Mgr. Ignatius Suharyo Jadi Kardinal: Itu Penghargaan bagi Gereja Katolik Indonesia dan Negara Kita (1)

0
1,947 views
Didampingi Vikjen KAJ Romo Samuel Pangestu (kiri) dan Pastor Kepala Paroki Katedral Romo Hani Rudi Hartoko SJ, Mgr. Ignatius Suharyo memberi keterangan pers tentang latar belakang pengangkatannya sebagai Kardinal. (Mathias Hariyadi)

USKUP Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) sekaligus Ketua KWI tiga kali periode sejak tahun 2012 sampai sekarang, Mgr. Ignatius Suharyo, menyatakan dirinya sungguh tidak tahu-menahu –apalagi pernah mencalonkan diri—bahwa Paus Fransiskus akhirnya berkenan mengangkatnya menjadi Kardinal.

Bahkan pengumuman pengangkatannya menjadi Kardinal yang sudah disampaikan Vatikan pada hari Minggu petang tanggal 1 September 2019 lalu itu pun baru beliau ketahui dari pemberitaan media massa.

“Sampai hari ini, tepat lima hari sesudah pengumuman itu, tensi saya masih tetap tinggi. Itu berarti masih ada sesuatu di dalam diri saya yang perlu saya olah lagi,” papar Mgr. Ignatius Suharyo dalam kesempatan jumpa pers di Gedung Pastoral KAJ, Jakarta Pusat, hari Kamis siang tanggal 5 September 2019 ini.

Pesan pertanyaan Sesawi.Net melalui layanan WA yang dikirim pada Minggu malam lalu hingga hari Kamis petang ini pun juga belum dijawab beliau.

Namun, kepada rekan kerja Sesawi.Net, Mgr. Ignatius Suharyo menjawab dengan kalimat serba ringkas.

“Saya masih bingung (harus menjawab apa dan bagaimana tentang pengangkatan saya itu). Saya berterimakasih atas sapaan ini dan mohon banyak doa dari Anda sekalian,” begitu jawaban Mgr. Ignatius Suharyo dalam sebuah layanan pesan singkat pada hari Senin petang lalu.

Mgr. Suharyo menambahi, dirinya tahu bahwa Paus memutuskan mengangkat dirinya sebagai Kardinal itu dari berita media massa. Bukan melalui surat diplomatik atau jalur komunikasi lainnya.

Barulah ketika pengumuman dari Vatikan itu beredar di ranah publik, Mgr. Ignatius Suharyo lalu mendapat panggilan telepon dari Nuntio Dubes Vatikan untuk RI Mgr. Piero Pioppo.

Beliau memberikan konfirmasi atas berita pengangkatan itu sebagai hal valid. Nuntio juga memberi peneguhan rohani atas berita pengangkatannya itu.

Taat dan pasrah

Dalam pembicaraan dengan Nuntio itulah, kata Mgr. Suharyo, dirinya tanpa henti terus “dibombong” agar dengan sukacita bersedia menerima pengangkatan itu sebagai tanda ketaatan kepada Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Semesta.

Sama seperti dulu, kata Mgr. Suharyo, ketika dirinya tiba-tiba ditunjuk menjadi Uskup Keuskupan Agung Semarang (KAS), maka “Saya hanya bisa pasrah dan taat kepada pemimpin Gereja, siapa pun dia (baca: Paus).”

Ketaatan kepada pemimpin Gereja Katolik disertai kepasrahan dalam artian bersedia bekerja serius itu sudah dia alami sejak tahun-tahun awal sebagai imam muda paska tahbisan imamat.

“Sebagai pastor muda usai tahbisan, saya maunya langsung bisa bekerja di paroki –layaknya pastor diosesan KAS—namun Bapak Kardinal Justinus Darmojuwono selaku Uskup KAS waktu itu malah menugaskan saya belajar ke Roma, hal yang sebenarnya saya tidak pernah berminat. Dan begitu lagi, ketika setelah bertahun-tahun berkarya sebagai dosen, tiba-tiba Vatikan menunjuk saya menjadi Uskup KAS. Lagi-lagi, saya harus menyikapi hal itu sebagai tanda ketaatan dengan sikap pasrah,” paparnya.

Latar belakang pengangkatannya

Mgr. Ignatius Suharyo menegaskan bahwa pengangkatan dirinya menjadi Kardinal oleh Paus Fransiskus itu pertama-tama bukan karena dia sebagai pribadi telah “berprestasi”. Melainkan, kata beliau, pengangkatannya sebagai Kardinal itu sebagai sebagai bentuk penghargaan Vatikan kepada Gereja Katolik Indonesia dan NKRI.

Jadi, tambah Mg. Suharyo, fokus pertimbangan pengangkatan dirinya menjadi Kardinal itu bukan atas dasar pertimbangan “ad hominem” — melihat orangnya. Melainkan lebih karena ada pertimbangan-pertimbangan lain yang menurut perspektif Tahta Suci, Gereja Katolik Indonesia dan NKRI itu dianggap memiliki andil besar dalam konteks upaya Gereja Katolik Universal bisa menjalin hubungan dengan seluruh komponen umat manusia di seluruh dunia demi tercapainya perdamaian dunia dan kesejahteraan umat manusia.

