“Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” (Mat 5,37)
DI kalangan orang Jawa ada pepatah, Nggah nggih nggah nggih, ora kepanggih.” Pepatah ini merupakan sindiran atau teguran terhadap orang yang mudah mengatakan “ya”, tetapi tidak mau melaksanakannya; mengatakan sanggup, namun tidak berbuat sesuatu. Mengapa hal ini sering terjadi?
Terhadap permintaan atau perintah dari orang lain, orang sering menjawab “ya” dengan berbagai alasan, seperti: karena takut terhadap otoritas yang lebih tinggi; karena mendapat ancaman atau tekanan; tidak berani menolak dan atau mengatakan “tidak”; tidak mau mengecewakan orang lain. Situasi dan kondisi seperti ini, seringkali menjadi salah satu faktor bahwa orang tidak melaksanakan apa yang telah disanggupinya.
Ada juga orang yang berani memberikan jawaban “ya” dengan sadar dan bebas, karena tahu bahwa dirinya mempunyai ketrampilan atau kemampuan untuk melaksanakannya. Sekalipun demikian, orang seperti inipun seringkali tidak dengan segera melaksanakan apa yang telah disanggupinya, karena kesibukan atau halangan lain.
Sang Guru sesungguhnya ingin mengajak para murid-Nya untuk membangun sebuah standar hidup yang tinggi, yakni menjadikan diri mereka sebagai pelaku tentang hal-hal yang telah dikatakan. Para murid harus dikenal baik integritas pribadinya, yakni sebagai pribadi yang jujur dan bertanggung jawab, yang selalu mengatakan kebenaran dan melakukan hal-hal yang benar. Dengan demikian, mereka akan menjadi pribadi yang kata-katanya dipercaya oleh banyak orang, sekalipun tidak mengucapkan sumpah.
Apakah arti kata “ya”, yang seringkali keluar dari mulutku? Betulkah diriku termasuk pribadi yang menjadi pelaku hal-hal yang telah kukatakan? Atau tergolong pribadi jarkoni, bisa berujar atau berkata-kata; namun tidak bisa nglakoni atau melakukan? Berkah Dalem.
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)
