Nilai Hidup dan Keutamaan Kristiani dalam Ritual Adat Tolak Bala Suku Dayak

0
824 views
Komunitas Adat Dayak Desa Tapang Sambas - Tapang Kemayau tengah menggelar Ritual Tolak Bala (Adat Bekumpang). by kalimantanreview.com

SUKU Dayak memang kaya dengan prosesi ritus-ritus adat. Peristiwa di awal-awal kehidupan (kelahiran, pemberian nama anak, memandikan anak ke sungai, dll), saat anak menanjak dewasa, lalu saat dia menikah, selalu ada ritual khusus yang dilakukan.

Demikian juga dalam kegiatan sehari-hari terkait dengan perladangan, pesta-pesta adat, pembangunan rumah, memasuki rumah baru, dst.

Diadakannya ritus-ritus adat di dalam berbagai dimensi kehidupan manusia Dayak sejatinya bertujuan untuk membangun dan meneguhkan harmoni dengan Yang Ilahi, dengan sesama dan leluhur serta dengan alam.

Harmoni tersebut ada kalanya mengalami gangguan.

Saat orang sakit, saat ada bencana atau malapetaka oleh masyarakat Dayak biasanya dilihat sebagai saat di mana harmoni itu sedang terganggu.

Tolak Bala sebagai ritual penyembuhan

Ritual penyembuhan atau ritual tertentu mesti dilakukan. Ini sebagai upaya memulihkan harmoni yang telah terciderai itu.

Ritual adat tolak bala adalah salah satunya.

Ritual adat ini menjadi upaya pemulihan atas harmoni. Karena dengan tetap tinggal di dalam rumah untuk jangka waktu tertentu -sebagai bentuk pantangan-, manusia diberi kesempatan untuk mengoreksi diri.

Dalam suku Dayak Iban, Ritual Tolak Bala juga disebut dengan Ngampun. Yang artinya sudah jelas bahwa melalui ritual ini, manusia memohon ampun kepada Yang Kuasa atas segala dosa dan kesalahan yang telah mereka perbuat.

Betapa orang Dayak patut berterima kasih kepada para leluhur, karena mereka telah mewarisi kearifan lokal ini. Ada banyak sekali pengajaran yang dapat kita petik dari ritual adat ini bagi kehidupan pribadi maupun bersama.

Dengan menciptakan ritual adat Tolak Bala, nenek moyang suku Dayak ingin mengingatkan bahwa bencana dan penyakit -ringkasnya penderitaan- akan selalu menjadi bagian dari peziarahan hidup kita sebagai mensia (manusia).

Akan tetapi, lewat ritual adat ini, kita juga diingatkan agar tidak mudah menyerah pasrah begitu saja terhadap segala penyakit dan penderitaan.

Sebagai manusia kita mesti berusaha sekuat tenaga.

Dengan memohon pertolongan Petara lewat ritual adat Tolak Bala, para leluhur mau mengingatkan agar dalam segala upaya yang dilakukan, Yang Kuasa mesti dilibatkan.

Manusia boleh berusaha, namun selebihnya serahkan ke dalam tangan Yang Mahakuasa.

Dan bahwa segala bentuk upaya tersebut tidak dilakukan seorang diri, tapi melibatkan semua anggota komunitas, juga mau mengajari kita betapa pentingnya gotong-royong dan kebersamaan dalam menghadapi dan mengatasi setiap kesulitan dan tantangan hidup.

Cara masyarakat Dayak menghadapi kesulitan dan tantangan hidup secara bersama-sama, pada hemat saya, sungguh mencerminkan nilai hidup dan keutamaan Kristiani seperti yang akan saya udar di bawah ini.

Solidaritas 

Dalam ritus Sakramen Perkawinan dalam Gereja Katolik, ketika sampai pada pengucapan janji oleh kedua mempelai, keduanya akan berjanji: “Di hadapan Tuhan…. Saya berjanji untuk setia kepadamu dalam untung dan malang, suka dan duka, sehat dan sakit…”

Dalam rumusan itu tertulis “dalam untung dan malang, suka dan duka, sehat dan sakit”.