Tentang “argumen” di atas, Mgr. Suharyo memberi sedikit keterangan historis.

“Dalam banyak kesempatan, saya sudah beberapa kali bertemu dengan Bapa Suci Paus Fransiskus. Pada kesempatan itu pula, beliau mengatakan kepada saya tentang kesan dan pandangan Vatikan atas dua hal yakni Gereja Katolik Indonesia dan NKRI. Menurut Sri Paus, Gereja Katolik Indonesia ini berhasil tumbuh dan berkembang dengan sangat dinamis –bukan dalam artian jumlah umatnya bertambah—melainkan punya peran penting dalam berbagai khasanah peristiwa di Indonesia dan dunia,” papar Mgr. Ignatius Suharyo.

Lainnya adalah faktor sejarah hubungan Indonesia-Vatikan.

Tahta Suci atau Vatikan menjadi satu dari negara-negara pertama yang langsung mengakui pernyataan Kemerdekaan Indonesia. Dan itu terjadi hanya setahun setelah Proklamasi tanggal 17 Augustus 1945, tepatnya di tahun 1946 di mana Vatikan langsung mendirikan Kedutaan Besarnya di Jakarta.

“Jadi, hubungan historis antara Tahta Suci dan NKRI ini sudah berlangsung sejak tahun 1946. Nah, dalam konteks itulah, pengangkatan saya sebagai Kardinal itu lebih karena pertimbangan Vatikan yang mana hal itu merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan Tahta Suci kepada negara dan bangsa Indonesia,” jelas Mgr. Ignatius Suharyo.

Tidak setiap negara “punya” Kardinal

Kepada media massa lokal maupun internasional yang menghadiri jumpa pers tadi siang, Mgr. Ignatius Suharyo mengajak agar kita bisa melihat konteks pengangkatan itu dari perspektif Vatikan dengan “jangkauan pemikiran” yang lebih luas dan “mondial” daripada hanya sekedar pengangkatan “orang Indonesia” seperti dirinya menjadi Kardinal.

Dari para Kardinal yang nanti akan “dilantik” oleh Paus Fransiskus di Vatikan tanggal 5 Oktober 2019 mendatang, demikian ilustrasi Mgr. Ignatius Suharyo, ada dua calon Kardinal yang berasal dari kawasan Amerika Latin dan dua calon lainnya dari kawasan Afrika.

Ia mengakui bahwa dirinya merupakan satu-satunya calon Kardinal yang berasal dari kawasan Asia.

“Peta politik” pengangkatan Kardinal oleh Paus Fransiskus seperti ini  –kalau pun boleh dikatakan demikian—memang merupakan hal yang tidak “biasa” sebagaimana lazimnya dipraktikkan oleh Vatikan selama ini.

Tentang hal ini, Mgr. Ignatius Suharyo mengatakan bahwa Paus Fransiskus memang sering bertindak “agak tidak biasa” dalam artian tidak selalu mau mengikuti “pakem sejarah” yang selama ini ada.

Misalnya, kata Mgr. Suharyo, Paus Fransiskus telah berani mengangkat Kardinal Charles Maung Bo dari Myanmar. Padahal, jumlah umat Katolik di negeri itu sangat kecil.

Dengan demikian, “peta politik’ pengangkatan dua Kardinal baru dari kawasan Amerika Latin, dua lainnya dari kawasan Afrika dan satu orang dari Asia itu harus dan sebaiknya dimengerti dari perspektif Vatikan. Bukan dari persona-persona calon Kardinal yang ditetapkan Paus.

Yakni, kata Mgr. Ignatius Suharyo, Vatikan melihat ada dinamika pertumbuhan Gereja Katolik yang bagus dan ideal di kawasan atau negara-negara dari mana para calon Kardinal itu berasal.

Sekali lagi, kata Mgr. Suharyo, bukan karena ‘orangnya”, melainkan daya tumbuh dan gerak dinamis Gereja Katolik yang menurut pandangan Vatikan punya peran penting dalam tatanan hidup masyarakat di mana Gereja Katolik itu berada.

Dan pada gilirannya, Gereja-gereja Katolik di negara-negara itu juga telah menyumbang perspektif ideal tentang bagaimana Gereja Katolik itu semestinya tumbuh berkembang secara dinamis.

Tidak berubah, selain harus banyak kunjungan

“Tidak akan ada banyak perubahan dalam diri saya karena pengangkatan saya sebagai Kardinal,” tutur Mgr. Ignatius Suharyo kepada puluhan wartawan dari dalam dan luar negeri yang menyesaki ruang pertemuan Gedung Pastoral KAJ.

“Saya akan tetap seperti biasa, seperti hari-hari ini,” jawabnya.

