Mendiamkan Kebatilan

0
882 views
Ilustrasi - Membiarkan kejahatan terjadi tanpa intervensi by Marthin Luther King Jr

“IT may well be that we will have to repent in this generation. Not merely for the vitriolic words and the violent actions of the bad people, but for the appalling silence and indifference of the good people who sit around and say, ‘Wait on time’.” 

(Martin Luther King Jr., A Testament of Hope: The Essential Writings and Speeches)

“Kalau duduk manis, tak berbuat salah apa pun, tak merugikan orang lain, tak menghujat, tak memfitnah, tak menipu, taat beribadah, niscaya dapat pahala yang besar”.

Banyak orang, termasuk saya, berpikir serupa. Tapi, pendapat itu “dibantah” oleh Martin Luther King Jr.

Dia bahkan mengisyaratkan agar “generasi ini” bertobat. Terutama karena kita hanya diam dan tak peduli terhadap banyak (sekali) kebatilan yang dilakukan oleh orang-orang jahat.

Ada beberapa sebab mengapa orang diam saat melihat ketidakadilan yang bersliweran di depan mata.

Pertama, karena takut kalau kepentingan dan keberadaannya terganggu atau malah hilang sama sekali. Ikut terlibat acapkali tak membuat lebih baik. Alih-alih menyelesaikan masalah, justru malah memperburuk. 

Yang lebih celaka, masalah yang lebih besar menimpa kita.

Kedua, ini yang lebih parah. Rasa ego yang menggumpal. Kalau kebatilan tidak menimpa, mengapa harus mengundangnya masuk dalam hidup kita. Merepotkan saja, EGP.

Contoh sederhana. Lebih baik pura-pura tak melihat, kala copet beraksi di bis kota. Atau, membiarkan teman kerja melakukan penyelewengan, daripada bandul bumerang balik menghantam. Toh tidak merugikan dan bukan urusan saya.

Pembiaran atau mendiamkan ketidakadilan, membuat kejahatan bertambah parah.  Kesalahan kecil, bila dibiarkan, menjadi kejahatan besar.

“Kezaliman terus ada, bahkan membesar, bukan karena banyaknya orang-orang jahat. Tapi karena diamnya orang baik”. (https://kangaswad.wordpress.com)

Ada kisah nyata yang menguatkan nasehat Martin Luther King Jr. 

Ini cerita tentang penyesalan Pastor asal Jerman, Martin Niemoller (1892-1984), yang semula acuh terhadap kezaliman.

Moga-moga kita bisa memetik pelajaran dari sana.

Semula, Romo Martin adalah pendukung Nazi yang sedang jaya. Kemudian, dia sungguh menyesal karenanya. 

Dia kemudian sadar bahwa membiarkan atau bahkan mendukung ketidak-adilan atau tindakan semena-mena, pada waktunya akan menyerang balik.

Korban pertama, kedua, ketiga atau kesepuluh mungkin bukan kita. Tetapi korban kesekian, bisa jadi kita. Kejahatan, kalau didiamkan, meskipun saat ini tidak menimpa kita, cepat atau lambat akan menghantam semua orang, termasuk kita.

Ungkapan Romo Martin berupa penyesalan atas sikapnya di hari kemaren, ditulis di tempat-tempat publik. Salah satunya di “United States Hollocaust Memorial Museum, Washington DC”.

“First they came for the communists, And I didn’t speak out because I wasn’t a communist. Then they came for the trade unionsist, And I didn’t speak out because I wasn’t a trade unionsist. Then they came for the Jews, And I didn’t speak out because I wasn’t a Jew. Then they came for me, And there was no one left to speak out for me”.

Puisi itu menggambarkan bagaimana kekuasaan Nazi yang kejam membasmi kaum komunis.  Romo Martin justru cenderung mendukung Nazi.  Bisa dipahami, karena Nazi menghancurkan musuhnya. Mereka menganut prinsip:  “Lawan dari musuhku, adalah temanku”.

 Tak peduli bagaimana perangai “temanku” itu.

Begitu pula ketika Nazi melakukan ketidak-adilan terhadap trade unionist, dan kemudian menyiksa kaum Yahudi. Gereja Katolik bergeming.

Ketika Komunis, trade unionst dan Yahudi habis tergilas, maka  Gereja Katolik menjadi sasaran berikutnya. Giliran itu akhirnya tiba. Buah dari diamnya terhadap ketidak-adilan Nazi. Dan dunia tak ada yang membelanya.

Itu akibat dari ketidak-pedulian terhadap mereka yang menderita. Siapa yang diam, pada saatnya mendapat gilirannya.

Merasa bukan bagian dari sang korban, bukan yang dikhianati, bukan yang dizalimi, tidak sedang menderita karenanya, dus  ebih baik duduk-manis saja. Tunggu tanggal mainnya, “First They Came” versi Romo Martin akan bereaksi. Alam akan “menghukum”, ketika ketidak-adilan berada di depan mata dan kita acuh.

Martin Luther King Jr. menasehatkan pertobatan masal. Terutama bukan untuk kesalahan, tetapi untuk ketidak-pedulian dan penyangkalan kita terhadap kejahatan terhadap orang lain. 

Jangankan empati, malah sering dibuat pembenaran untuk mensahkan kejahatan itu. Sekali lagi, saya termasuk di dalamnya.

Pendapat Martin Luther King Jr. nampaknya belum diterima oleh mayoritas umat manusia. Kejahatan,dalam berbagai bentuk, masih leluasa menari-nari di panggung kehidupan. 

Kadang suara lirih mengingatkan, tapi suara keras untuk mencegah hanya samar-samar terdengar. Kepentingan dan keselamatan diri mendominasi hati tanpa peduli nasib korban yang menderita.

Alasan untuk keselamatan diri memang sulit dibantah. Apalagi kalau sedang berada di “comfort zone”. Namun, baiklah kita mulai belajar sensitif terhadap segala bentuk kezaliman, dengan menyimak HR Muslim, berikut :

“Barang siapa melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya. Jika tak mampu, ubahlah dengan lisannya. Jika juga tak sanggup, maka lakukan dengan hati. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman”.

@pmsusbandono

10 Juli 2020                   

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here