Paguyuban Guru-Karyawan Sekolah Katolik Kota Palembang, Guru Harus Berubah

0
929 views
Penulis dan guru SMA Kolese de Britto St. Kartono sedang memberi paparannya. (Ignas Waning)

DI tengah kemajuan teknologi, peran guru masih tetap dibutuhkan untuk mendidik, terutama berkaitan dengan keutamaan hidup dan menyiapkan manusia di belakang teknologi, kata St. Kartono, penulis dan guru SMA Kolese de Britto Yogyakarta.

Setelah sekian lama mengajar di SMA Kolese de Britto, St Kartono, penulis buku Menjadi Guru untuk Muridku ini mendapat tawaran pekerjaan yang menggiurkan baik berupa jabatan atau posisi maupun berupa keuangan dari luar instansinya ia berkarya. 

Passion Guru

Terhadap tawaran yang menggiurkan tersebut, St Kartono membicarakan dengan isteri dan ke-2 puterinya di rumah. Pak Kartono ingin meminta masukan atau pendapat dari keluarganya.

  • “Papi, apa yang Papi cari?,” timpal puteri bungsunya.
  • Passion Papi itu guru,” kata puteri sulungnya.

Itulah yang pengalaman yang meneguhkan St. Kartono hingga kini memasuki 27 tahun menjadi guru di SMA Kolese de Britto Yogyakarta. Guru profesi yang menggembirakan. Guru menjadi pekerjaan yang menyenangkan.

Sebagai guru, hal yang jangan ditinggalkan adalah mengolah motivasi menjadi guru. 

Guru yang rapi

“Saat mengajar saya tidak suka sambil duduk, saya mengajar harus berdiri. Bahkan saya bertahan berdiri selama dua jam”, kisah St. Kartono, penulis buku Menulis tanpa Rasa Takut  di hadapan lebih kurang 300 guru perwakilan dari TK, SD, SMP, SMA SMK Sekolah-sekolah Katolik di Kota Palembang.

Dengan penampilan yang rapi, pembawaan dengan semangat dan penguasaan materi berdasarkan pengalaman yang telah direfleksikannya, St. Kartono bertanya kepada para peserta yang duduk di barisan paling belakang.

 Guru yang kreatif

“Kita, guru seperti apa? Secara bergiliran peserta yang duduk di barisan belakang menjawab cukup dengan satu kata. Jawaban peserta atas pertanyaan tersebut bermacam-macam: energik, baik, teladan, disiplin, beretika, loyal, optimis, berubah, memahami, peduli, kreatif, inovatif, ceriah, setia, dan proaktif.

St. Kartono dari SMA Kolese de Britto Yogyakarta.

Atas semua jawaban peserta tersebut, apakah Bapak-Ibu sudah menghayati hal tersebut, kembali St Kartono bertanya reflektif bagi peserta. “Tanyakan pada murid yang Bapak Ibu ajarkan, saya ini guru seperti apa?,” pesan St. Kartono.

Dalam seminar sehari (Selasa, 20/11-2018) selain St. Kartono dengan moderator Agus Yuswono, panitia juga menghadirkan Dr. Hendro Setiawan sebagai narasumber dan Petrus Widodo sebagai moderatornya.

Pembicara pertama dalam seminar ini, Dr Hendro Setiawan, pemerhati pendidikana dan tokoh awam Katolik Keuskupan Agung Palembang memaparkan tantangan sekaligus peluang dalam dunia pendidikan di lembaga atau sekolah Katolik yakni kapitalisme dan radikalisme yang kian merebak.

Sekolah Katolik diminati

“Waktu masih kecil, saya sekolah di sekolah Katolik. Kata orangtua, sekolah Katolik merupakan sekolah yang terbaik. Saat itu (hampir 50 tahu lalu), sungguh sekolah Katolik diminati”, kenang Bapak Hendro mengawali paparanya.

Ciri yang menonjol dan membekas dalam ingatan Pak Hendro di sekolah Katolik adalah melayani dengan baik.

“Jangan-jangan sekolah Katolik menjadi serigala bagi sekolah Katolik yang lain,” itulah kekhawatiran Pak Hendro yang merupakan plesetan dari homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya).

Dr. Ir. Hendro Setiawan, alumnus STF Driyarkara Jakarta.

 Tinggalkan sistem kompetisi

Dalam sistem kapitalisme mengharuskan adanya kebebasan, kompetisi, berorientas pada sukses, materialistik, berpusat pada manusia (antroposentrisme), jelas Hendro, penulis buku Manusia Utuh: Sebuah Kajian atas Pemikiran Abraham Maslow.

Dampak positif dari sistem kapitalisme jelas Hendro antara lain kemajuan teknologi, pembangunan meningkat, kesejahteraan bagi sebagian orang, dan optimalisasi pencapaian manusia di banyak bidang. 

Talenta tidak maksimal

Selain dampak positif , sistem kapitalisme menghadirkan dampak negatif, antara lain kesenjangan sosial, fluktuasi ekonomi, hidup berpacu mengejar keinginan, hidup tidak seimbang, talenta tidak maksimal, kegelisahan, dan keterasingan.

Dengan tegas secara spiritual, Hendro Setiawan, penulis buku Mungkinkah Bumi tanpa Humus? Mengatakan hal ini.  “Pengikut materialistis tidak mungkin mengikuti Tuhan dengan baik. Bahkan manusia menjadi Tuhan atas dirinya.”

Sistem kapitalisme hanya melayani segelintir yang kaya, sambung Hendro Setiawan.

Panitia penyelenggara Paguyuban Guru-Karyawan Sekolah Katolik (PGK) menawarkan tema seminar Implementasi Semangat Roh Katolisitas Guru dalam Menjawab Tantangan Zaman di Era Kemajuan Teknologi Digital yang diselenggarakan di Hall Xaverius Centrum Studiorum Palembang. 

Tantangan guru dan sekolah Katolik di zaman millenial dengan disrupsi digital sebagai penandanya.

Guru harus berubah

Guru harus berubah di era millenial. Guru harus terus belajar dan tidak bercokol di zona nyaman. Guru mestinya menguasai IT sebagai sarana dalam pembelajaran, jelas Drs N. Suseno, Ketua PGK Kota Palembang dalam sambutannya.

Guru Katolik hendaknya jatuh cinta pertama sebagai guru Katolik yang dipanggil menjadi pewarta kabar gembira, harap Ketua Majelis Pendidikan Katolik (MPK) Keuskupan Agung Palembang Fr. Patrik Totok BHK dalam sambutan di awal seminar.

Seminar tentang tantangan menjadi guru di masa kini.

Menjadi contoh-teladan

Guru hendaknya menjadikan tanah yang subur bagi siswa-siswinya dengan cara menggemburkan diri, menyuburkan diri, dan mempromosikan diri, papar St. Kartono.

Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Palembang, Romo Felix Astono SCJ, membuka secara resmi seminar pendidikan ini. Ia  mengatakan komitmen dan partisipasi Gereja Katolik dalam karya pelayanan di bidang pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai atau keutamaan seperti kejujuran, keadilan, kasih, pembelaan terhadap orang lemah dan terpinggirkan.

“Penanaman nilai hidup dengan menjadi contoh-teladan yang layak ditiru dan digugu,” tegas Romo Astono.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here