Pelanggaran Etika Kedokteran

0
407 views
Ilustrasi: Ist

MAJELIS Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) sudah menyimpulkan “secara sah dan meyakinkan” bahwa Mayjen TNI Dr. dr. TAP, SpRad, penemu dan penerap metode cuci otak (brain flushing) melakukan pelanggaran etik. Pelanggaran etik kedokteran berat (serious ethical misconduct) ini diberikan sanksi berupa pemecatan sementara sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Apa yang sebaiknya dicermati?

Sebenarnya kita tidak etis malakukan eksaminasi atau ‘legal annotation’ yaitu pemeriksaan dan membuat ulasan terhadap putusan pengadilan MKEK tersebut. Keberadaan lembaga eksaminasi publik hanya dilakukan terhadap kinerja hakim pengadilan dengan diterbitkannya SEMA (Surat Edaran Mahkam Agung) No 1 Tahun 1967, yang dikenal dengan eksaminasi internal lembaga peradilan.

Dalam hal ini untuk mengkaji putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, yang bersifat eksaminasi internal, dan bukan dimaksudkan sebagai kontrol publik.

Oleh sebab itu, sebaiknya kita fokus bukan pada keputusan MKEK, tetapi pada metode cuci otak sebagai salah satu objek materi pemeriksaan. Sebuah intervensi kedokteran yang diterapkan kepada pasien, termasuk cuci otak secara etik seharusnya hanya dilakukan setelah melewati tahap penelitian lengkap.

Penelitian kesehatan yang mengikutsertakan subjek manusia harus etik dan hormat atas martabat manusia, sesuai PP 39/1995 tentang penelitian dan pengembangan kesehatan, dengan prinsip ‘Respect for person, Beneficience & non maleficience, and Justice’.

Dengan demikian, testimoni yang menyebutkan bahwa metode tersebut telah mengatasi masalah stroke sejak tahun 2005 pada sekitar 40.000 pasien, bahkan tidak banyak muncul komplain dari masyarakat, sebenarnya bukanlah bukti kevalidan secara etika kedokteran. Demikian juga testimoni para tokoh nasional yang pernah menjalani metode tersebut dan ujian pada proses pendidikan tingkat doktoral di sebuah FK PTN, tentu saja bukan merupakan bukti yang etik, selain uji klinik.

Uji klinik adalah pengujian sebuah intervensi kedokteran baru pada manusia, yang pada dasarnya memastikan efektivitas, keamanan dan efek samping yang timbul pada manusia, akibat pemberian suatu intervensi dokter.

Uji klinik ini terdiri dari uji fase I sampai fase IV.

Uji Klinik Fase I merupakan pengujian suatu intervensi kedokteran baru untuk pertama kalinya, pada manusia. Yang diteliti di sini ialah keamanan dan penerimaan atau tolerabilitas intervensi, bukan keampuhan atau efikasinya, maka dilakukan pada sukarelawan sehat.

Uji Klinik Fase II dilakukan pada orang yang sakit atau pasien dengan tujuan adalah melihat apakah intervensi ini memiliki efek terapi. Pada fase II  dilakukan uji klinik komparatif yang membandingkannya dengan intervensi standar, yaitu pengobatan terbaik yang ada dan disebut uji klinik berpembanding, acak, tersamar ganda.

Uji Klinik Fase III dilakukan pada manusia sakit atau pasien, ada kelompok pembanding, cakupan lebih luas baik dari segi jumlah pasien maupun keragaman, misalnya jenis kelamin atau ras. Penelitian tahap ini sekaligus akan menjawab pertanyaan tentang manfaat dan efek intervensi dokter tersebut, apabila digunakan secara luas dan diberikan oleh para dokter yang ‘kurang ahli’.

Selain itu, juga efek samping lain yang belum terlihat pada fase II dan dampak penggunaannya pada pasien yang tidak diseleksi secara ketat, sehingga menyerupai keadaan sebenarnya dalam penggunaan sehari-hari di tengah masyarakat.

Pengujian dilakukan secara acak dan tersamar ganda. Apabila hasil uji klinik fase III menunjukan bahwa intervensi dokter yang baru ini cukup aman dan efektif, maka intervensi dokter dapat diizinkan untuk diterapkan oleh banyak, bukan hanya oleh seorang atau sedikit dokter, kepada pasien di mana pun.

Uji Klinik Fase IV dilakukan pengujian atas intervensi dokter dengan syarat bahwa intervensi dokter telah dipasarkan dan dilakukan oleh banyak dokter (post marketing surveilance). Selain itu, juga memantau efek samping yang belum terlihat pada uji-uji sebelumnya, dan dampak terhadap kematian pasien.

Survei ini tidak tidak ada ketentuan tentang pemilihan pasien, besarnya dosis tindakan, dan lamanya pemberian intervensi.

Tidaklah ada manusia yang sempurna, sehingga masukan dari pihak siapa pun, termasuk keputusan MKEK dan pembelaan para pasien Dr. TAP, sewajarnya menjadi pembelajaran bagi kita semua.

Dr. TAP dan tim sebaiknya menjalankan tahapan penelitian lengkap untuk metode cuci otak sebagai intervensi baru yang diterapkan pada pasien. Selain itu, faktor Dr. TAP sebagai terlapor yang dianggap mengiklankan dan memuji diri, serta tidak koperatif dan menolak hadir di persidangan MKEK sebagai lembaga penegak etika kedokteran, juga perlu diperbaiki.

Secara etika, dokter tidak boleh memuji diri sendiri, mengiklankan diri, dan menjanjikan kesembuhan. Selain itu, dokter harus jujur dan secara berhati-hati menyampaikan kepada masyarakat bahwa metode intervensi yang dilakukannya masih dalam taraf uji klinik, sehingga tidak boleh menarik imbal jasa kepada pasien.

Setinggi apa pun pangkat dan jabatan seorang dokter, adalah sejajar di depan MKEK, yang merupakan badan otonom IDI, yang bertanggung jawab dalam kegiatan internal organisasi dalam pengembangan kebijakan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan etika kedokteran.

Sebaliknya, MKEK yang bertindak cukup terlambat membahas metode ini, maladministrasi terkait kertas berkop resmi, dan keterbukaan yang berlebihan dan menjadi viral untuk masalah internal organisasi, juga tidaklah merupakan hal yang baik.

Selain itu, sanksi pemecatan sebagai anggota IDI, sebenarnya bukanlah ranah MKEK dan ekskusi ini baru dapat dilakukan oleh PB IDI, setelah ada tahapan pembelaan anggota.

Semoga keputusan MKEK ini dapat menjadi yurispudensi, yaitu sebuah keputusan majelis hakim yang kemudian dijadikan pedoman dalam memutuskan suatu perkara yang sama di kemudian hari, dan pembelajaran bagi kita semua.

Apakah kita sudah bijak?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here