SALAH satu jasa paling signifikan –kalau boleh disebut demikian– dari seorang teolog besar sekelas almarhum Romo Tom Jacobs SJ (1929-2008) adalah kejeliannya melakukan pembedaan tegas antara ungkapan iman dan perwujudan iman.
Memanglah hanya dua kata saja yang berbeda pengucapan dan tulisannya, yakni “ungkapan” dan “perwujudan” iman.
Namun, di mata Romo Tom Jacobs SJ, dua kata itu punya referensi pemaknaan yang amat berbeda.
Ungkapan vs perwujudan iman
Dengan gamblang, misalnya, Romo Tom Jacobs SJ memberi contoh apa itu “ungkapan” iman.
Berdoa, bersujud hormat di hadapan Sakramen Maha Kudus, menghadiri Perayaan Ekaristi, maka “semua itu adalah ungkapan iman,” ujar Romo Tom Jacobs di bangku kuliah Teologi Dogmatik tahun 1990-an.
Sedangkan yang disebut perwujudan iman, demikian Romo Tom, harus melangkah lebih jauh.
Dalam bahasa modern gaul masa kini, perwujudan iman adalah perbuatan berani “keluar dari altar” untuk kemudian “berjalan menuju pasar.”
Apa yang baru saja didoakan di dalam Perayaan Ekaristi, semua niat baik itu jangan hanya berhenti di tataran mulut dan hati.
Namun, demikian tegas Romo Tom Jacobs SJ, haruslah kemudian bisa diwujudnyatakan dalam tindakan sehari-hari sebagai orang beriman.
Dalam “bahasa Kitab Suci”, maka pembedaan makna atas “ungkapan” dan “perwujudan” iman itu sudah terumus indah seperti ini.
“Iman tanpa perbuatan pada hakikatnya adalah mati,” demikian bunyi Surat St. Yakobus 2:14.
Sedangkan Rasul Agung Santo Paulus, misionaris pertama di masa Gereja Perdana, menyebut demikian: “Buah Roh adalah kasih, sukacita, damai sejahteran, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan.” (Galatia 5:22).
Arah dasar pastoral KAJ
Bapak Uskup Keuskupan Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo merumuskan konsep pemikiran yang sama dengan kalimat yang indah ini: “Semakin beriman, semakin bersaudara, semakin berbelarasa.”
Rumusan itu oleh Bapak Kardinal Suharyo malah secara resmi menjadi semacam “motto pastoral” Arah Dasar (Ardas) Gereja Katolik Lokal Keuskupan Agung Jakarta.
Kegelisahan Tom Jacobs SJ
Bapak Kardinal Suharyo pernah menjadi murid almarhum Romo Tom Jacobs SJ. Selama puluhan tahun lamanya, beliau kemudian menjadi kolega sesama dosen di Fakultas Teologi USD Yogyakarta.
Karena itu pula, bisa dimengerti bahwa “roh” semangat almarhum Romo Tom Jacobs SJ itu kemudian sampai “menulari “dan “menurun” tinggal diam dalam diri Kardinal Suharyo.
Sekali waktu saya mendengar kisah berikut ini dan berharap nukilan ini valid kebenarannya.
Romo Tom Jacobs SJ meninggal di Yogyakarta tahun 2008 silam. Beberapa hari menjelang meninggal dunia, Romo Tom Jacobs SJ melalui Romo Heru Prakosa SJ menginginkan agar bisa segera ketemu Mgr. Ignatius Suharyo yang waktu itu sudah menjadi Uskup Keuskupan Agung Semarang.
Urgensi ingin bertemu dengan mantan anak didik dan kolega dosen di Fakultas Teologi USD Yogyakarta ini konon karena alasan sangat personal namun fundamental.
Sebelum ajal menjemputnya, Romo Tom Jacobs SJ saat itu tengah didera kesedihan dan kegamangan luar biasa. Hal itu pula yang konon ingin dia sampaikan secepatnya kepada Mgr. Ignatius Suharyo sebagai Pemimpin Gereja Katolik Lokal Keuskupan Agung Semarang.
Sebagai seorang imam misionaris Jesuit dari Negeri Belanda dan selama puluhan tahun menjadi formator –imam pendidik dan pendamping ribuan calon imam dari berbagai tarekat religius dan interdiosesan—Romo Tom Jacobs SJ resah luar biasa.