Dari rumusan ini kedua mempelai hendak diingatkan bahwa hidup ini tidak hanya berisi untung, suka dan sehat saja, tapi juga ada malang, duka dan sakitnya juga.

Ilustrasi: Almarhum Romo J. Vossen Waskita SJ memberkati pernikahan kami -Suryono dan Endang- di Gereja St. Fransiskus Xaverius Paroki Kidul Loji Yogyakarta tahun 1989. (Dok. Laurensius Suryono)

Begitulah realitas kehidupan manusia.

Bila mau jujur pastilah kebanyakan dari kita memilih untuk hidup sehat, selalu dalam keadaan untung atau dalam keadaan suka.

Namun, kenyataan sering kali seperti yang tidak kita harapkan. Sakit, penderitaan yang mendengarnya saja kadang kita enggan, apalagi mengalaminya, seringkali juga datang menyapa.

Homo dolens

Kenyataan bahwa sakit dan penderitaan selalu menjadi bagian dari hidup manusia, membuat manusia dikatakan sebagai homo dolens (makhluk yang menderita).

Manusia menderita karena bencana alam, peperangan, kehilangan, mengalami ketidakadilan, kemiskinan, kelaparan, mengidap penyakit tertentu, dst.

Merebaknya wabah virus corona seakan semakin hendak menegaskan peziarahan hidup manusia yang tak akan pernah lepas dari penderitaan.

Jutaaan nyawa telah hilang akibat pandemi Covid-19 ini.

Pun juga banyak anak manusia menjadi putus asa dan patah semangat karena kehilangan orang-orang terkasih dan juga pekerjaan.

Pandemi Covid-19 tidak memandang apa suku, bahasa, ras dan agama kita. Karena itu, solidaritas menjadi sikap hidup yang mesti kita kedepankan.

Solidaritas bukanlah bahasa yang asing bagi Gereja.

Menjadi Gereja yang solider merupakan kodrat dari panggilan Gereja yang diutus untuk menjadi sakramen keselamatan bagi dunia.

Ilustrasi: Para suster biarawati bekerjasama dengan sejumlah relawan bekerja keras membantu penyaluran bantuan alam kasih kepada para korban banjir di wilayah pastoral Keuskupan Sintang, Kalbar. (Caritas Indonesia KWI)

Peristiwa inkarnasi

Kodrat ini menemukan sumbernya dari peristiwa inkarnasi Sang Sabda.

Penjelmaan Putera Allah menjadi manusia merupakan sikap solider Allah yang paling dalam terhadap manusia.

Konstitusi Dogmatis Dei Verbum Konsili Vatikan II menyatakan:

“Yesus Kristus, Sabda yang menjadi daging, diutus sebagai “manusia kepada manusia”, menyampaikan sabda Allah (Yoh 3:34), dan menyelesaikan karya penyelamatan, yang diserahkan oleh Bapa kepada-Nya (Yoh 5:36; 7:14).

Oleh Karena itu, dengan segenap kehadiran dan penampilan-Nya, dengan sabda maupun karya-Nya, dengan tanda-tanda serta mukjizat-mukjizat-Nya.

Namun terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya penuh kemuliaan dari alam maut, akhirnya dengan mengutus Roh Kebenaran, menyelesaikan wahyu dengan memenuhinya.

Juga meneguhkan dengan kesaksian Ilahi bahwa Allah menyertai kita, untuk membebaskan kita dari kegelapan dosa serta maut, dan untuk membangkitakan kita bagi hidup kekal.” (art. 4).

Keyakinan bahwa manusia itu diciptakan menurut gambar dan rupa Allah menjadi landasan utama bagi Gereja untuk solider dengan umat manusia.

Sollicitudo Rei Socialis

Berkaitan dengan hal ini, Paus St. Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis menegaskan:

“Solidaritas membantu kita memandang “pihak lain” –entah itu pribadi, masyarakat atau bangsa– tidak sebagai semacam alat belaka, beserta kemampuan kerja dan kekuatan fisiknya untuk dieksploitasi dengan biaya murah, kemudian disingkirkan kalau sudah kehilangan faedahnya, melainkan sebagai “sesama” kita, sebagai “penolong” (bdk. Kej 2:18-20), untuk menjadi mitra usaha yang sederajat dengan kita pada perjamuan kehidupan, atas undangan Allah yang sama-sama ditujukan kepada semua orang.” (art. 39).

