Pemimpin yang Berempati

0
572 views
Ilustrasi - Sikap empati kepada sesama. (Ist)

Selasa, 21 Februari 2023

  • Sir 2:1-11.
  • Mzm. 37:3-4,18-19,27-28,39-40.
  • Mrk. 9:30-37.

BERBELARASA, dengan orang lain atau empati adalah salah satu aspek keutamaan hidup seorang manusia.

Sehebat apa pun diri kita, jika tidak punya rasa empati, kita akan jadi monster yang keras dan tanpa peduli dengan orang lain.

Karena dalam belarasa itu rasa kemanusiaan kita dipertajam untuk hingga mampu mengembangkan pemahaman yang mendalam mengenai suatu permasalahan.

Memahami orang lain akan mendorong diri kita untuk rela berbagi harapan dan sukacita kehidupan ini.

Empati merupakan kunci pengembangan sikap kepemimpinan yang asertif.

Seorang sahabat bercerita bagaimana dengan segala keterbatasannya harus mengganti pimpinannya karena sakit.

“Awalnya saya pikir hanya sementara namun malah kini sudah berjalan dua tahun, pimpinan pusat justru menetapkan saya sebagai pimpinan yang definitif,” katanya.

“Saya jalani pelayanan ini dengan keinginan selalu belajar,” ujarnya.

“Untuk itu, saya mengusahakan supaya ada perjumpaan dengan keluarga rekan kerja, atau minimal menanyakan keadaan keluarga mereka,” sambungnya.

“Saya hanya menerapkan sesuatu yang pernah saya rindukan saat saya jadi bawahan, saya ingin diorangkan, disapa,” tegasnya.

“Saya punya harapan relasi kerja yang tidak melulu atasan dan bawahan, namun sebagai anggota tim dan bahkan sebagai keluarga,” lanjutnya.

“Perasaan empati dari pimpinan itu pernah saya rindukan, hingga saya rasakan yang membuat saya bisa tahu diri, dan mau berjuang untuk cita-cita dan harapan unit kerja,” paparnya

“Saya tidak ingin menjadi beban unit kerja untuk membayar kami setiap bulan,” paparnya.

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,

Lalu Yesus duduk dan memanggil kedua belas murid itu. Kata-Nya kepada mereka: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.”

Menjadi manusia yang punya ambisi itu baik, namun jika ambisi menguasai diri itu yang bahaya.

Seorang yang ambisius selalu ingin menjadi yang terdahulu dengan status dan kuasa berkecamuk dalam hati.

Nafsu serakah dan kuasa menjadi simbol dari keegoisan manusia.

Keegoisan membuat hati nurani mereka menjadi tumpul.

Situasi batin para murid terpotret oleh Yesus.

Di saat Yesus bicara tentang misi-Nya, yang harus terpenuhi melalui jalan derita, para murid sibuk mengumbar mimpi dan dan motivasinya dalam mengikuti Yesus yakni kekuasaan.

Mereka ribut mempersoalkan siapa yang paling terdepan dan paling kuasa.

Yesus segera menyadari hal ini dan mengambil seorang anak kecil ke tengah-tengah mereka.

Yesus ingin membuka mata hati nurani mereka tentang arti kekuasaan atau kemuliaan yang sesungguhnya.

Simbol anak kecil ini semata-mata bukan soal kemurnian ataupun kepolosannya, melainkan status anak yang memang masih remaja, yakni sebagai anak yang masih harus dibimbing dan belum mempunyai hak-hak sepenuhnya.

Dalam keseharian, hasrat terkenal, menjadi kaya raya, disanjung karena kehebatan kita, diakui di mana-mana menjadi dambaan setiap orang.

Memang hal tersebut bukan masalah, apalagi dosa. Namun menjadi sandungan ketika hal tersebut menunjukkan sebuah keegoisan dan menumpulkan hati nurani.

Bagaimana dengan diriku?

Apakah aku mau melayani dengan tulus dan mengesampingkan ambisi pribadi?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here