Mencegah Kekerasan Seksual dengan Korban Anak-anak

0
521 views
Seminari cegah tangkal kekerasan seksual dengan korban anak-anak di STFT Widya Sasana Malang. (Laurensius Suryono)

KOMISI Perlindungan Anak pernah menyampaikan data bahwa pada awal tahun 2018 ada 223 kasus kekerasan seksual dengan korbannya anak-anak. Berbagai kasus itu terjadi secara menyebar di beberapa provinsi di Indonesia.

Paparan data ini sungguh mengejutkan bagi kita semua. Lalu kita mau berbuat apa?

Nah, Komisi Keluarga Keuskupan Malang bekerja sama dengan Pusat Studi Dialog STFT Widya Sasana Malang menyelenggarakan seminar “Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak”.

Ini  dengan tujuan agar peserta memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar dalam mengenal dan mencegah kekerasan seksual.

Sambutan Romo Pius CP selaku ketua panitia seminar.

“Di samping itu, agar peserta diajak terampil  mendampingi korban kekerasan seksual,” demikian kata Romo Pius CP selaku Ketua Panitia Seminar yang dilaksanakan pada hari Minggu 26 Agustus 2018 di Aula STFT Widya Sasana Malang.

Bertindak sebagai nara sumber adalah: Eli Susilowati Psi, Jacobus Wiwin M.Kom, dan Romo Aureliano Pacciola O.Carm.

Harus dicegah dini

Kekerasan seksual merupakan gejala yang harus diatasi dan dicegah dini jangan sampai terjadi.  Pelaku bisa orang yang sangat ramah yang dekat pada anak serta ada kemungkinan korban juga merasa ‘nyaman-nyaman’ saja.

Itu bisa terjadi antara orangtua kepada anak, om kepada keponakan, guru kepada siswa.

Ibu Eli, juga mengingatkan agar kita juga berhati-hati dengan foto anak-anak kecil yang mengenakan pakaian minim yang kita share pada media social karena dapat menimbulkan sensasi bagi orang-orang tertentu.

Pendidikan seksualitas kepada anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, dapat memberi bekal kepada mereka dalam rangka pencegahan kekerasan seksual. Juga dalam rupa pengajarannya melalui hal-hal yang praktis,  termasuk dalam bentuk kata-kata maupun lagu-lagu.

Respon aktif dari para peserta.

Misalnya, “sentuhan boleh: kepala, tangan, kaki; sentuhan tidak boleh: yang tertutup baju”.

Orangtua sangat diharap mau mendengarkan cerita anak atas apa pun yang disampaikannya. Termasuk apabila  terjadi pengalaman tentang kekerasan seksual yang mungkin baru dialami. Orangtua juga diharapkan  mengambil sikap ‘tenang’, menyikapi persoalan denhan mendengarkan dahulu baru kemudian diajak berdialog pribadi secara santai.

Melalui medsos

Kejahatan seksual dapat pula terjadi melalui teknik digital di manadalam gadget banyak  terselip konten berbau pornografi.  Padahal anak-anak mulai dari remaja sudah banyak yang memiliki gadget hasil pemberian orangtua.

Orangtua percaya bahwa anak-anaknya akan menggunakannya dengan bijaksana. Akan tetapi perlu dipahami bahwa salah satu pintu masuk pornografi adalah gadget, padahal pornografi dapat merusak otak, dan mengubah perilaku anak.

Disinyalir anak-anak mengakses gambar porno justru dari rumah mereka (79%) dan dari sekolah (9%).  Oleh karena itu, orangtua harus  melakukan pengawasan penggunaan gadget anak-anaknya.

Geliat semangat para peserta seminar.

Tetapi anak lebih canggih daripada orangtuanya. Mereka dapat menyembunyikan foto/film pada aplikasi tertentu dalam gadget-nya. Maka, komunikasi antara orangtua dan anak harus terbuka.

Perlu ada kesepakatan antara orangtua dan anak dalam lamanya anak boleh menggunakan gadget di rumah. Itu perlu agar anak dapat belajar. Juga perlu ada koordinasi antara orangtua dan sekolah tentang aturan penggunaan gadget di sekolah.

Korban pedofilia

Romo Aureliano Pacciola O.Carm mempunyai banyak pengalaman dalam membantu mengatasi korban-korban pedofilia. Pelaku paedofilia, kataya, cenderunng memilih calon korbannya dengan cara diam-diam.

Korban,  dalam hal ini anak,  tidak akan menyampaikan apa pun ‘kasusnya’ kepada orangtua dan guru.

Korban perlu diajak berbicara dengan siapa yang dapat dipercaya oleh anak, dan perlu diungkapkan. Jangan didiamkan.

Salah satu narasumber seminar: Romo Aureliano Pacciola O.Carm.

Memang ada pilihan untuk mengungkapkan atau mendiamkan.  Apabila kita mendiamkan,  maka pelaku merasa aman-aman saja dan akan mengulangi perbuatannya kembali. Sebaliknya,  mengungkapkan kepada orang lain, misalnya guru atau teman apa yang telah terjadi, dapat menimbulkan situasi kritis.

Korban paedofilia suatu waktu dapat pula melaksanakan apa yang pernah dia rasakan kepada orang lain atau benda lain. Maka dipandang perlu untuk mengungkapkan kekerasan yang telah berlangsung karena dapat memutus kekerasan yang dialami.

Melaporkan suatu tindak kekerasan bisa membuat baik,  bagi diri sendiri maupun orang lain pelaku tindak kekerasan; termasuk mencegah kekerasan di kemudian hari.

Hal itu akan menguntungkan pelaku tapi merugikan anak sebagi korban, bila kita tidak mau berbicara dan mengungkapkannya. Pelaku tindak kekerasan seksual perlu mendapatkan terapi psikologis untuk menyembuhkannya.

Banyak problem di Gereja terkait pelanggaran etika seksual. Akhir-akhir ini, Gereja mulai berani mengambil sikap tegas: tidak ada toleransi.

Seminar yang berlangsung dari pagi hingga siang hari ini dihadiri oleh para guru pendidik, utusan dari Kongregasi atau Yayasan Pendidikan, utusan dari paroki-paroki se Kota Malang dan para mahasiswa IPI Malang dan beberapa frater MSF.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here