Fakta bahwa manusia diciptakan oleh Allah menempatkannya dalam relasi khusus dengan sesama manusia dan ciptaan Allah yang lain.

Konsili Vatikan II menandaskan: “Akan tetapi, Allah tidak menciptakan manusia seorang diri: sebab sejak awal “Ia menciptakan mereka pria dan Wanita.” (Kej 1:27).

Rukun hidup mereka merupakan bentuk pertama persekutuan antarpribadi. Sebab dari kodratnya yang terdalam, manusia bersifat sosial; dan ia tidak dapat hidup tanpa berhubungan dengan sesama atau mengembangkan bakat-pembawaannya.” (GS 12)

Demi menghayati hidup dalam semangat persekutuan itu, setiap individu dipanggil untuk bertanggung jawab terhadap keselamatan bersama.

Di sinilah letak makna terdalam dari solidaritas sebagaimana dalam ensiklik yang sama ditandaskan oleh Paus St. Yohanes Paulus II:

“Solidaritas itu bukan perasaan belaskasihan yang samar-samar atau rasa sedih yang dangkal karena nasib buruk sekian banyak orang, dekat maupun jauh.

Sebaliknya, solidaritas ialah tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikan diri kepada kesejahteraan umum, artinya: kepada kesejahteraan semua orang dan setiap perorangan, karena kita ini semua sungguh bertanggung jawab atas semua orang.” (art. 38).

Ilustrasi: Pandanglah masa lalu dengan penuh syukur, peluklah masa depan dengan harapan. (Sr. Ludovika OSA)

Harapan Kristiani

Sebuah peristiwa di Thailand tahun 2018 yang lalu, tepatnya di Gua Tham Luang, menjadi salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita betapa harapan itu memiliki daya kekuatan yang luar biasa.

Di dalam gua tersebut terjebak sekelompok remaja klub sepakbola bersama pelatih mereka. Kabar tersebut seketika saja menggerakkan hati banyak orang untuk turut membantu mereka keluar dari gua tersebut.

Bahkan seorang dokter asal Australia yang memiliki keahlian cave-diving, Dr. Richard Harris, membatalkan liburannya di Thailand ketika mendengar kabar ada 13 orang terjebak dalam Gua Tham Luang.

Ia datang menawarkan diri untuk membantu.

Akhirnya, berkat bantuan dan kerjasama berbagai pihak, setelah selama 17 hari terjebak di dalam gua, ke 13 orang tersebut dapat dikeluarkan dengan selamat.

Harapan kecil telah menjadi kenyataan”. Itulah yang dikatakan Komandan kesatuan SEAL Angkatan Laut Thailand, Arpakorn Yuukongkaew.

Dia percaya bahwa ke 13 orang yang terjebak dalam gua tersebut masih hidup.

Harapan inilah yang mendorong dia bersama timnya untuk melaksanakan operasi penyelamatan.

Ilustrasi: Semua lahir dari harapan. (Romo Suhud SX)

Betapa harapan memiliki kekuatan yang luar biasa. Harapan menjadikan kita optimis dalam peziarahan hidup kita yang sering kali dihantui oleh kegagalan serta diliputi kecemasan dan kegelisahan.

Optimisme ini tidak hanya menyangkut keberadaan kita di dunia ini, tetapi juga keyakinan akan adanya hidup setelah ini, yakni hidup abadi.

Karena itulah, Harapan merupakan salah satu keutamaan teologal, dengannya kita merindukan dan menantikan kehidupan abadi yang berasal dari Allah sebagai kebahagiaan kita, mempercayakan diri kita kepada janji Kristus, dan bersandar pada bantuan rahmat Roh Kudus agar pantas menerimanya dan tetap bertahan sampai akhir hidup kita. (KKGK No.387).

