Pedalaman Nanga Mahap, Sanggau: Berburu Sayuran di Hutan untuk Belajar Kreatif, Mandiri, dan Ulet

2
724 views
Ilustrasi: Anak-anak pedalaman di Nanga Mahap, Sanggau, Kalbar, membawa ronjong di punggung berisi aneka sayuran hasil berburu di hutan untuk dijual di kota. (Sr. M. Ludovika OSA/Nanga Mahap)

SEBAGAI manusia biasa dan apalagi seorang suster biarawati, nurani saya ikut “menjerit” melihat pemandangan yang tidak biasa. Dan itu terjadi sekali waktu di depan Biara OSA kami di pedalaman Paroki Maria Bunda Allah Nanga Mahap, Keuskupan Sanggau, Kalbar.

7-8 jam dari Pontianak

Nanga Mahap berada di kawasan pedalaman Kalbar. Lokasinya berjarak sekitar tiga jam perjalanan dari “pusat kota” Sanggau. Kota kecil ini ada dalam wilayah administratif pemerintahan Kabupaten Sekadau.

Sementara, Sanggau bisa ditempuh dengan mobil sekitar 4-5 jam perjalanan dari Ibukota Provinsi Kalbar: Pontianak.

Jadi, bisa dibayangkan betapa pemandangan tidak biasa di Nanga Mahap itu benar-benar menyedot emosi hati untuk “berbagi”. Meski, hal ini hanya sekedar berbagi kisah sarat dengan human interest.

Membawa ronjong

Siang di hari itu, bersama kolega suster biarawati anggota Kongregasi Suster St. Augustinus dari Kerahiman Allah –biasa disebut OSA—kami tengah berada dan duduk di ruang rekreasi susteran. Kami tengah menikmati suasana rekreasi komunitas sembari bersenda gurau bercerita sana-sini.

Tiba-tiba dari arah kejauhan sana, kami semua mendengar teriakan seperti ini: “Suster…. suster….

Saya segera beranjak dari tempat duduk dan kemudian mencari sumber suara.

Ronjong di punggung

Ternyata jauh di sana ada beberapa anak murid SD tengah datang menuju Susteran sembari mengambin dengan ronjong di punggung mereka.

Dalam bahasa Dayak lokal di Nanga Mahap, ronjong adalah kosa kata lokal untuk menyebut keranjang panggul.

Dengan ronjong itu pula, anak-anak kecil seumuran kelas SD itu menyimpan aneka sayuran untuk dijual kepada lalu-lalang.

Kami,  para suster dan saya pribadi, merasa haru disertai kagum menyaksikan pemandangan macam itu yang terjadi di depan mata.

Tidak malu

Anak-anak di kampung pedalaman di Nanga Mahap ini tidak merasa malu atau rendah diri, ketika situasi menuntut mereka harus mau berjualan sayur di jalanan atau permukiman penduduk.

Yang mereka lakukan tidak lain untuk sekedar berbuat baik guna bisa membantu orangtua mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagian lagi –kalau masih ada “sisa”– untuk ditabung.

Baru enam bulan

Baru enam bulan terakhir ini, saya ada di kawasan permukiman pedalaman di Nanga Mahap ini.

Ketika melihat hal itu, saya menyaksikannya sebagai hal yang luar biasa. Ini adalah kisah nyata bagaimana anak-anak di kampung sebuah permukiman pedalaman di Keuskupan Sanggau, Provinsi Kalbar, berusaha menjadi kreatif, mandiri, dan ulet.

Berburu sayuran di hutan

Usai sekolah dan kemudian pulang ke rumahnya masing-masing, anak-anak kecil itu hanya beristirahat sebentar di rumah. Barulah kemudian, mereka itu masing-masing segera “lari” ke hutan bersama kawanan seumuran mereka untuk “berburu sayuran”.

Usai berhasil “berburu sayuran” di hutan, anak-anak itu kembali “masuk kota”.  Dan dengan membawa ronjong di punggung, mereka lalu menjualnya di permukiman penduduk dan di pasar tradisional lokal.

Dan hal itu terjadi setiap hari.

Siang itu, saya dan para suster OSA memutuskan membeli sayuran dari anak-anak itu.

Sejenak, kami terlibat dalam perbincangan ringan dengan mereka.

  • T: Apakah kalian tidak lelah setiap hari jualan?
  • J: Tidak  suster. Kami malah senang bisa kami membantu orangtua kami dengan berjualan sayur-sayuran ini.

Mereka menjawab kompak dan serempak.

Jualan sayuran dari hasil “berburu di hutan” dan kemudian mereka taruh di ronjong di punggung mereka untuk kemudian dijual keliling.

Sebagaimana manusia pada umumnya dan juga tahu kondisi hidup mereka, saya dan para suster OSA dibetot rasa haru sekaligus kagum.

Kata dan ungkapan kisah di atas itu bisa jadi tidak mampu mengungkapkan gejolak rasa kami.

Tentu, rasa kagum sekaligus haru itu terlecut di hati kami karena anak-anak “kota” pasti tidak akan mau atau bersedia melakukan hal itu.

Kalau pun itu terjadi, maka paling-paling karena kondisi tertentu saja.

Tetapi, anak-anak SD dari Nanga Mahap di pedalaman Keuskupan Sanggau ini melakukannya setiap hari.

Beda rasa

Anak-anak Dayak yang masih hidup di pedalaman dilatih oleh situasi hidup sosial mereka untuk belajar mandiri, ulet, dan kreatif. Pemandangan di atas memancarkan hal itu.

Di kota, termasuk di Ketapang di mana selama beberapa tahun terakhir ini saya pernah tinggal, rona kehidupan anak-anak “kota” sudah berbeda jauh sekali.

HP, pulsa, internet, game kini sudah mengisi “hari-hari” mereka.

Gengsi juga mulai menyergap mereka sehingga tugas mereka sebagai pelajar juga sudah mulai mereka tinggalkan: membuat PR, tugas sekolah, dan lainnya.

Dengan demikian, pemandangan anak-anak membawa ronjong di punggung itu pasti tidak akan pernah akan ada dan terjadi “di kota”.

Dunia keseharian anak-anak pedalaman di Nanga Mahap, Keuskupan Sanggau, Kalbar –sekitar 7-8 jam perjalanan darat dari Pontianak menuju kawasan pedalaman.

Lupa gengsi

Saya kagum dengan anak-anak pembawa ronjong itu karena mereka “lupa” gengsi.

Dengan semangat baja, mereka berlarian ke hutan untuk “berburu sayuran” dan kemudian menjualnya ke “kota”.

Di Nanga Mahap ini, saya merasa bersyukur bahwa “pemandangan tidak biasa” itu saya temuka di sana.

Dalam rona wajah yang polos dan semangat tinggi, anak-anak itu melatih diri menjadi kreatif, mandiri, dan ulet.

Itu mengingatkan hari-hari saya dulu saat masih kecil sering berlari ke hutan untuk hal yang sama.

 

 

 

 

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here