ROMO Prof.Dr.Nicolaus Drijarkara SJ sudah lama meninggal. Beliau meninggal tahun 1967 dalam usia baru 54 tahun. Mungkin ada yang tahu di antara para rekan Jesuitnya penyakit apa yang beliau derita pada waktu itu sehingga tak terobati?
Jangan-jangan hanya penyakit demam berdarah, malaria, typhus atau sejenis itu, yang untuk zaman sekarang dengan mudah dapat diobati. Tetapi pada waktu itu, alat laboratorium dan teknik diagnosa penyakit mungkin masih sederhana. Kalau untuk Chairil Anwar sering dikatakan Vita Brevis, Ars Longa (hidup pendek, pengaruh sastranya panjang); maka untuk Romo Drijarkara SJ bisa dikatakan Vita Brevis, Philosophia Longa (Hidupnya singkat, tetapi pengaruh filsafatnya panjang).
Dibuatkkan film
Tanpa dikehendaki oleh Romo Drijarkara sendiri karena beliau sudah meninggal, tiba-tiba nama beliau kembali lagi muncul ramai di jagat dunia maya. Mbak Ganjar Setyowati (selanjutnya saya sebut Mbak Wati, supaya sama dengan yang ditulis oleh Pak Sumartono, orang Kedunggubah yang kini tinggal di Jakarta dan tulisannya sampai muncul di Sesawi.Net) sampai heran karena mendapat banyak telepon yang menanyakan eyangnya Sang Romo itu.
Dan bahkan Mbak Wati sampai kedatangan tamu dari Dewan Kesenian Jakarta, Bapak Marselli Sumarno, pengajar, penulis dan pembuat film. Ia bertanya banyak hal tentang Romo Drijarkara, bahkan sempat membuat shooting di lokasi tanah kelahiran Romo Drijarkara. Entah apa lagi yang masih akan terjadi dan siapa lagi yang akan berkunjung (berziarah) ke Kedunggubah. Tetapi yang jelas semua itu terjadi setahun menjelang peringatan 100 tahun kelahiran Sang Romo 13-06 -13.
Mbak Watik sendiri (yang orang katolik) pada saat orang Jawa pergi ke makam leluhur pada awal bulan suci Ramadhan mengajak anak-anaknya untuk ziarah ke makam Romo Drijarkara di Girisonta. Ia sempat membuat foto makam itu. Ada 18 nama, 9 nama Jesuit di setiap sisinya dimakamkan di tempat yang sama dengan Romo Drijarkara.
Kesempatan ziarah ke makam pada awal bulan puasa itu di Yogya disebut nyadran, di Purworejo disebut unggahan (kalau Idul Fitri: udhunan) dan di Surabaya disebut megengan. Itu menurut pemberi informasi yang saya dengar. Kalau saya salah, berarti pemberi informasinya salah. Kalau yang daerah saya sendiri, saya sudah tahu dari kecil unggahan – udhunan.
Mengapa nama Sang Romo kita ini tiba-tiba bisa tergali banyak informasinya dan bisa disebarkan di dunia maya? (Bersambung)
Artikel terkait:
- Soehirman alias Djentu, Nama Panggilan Alm. Romo Prof. N. Drijarkara SJ Semasa Kecil (1)
- Dari Keluarga Sederhana di Pegunungan Menoreh, Romo Prof. N. Drijarkara SJ Berasal (2)
- Raden Wirjo Sendjojo, Ayah Kandung Romo Prof. Dr. N. Driyarkara SJ (3)
- Soemardjo, Keponakan Romo N. Drijarkara SJ dan Tangan Kirinya yang Ampuh (4)
- Darah Ningrat Mengalir di Raga Prof. N. Drijarkara SJ dengan Sebutan Raden (5)
- Romo Seip van Baars MSC: Romo N. Drijarkara,Tokoh Pujaan Saya (6)
- Misteri Romo Prof. Dr. Nicolaus Drijarkara SJ dan Upaya Memfilmkannya (7)
- Rahasia di Balik Romo Prof. Dr. N. Drijarkara SJ: Dokumen Lusuh Pembuka Misteri (8)
- Romo “Djenthu” Drijarkara SJ dari Omongan Kiri-Kanan di Kedunggubah (1)
- Kedunggubah, Desa Kelahiran Romo N. Drijarkara SJ: Serba Tandus dan Jauh dari Kota (2)
- Pak Polisi Mardjo, “Kembaran” Dekat Romo Prof. Dr. N. Drijarkara SJ (3)
- Suster Moeder Sahati PBHK: “Kembaran” Romo N. Drijarkara SJ (4)
- Suster Moeder Sahati PBHK: Romo N. Drijarkara Milik Umum (5)
- Romo N. Drijarkara SJ di Mata Orang Sedesanya (6)
- Pak Nala di Warung Pojok: Cara Romo N. Drijarkara SJ Berfilsafat dari Kesehariannya (7)
- Romo N Drijarkara SJ: Antara Ke-Yesuitan dan Ke-intelektualan-nya (8)