Romo Tom Jacobs berangkat dari Negeri Kristiani yakni Nederland dan tiba di “Tanah Misi” di Indonesia, khususnya di Jawa dan persinya di Yogyakarta dan puluhan tahun “berprofesi” menjadi formator dan dosen teologi. Ia melihat perkembangan sangat mencolok antara Gereja Katolik di Belanda dan di Indonesia.
Kini, di Negeri Belanda dan banyak negara di Eropa, banyak gereja semakin kehilangan rohnya dan juga ditinggalkan umatnya. Banyak bangunan gereja di Eropa kini telah mengalami alih fungsi. Jadi museum, restoran, dan entah apa lagi.
Di Indonesia terjadi sebaliknya. Makin hari, makin banyak jumlah orang Katolik. Dan makin hari, makin banyak pula aneka “ungkapan iman” yang sering dipertontonkan secara publik oleh aneka macam kelompok Umat Katolik.
Spirit Teologi Paulus
Yang diprihatinkan almarhum Romo Tom Jacobs SJ saat itu bukan soal makin banyaknya orang Katolik. Namun, dia mencemaskan kalau-kalau “gegap gempita” ungkapan iman itu sifatnya hanya artifisial semata.
Asalkan sudah keplak-keplok dan mengucapkan “Alleluia”, maka sah sudah menjadi “orang Katolik”.
Itu belum cukup, begitu Romo Tom Jacobs SJ, selalu mengajari para frater SJ di Kolese St. Ignatius (Kolsani) saat kesempatan makan malam bersama.
Romo Tom Jacobs SJ amat-amat menekankan pentingnya “perwujudan iman”.
Almarhum Romo Tom Jacobs SJ dikenal sebagai “dewanya” ahli Teologi Paulus. Karena itu, bisa dimengerti bagaimana resahnya Romo Tom ketika misalnya melihat banyak orang Katolik lebih suka ubyang ubyung (pergi sana sini) untuk mengungkapkan iman lebih intensif daripada niat besar untuk mewujudkan iman dengan perbuatan-perbuatan nyata.
Romo Tom Jacobs SJ sungguh tidak alergi dengan praktik berdoa Rosario, melakukan Novena, atau aneka bentuk ungkapan iman lainnya seperti ziarah rohani atau pujian rohani.
Beliau sendiri setiap malam selalu berdoa Rosario dan berdoa Brevir sembari menyusuri lorong-lorong panjang di Kolese St. Ignatius.
Yang dia cemaskan justru iman itu jangan hanya berhenti “di altar” saja, melainkan harus diwujudnyatakan di “pasar”.
Ardas pastoral Gereja Katolik KAJ
Apa persisnya yang diomongkan almarhum Romo Tom Jacobs SJ kepada Mgr. Ignatius Suharyo waktu itu kurang jelas di mata penulis.
Namun, kisah lanjutannya yang kemudian saya dengar dari rekan-rekan SJ adalah bahwa Mgr. Suharyo memberi garansi kepada Romo Tom Jacobs SJ bahwa kegamangan itu tidak akan terjadi di Keuskupan Agung Semarang.
Garansi akan hidup iman Kristiani yang lebih membuncah kini tengah terjadi di Gereja Katolik Lokal Keuskupan Agung Jakarta di mana Ignatius Kardinal Suharyo menjadi pemimpinnya.
Di hadapan ratusan umat Katolik di KAJ, Bapak Kardinal Suharyo menjadi selebran utama dalam Perayaan Ekaristi bersama tiga orang imam yang salah satunya adalah Sekretaris Eksekutif Komisi Seminari KWI Romo Joseph Kristanto Suratman Pr –mantan Rektor Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan Yogyakarta.
Dalam Perayaan Ekaristi Syukur di Kampus Atma Jaya Jakarta di hari Sabtu siang tanggal 30 November 2019 untuk menandai pelantikannya sebagai Kardinal di Basilika Santo Petrus tanggal 5 Oktober 2019 lalu, Bapak Kardinal Suharyo berkali-kali menyebut kosa kata penting “belarasa” itu banyak kali.
Bisa jadi, melalui ungkapan khas “belarasa” itu, Bapak Kardinal Suharyo ingin menyatakan keyakinan iman dengan dasar teologis yang kuat sebagaimana selalu dan berulang kali didengungkan Romo Tom Jacobs SJ.
Lebih penting, perwujudan iman daripada ungkapan iman.
Agar lebih “gaul” dan terdengar lebih enak lantaran ada rima senada, Bapak Kardinal Suharyo lalu merumuskan spirit yang sama itu dengan kalimat demikian: “Makin beriman, makin bersaudara, makin berbelarasa”. (Berlanjut)