katanya itu adat mereka.
Saya minta anak saya pulang terlebih dahulu agar kami bisa ngobrol bareng. Anak kami tidak mau. Dia sudah marah Romo, ketika kami mengungkapkan keberatan kami,” bapak itu bercerita dengan menahan emosi.
“Bapak, saya ikut prihatin dengan apa yang bapak alami. Sekarang diterima dengan baik. Bapak jangan menunjukkan sikap menentang. Bapak persiapkan segala sesuatu untuk menyambut calon besan dengan baik, dengan terbuka dan dengan penuh kasih.
Bapak terbuka untuk mengenal dan juga terbuka untuk dikenal. Semua dijalani dengan penuh kasih. Nanti bicara dengan nada yang penuh hormat, mengalah kiranya adalah jalan yang baik,” jawab saya.
Tiga hari kemudian bapak ibu itu datang lagi dan bercerita dengan suka cita:
“Romo, acara lamaran kemarin berlangsung dengan penuh kekeluargaan. Pada awalnya keluarga pihak laki-laki kelihatan tegang, seolah-olah sudah tahu kalau kami tolak dan akan ngotot membawa anak kami.
Ketika kami sambut dengan hangat. Kami amat hormat dan mencoba memperkenalkan diri dan mencoba mengenal tamu kami yang kami anggap sebagai saudara. Semua jadi cair romo.
Kami tunjukkan bahwa kami menerima calon menantu, dan mencintainya. Akhir pembicaraan saya rasakan sebagai mukjizat, karena ketika kami mengutarakan keinginan agar anak kami tetap bisa menjalankan keyakinannya dan kami tawarkan jalan keluarnya mereka menerima dengan suka cita pula Romo.
Segala kekhawatiran dan keresahan kami hilang.”
Sebagaimana sabda Tuhan sejauh diwartakan dalam Kisah Para Rasul, perbedaan pendapat berkaitan dengan sunat menjadi runcing, dan kepergian Paulus dan Barnabas ke Yerusalem tentu dengan keyakinannya yang berbeda dengan apa yang terjadi di Yerusalem.
Namun penerimaan saudara jemaat dan para rasul serta penatua di Yerusalem dengan kasih menjadikan keterbukaan untuk mencari kehendak Allah.
“Setibanya di Yerusalem mereka disambut oleh jemaat dan oleh rasul-rasul dan penatua-penatua, lalu mereka menceritakan segala sesuatu yang Allah lakukan dengan perantaraan mereka.”
Bagaimana dengan aku?
Adakah keberanian dan kerelaanku untuk mengedepankan kasih dalam perbedaan pendapat?