Percik Firman : Komitmen dan Pengurbanan

0
365 views

Jumat, 14 Agustus 2020

PW Santo Maksimilianus Maria Kolbe (imam dan martir)

Bacaan Injil: Matius 19:3-12

“Ada orang yang tidak dapat kawin karena karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga” (Mat 19:12)

Saudari/a ku ytk.,

SAYA mengenal beberapa pasutri katolik yang sudah menikah sekian tahun, belum diberi anak oleh Tuhan. Mereka tetap rukun, kompak, dan setia. Anak memang anugerah Tuhan. Anak tidak menjadi alasan untuk berkonflik, apalagi bercerai. Mereka sadar betul bahwa tujuan utama orang menikah dalam perkawinan Katolik bukan keturunan, tetapi saling membahagiakan. 

Ajaran Gereja tentang kesucian perkawinan tersebut bersumber dari sabda Tuhan Yesus dalam injil pada peringatan wajib Santo Maksimilianus Maria Kolbe hari ini: “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” 

Hidup berkeluarga adalah panggilan yang mulia. Gereja menyadari martabat luhur perkawinan. Maka perkawinan dipersiapkan dengan sungguh-sungguh melalui kursus persiapan perkawinan, adanya surat baptis terbaru, penyelidikan kanonik dengan pastor, dan diumumkan 3x di gereja.

Banyak orang bilang bahwa menikah itu gampang, tetapi merawat perkawinan itu yang tidak gampang. Butuh komitmen dan pengurbanan dari hari ke hari. Juga butuh kerendahanhati untuk siap mengampuni pasangan yang bersalah setiap saat. Hidup perkawinan harus dirawat setiap hari. 

Paus Fransiskus dalam perayaan Ekaristi bersama keluarga karyawan Vatikan pernah mengungkapkan: “Rawatlah pernikahanmu dan anak-anakmu. Rawatlah dan jangan terlantarkan mereka: bermainlah bersama anak-anakmu. Perkawinan itu bagaikan sebuah tanaman”.

Lebih lanjut diungkapkan, “Perkawinan itu bukan seperti kloset yang ditaruh di dalam kamar mandi dan bisa dibersihkan sewaktu-waktu. Tanaman itu hidup, perlu dirawat dan diperhatikan setiap hari. Orang tahu bagaimana caranya merawat tanaman dan menyiraminya dengan air setiap hari, dan seterusnya.”

Komitmen dan pengurbanan itulah yang saya bayangkan dihayati oleh Santo Maksimilianus Maria Kolbe (1894-1941). Ia lahir di Polandia. Ia menjadi imam Fransiskan Conventual yang luar biasa. Ia juga terus mempertobatkan para pendosa, melawan ajaran sesat, menyebarkan Medali Wasiat, dan devosi kepada Bunda Maria. 

Ia ditangkap dan ditahan pada zaman NAZI Jerman pada tanggal 28 Mei 1941. Dia dimasukkan ke kamp Auschwitz dengan nomor tahanan 16670. Di dalam kamp ini, Maksimilianus masih melayani umatnya, termasuk dengan diam-diam merayakan Ekaristi.

Ketika seorang tahanan bernama, Francis Gajowniczek, hendak dieksekusi atau dihukum mati, ia menangis sambil menyebut anak dan isterinya. Pastor Maksimilianus merasa iba dan kasihan pada bapak itu. Lalu ia meminta kepada pimpinan tahanan agar bisa menggantikan bapak itu. Dia rela berkurban nyawa untuk menyelamatkan bapak itu dan keluarganya. Permohonan itu pun dikabulkan.

Selama tiga minggu, Maksimilianus dan beberapa tahanan lainnya dibiarkan kelaparan hingga mati. Tetapi Maksimilianus termasuk sedikit dari yang bertahan hidup. Pada 14 Agustus 1941, Maksimilianus Maria Kolbe meninggal dunia setelah disuntik mati menggunakan asam karbonat di Auschwitz, Polandia. 

Saya bersyukur tahun 2019 yang lalu diizinkan Tuhan mengunjungi kamp Auschwitz. Saya masuk ke kamar meninggalnya Santo Maksimilianus ini dan kamar ribuan orang meninggal dunia di kamar gas tersebut. Ada rasa merinding saat masuk ke tempat itu. Kudoakan jiwa-jiwa mereka yang meninggal di kamp Auschwitz itu.

Pada 17 Oktober 1971, ia dibeatifikasi oleh Paus Paulus VI. Dia diangkat menjadi santo oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 10 Oktober 1982. Gereja mengangkatnya sebagai martir. Dia memberi kita teladan tentang komitmen dan pengurbanan dalam mengikuti Kristus.

Pertanyaan refleksinya, bersediakah Anda berkurban untuk kebaikan dan keselamatan sesama? Bentuk pengurbanan apa yang telah Anda berikan?

Berkah Dalem dan Salam Teplok dari Bumi Mertoyudan. # Y. Gunawan, Pr

Kredit foto: Ilustrasi (Ist)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here