Spe Salvi facti sumus” – dalam harapan kita diselamatkan – demikian kata pembuka dari ensiklik Paus Benediktus XVI Spe Salvi, yang dikutip dari surat St. Paulus kepada jemaat di Roma (8:24; Spe Salvi No. 1).

Bila kita diselamatkan oleh harapan:

  • Apakah kemudian harapan Kristiani itu individualistis?
  • Apakah kita hanya mengharapkan keselamatan bagi diri kita sendiri dan mengabaikan orang lain?

Harapan yang demikian tentu tidak mencirikan harapan Kristiani yang sesungguhnya.

Bentuk dari harapan Kristiani yang sejati ialah bila kita tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri.

Harapan yang dimiliki oleh Arpakorn Yuukongkaew telah mendatangkan keselamatan bagi para saudaranya yang terjebak di dalam gua.

Kepada umat di Korintus, Rasul Paulus menulis, “Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka.” (2 Kor 5:15).

Kristus telah mati bagi semua orang. Untuk hidup, bagi-Nya berarti kita membuka diri untuk juga hidup bagi orang lain (being for others), sama seperti Kristus (bdk. Spe Salvi, art. 28)

Ilustrasi: Alm. Sr. Eusthochia SSpS, Suster Pejuang Kemanusiaan. (Ist)

Gereja mesti hadir dan terlibat

Di grup perpesanan, soal apakah Gereja mesti hadir dan melibatkan diri dalam ritual adat tolak bala pernah menjadi bahan diskusi ringan oleh para pastor yang bertugas di Keuskupan Sintang.

Meski belum ada kata final seperti apa bentuk kehadiran dan keterlibatan Gereja, sebagian besar dari para pastor sepakat, kalau Gereja mesti hadir dan terlibat dalam ritual adat ini.

Hemat saya, Gereja mesti hadir dan terlibat karena terdapat kaitan yang sangat erat antara pewahyuan diri Allah dan pengalaman eksistensial manusia.

Gereja Katolik, dalam Teologi Wahyu dan Iman, memberikan penekanan akan pentingnya pengalaman manusia.

Wahyu dilihat sebagai komunikasi pribadi antara Allah yang transenden dengan manusia yang di bumi ini.

Allah yang tak kelihatan itu dari kepenuhan cinta kasih-Nya menganugerahkan diri kepada manusia, menyapa mereka, bergaul dengan mereka, bersekutu dengan mereka.

Inilah hakikat dari wahyu.

Dan aspek personal, yaitu pertemuan pribadi antara Allah dan manusia menjadi aspek yang paling digarisbawahi.

Pertemuan pribadi ini dialami oleh manusia dalam berbagai pengalaman hidupnya. Pengalaman dengan demikian merupakan medium yang melaluinya manusia menjumpai pewahyuan diri Allah (bdk. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1, 2004, hal. 67).

Dalam ritual tolak bala, pengalaman eksistensial manusia yang dijumpai oleh Gereja ialah pengalaman akan penderitaan yang dalam hal ini hadir dalam rupa pandemi Covid-19.

Sebuah wabah yang telah mendatangkan banyak kesengsaraan dalam hidup kita manusia. Jutaan manusia telah kehilangan nyawa.

Banyak yang kehilangan orang-orang terkasih. Tak sedikit yang kehilangan pekerjaan.

Kenyataan pahit yang dialami anak manusia itu sudah cukup menjadi alasan bagi Bunda Gereja untuk hadir di tengah umat, turut merasakan dan menanggung beban derita anak-anaknya.

Akan tetapi, bila Gereja hadir dan melibatkan diri dalam ritual tolak bala, bukan hanya sebatas untuk menunjukkan rasa hormat terhadap budaya lokal.

Kehadirannya adalah untuk memberi peneguhan dan penghiburan. Juga untuk membangkitkan semangat dalam diri umat agar terus melanjutkan hidup dengan penuh iman dan harapan.

Gereja mesti hadir dan terlibat karena sebagaimana ditandaskan dalam dokumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes (Tentang Gereja di Dunia Dewasa ini):

“Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.” (art. 1).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here