Pekerjaan dan tugas serta tanggungjawabnya sebagai pemimpin Gereja Katolik Lokal di wilayah gerejani KAJ juga akan tetap dilaksanakan bersama para anggota Kuria KAJ dan para pastor lainya yang berkarya di KAJ.

Karena, demikian penegasan Mgr. Suharyo, menjadi Kardinal itu bukanlah urusan akan menambah “fungsi” pekerjaan dan tanggungjawab sebuah wilayah gerejani – hal yang sudah menjadi “wilayah kerja” dan tanggungjawab seorang Uskup.

Menjadi seorang Kardinal artinya menerima status “kedudukan terhormat” untuk membantu Paus –itu pun kalau diminta beliau— dalam bentuk paparan saran atau pertimbangan atas hal-hal tertentu atau dalam konteks reksa pastoral umat beriman.

Memang benar, kata Mgr. Ignatius Suharyo, bahwa setelah nantinya resmi “dilantik” menjadi Kardinal, “Saya akan lebih banyak ‘jalan-jalan’ mengunjungi wilayah-wilayah gerejani lainnya di luar KAJ. Kalau ada peristiwa-peristiwa gerejani di luar KAJ, maka sebagai Kardinal saya wajib hadir atau datang melihatnya.”

Tidak ada istilah “pensiun” bagi siapa pun yang mendapat status sebagai Kardinal.

Itu dibawa sampai mati. Beda dengan jabatan Uskup yang diperoleh karena Tahbisan Episkopal dan menjadi pemimpin wilayah reksa pastoralnya.

“Uskup bisa saja pensiun manakala umurnya sudah mencapai 75 tahun dan usulannya mau mengundurkan diri karena batasan usia telah disetujui Bapa Suci. Namun, sekalipun sudah pensiun, uskup masih sering disebut Uskup Emeritus Keuskupan mana gitu,” paparnya.

Pengangkatan seseorang menjadi Kardinal juga tidak harus mengikuti “pakem” sejarah. Misalnya, kebetulan saja, ketiga Kardinal dari Indonesia itu semuanya pernah menjadi Uskup Agung KAS.

“Tidak seperti itu,” kata Mgr. Suharyo menjawab pertanyaan wartawan.

Juga tidak setiap wilayah keuskupan metropolitan –ibukota negara– harus ada Kardinalnya.

Semua itu tergantung sepenuhnya pada “perspektif” Vatikan dalam melihat segala sesuatunya dari konteks kebutuhan yang lebih luas dan mondial.

Taruhlah seperti pengangkatan Mgr. Miguel Angel Ayuso Guixet MCCI yang kini memimpin lembaga bergengsi bernama Pontifical Council for Interreligious Dialogue (PCID).

Status beliau ini akan menjadi penting, terlebih ketika Paus Fransiskus bersama Imam Besar Al Azhar Ahmad Al-Tayeh sudah menandatangani Dokumen tentang Persaudaraaan Manusia bagi Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama atau yang dikenal sebagai Deklarasi Abu Dhabi, di Ibukota UEA, bulan Februari 2019 lalu.

Mungkin saja dalam konteks Deklarasi Abu Dhabi 2019 itu, Gereja Katolik Indonesia dianggap oleh Vatikan sebagai contoh nyata yang riil dan baik bagaimana Umat Katolik di Indonesia ini bisa hidup rukun dan damai dengan anggota masyarakat lainnya yang pluralis dalam banyak hal, termasuk keyakinan religius, budaya, dan bahasa.

Demikian beberapa hal penting yang disampaikan Mgr. Suharyo sebagai latar belakang kemungkinan mengapa Indonesia mendapat “jatah” lagi seorang Kardinal baru, sementara Kardinal “lama” yakni Julius Darmaatmadja SJ –walau sudah sepuh—masih ada.

Noblesse oblige

Di akhir catatannya, Mgr. Ignatius Suharyo mengatakan, dengan dirinya diangkat menjadi Kardinal, maka berlakulah adagium berbahasa Perancis yakni noblesse oblige. Artinya, setiap kedudukan atau jabatan penting itu akan selalu membawa konsekuensi datangnya tanggungjawab moral di atas pundak orang yang bersangkutan.

“Dengan (nantinya) saya menjadi Kardinal, maka tidak akan ada banyak hal yang berubah dalam diri saya. Selain bahwa selendang jubah saya nanti tidak akan lagi berwana ungu, melainkan merah,” papar Mgr. Suharyo.

Merah dalam rumus warna liturgi Katolik adalah tanda kemartiran.

“Artinya, sebagai Kardinal, saya dituntut secara moral dan berdasarkan iman Katolik harus berani dan mau taat kepada Tahta Suci seumur hidup. Dan tanggungjawab moral itu juga mengartikan saya harus berani menanggung ‘risiko’nya,” papar Mgr. Ignatius Suharyo.

Live streaming Konferensi Pers Mgr. Ignatius Suharyo.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here