Renungan Harian
5 Desember 2021
Minggu Advent II
Bacaan I: Bar. 5: 1-9
Bacaan II: Flp. 1: 4-6. 8-11
Injil: Luk. 3: 1-6
SETELAH misa sore, seorang anak muda minta waktu untuk menerima Sakramen Rekonsiliasi (pengakuan dosa).
Dengan senang hati, saya melayani permintaan orang muda itu, dan saya persilahkan untuk ke gereja. Namun anak muda minta waktu untuk bicara terlebih dahulu, maka saya minta untuk menunggu di ruang tamu pastoran.
“Romo, sebenarnya saya tidak ingin mengaku dosa. Saya datang untuk mengaku dosa karena didesak ibu agar saya mengaku dosa,” anak muda itu membuka pembicaraan.
“Mas, kalau mengaku dosa hanya karena dipaksa lebih baik tidak. Karena tidak akan berdaya guna bagimu dan hanya akan membuat dirimu jengkel,” jawab saya.
“Betul Romo, menurut saya tidak ada gunanya saya mengaku dosa, dan bagi saya tidak perlu mengaku dosa. Saat saya didesak ibu agar mengaku dosa, saya menjawab bahwa ibu sering mengaku dosa tetapi tidak menjadi lebih baik dan tidak berubah apa pun. Ibu dengan kebiasaan ngomel dan marah-marah tetap ngomel dan marah-marah tidak lalu menjadi sabar. Tetapi jawaban ibu membuat saya berpikir dan datang ke sini.
Ibu mengatakan bahwa dengan mengaku dosa minimal ibu pernah bersih, walau hanya beberapa menit. Seperti ibu mandi, tiap hari mandi, tetapi setelah mandi tidak berarti ibu tidak akan kotor lagi, tidak berarti ibu jadi bersih bersinar.
Ibu mandi karena ibu sadar bahwa ibu banyak kotoran, berkeringat dan semua menjadi tidak sehat. Dengan mandi, ibu membersihkan kotoran dan keringat, sehingga menjadi segar dan bersih serta lebih sehat; walau hanya sesaat.
Satu hal yang penting dengan ibu mandi tiap hari, ibu tahu dan sadar bahwa ibu kotor dan tahu bagaimana harus membersihkan diri.
Demikian juga dengan mengaku dosa ibu sadar bahwa ibu tidak bersih dan ibu membutuhkan bebersih diri dan menjadi segar serta ibu merasa lebih sehat untuk jiwa ibu.
Romo, kata-kata ibu itu mendorong saya untuk datang, tetapi apakah itu betul?” anak muda itu menjelaskan.
“Menurut saya ibu itu luar biasa. Iman dan penghayatan ibumu berkaitan dengan Sakramen Rekonsiliasi luar biasa.
Bagi saya tidak penting soal kebenaran secara teologi atau teori apa pun, tetapi kesadaran ibumu akan kelemahan dan membutuhkan kekuatan dengan mengambil daya lewat sakramen rekonsiliasi itu luar biasa.
Apa yang dikatakan ibumu itu adalah pengalaman hidupnya, sesuatu yang dirasakan, sesuatu yang dialami dan itu dirasakan sebagai sesuatu yang berharga, maka menurut saya itu yang membuat ibumu mendorong dirimu,” jawab saya.
Pemahaman sederhana tetapi mendalam tentang Sakramen Rekonsiliasi dari seorang ibu. Ibu itu tidak berteori tidak pula berteologi tetapi memberi pengalaman hidup yang luar biasa.
Bertobat adalah perjuangan yang terus menerus, bertobat adalah kesadaran diri terus menerus dan kesadaran membutuhkan kekuatan serta pembersihan diri.
Kesadaran akan kelemahan juga kesadaran tidak pernah akan menjadi bersih maka selalu membutuhkan rahmat untuk pembersihan diri.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Matius: “Siapkanlah jalan bagi Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya.”