Pijar Vatikan II – In Memoriam Romo Antonius Soetanto SJ: Altar dan Pasar, Gereja Romo Tanto dan Gereja Romo Mangun (41C)

0
444 views
RIP Romo A. Soetanto SJ (Facebook)

SEPULUH tahun lebih, setelah penugasan di Paroki Cilincing itu dan sekembali dari Roma, saya baru ketemu lagi Romo Tanto. Awal tahun 1996, KAJ mengadakan Temu Pastor (Tepas) di Wisma Yasmin Cimacan.

Kami mengundang Romo Mangun untuk menjadi pembicara utama pada Tepas itu. Romo Mudji Sutrisno, Romo Widiatmoko “Koko” MSF, karikaturis Majalah Hidup, Romo Krismanto Pr, Romo Roy Pr, dan saya ditunjuk menjadi panitia pengarah.  

Gereja Diaspora

Topik Tepas tahun 1996 itu adalah Gereja Diaspora.

Dalam diskusi persiapan dengan Romo Mangun, disepakati Gereja Diaspora adalah topik yang relevan untuk gereja Jakarta, bahkan gereja Indonesia.

Menyambut millenium 2000, wajah Gereja Lokal Keuskupan Jakarta harus menunjukkan wajah Gereja yang tanggap pada perkembangan zaman. Wajah Gereja KAJ ke depan adalah wajah Gereja Diaspora, di tengah keberagaman dan hiruk-pikuknya.

Saking antusiasnya Romo Mangun membahas topik ini, beliau meminta kami Panitia Tepas, untuk membuat dokumentasi lengkap diskusi Gereja Diaspora tersebut.

Rupanya Romo Mangun sedang mempersiapkan buku tentang Gereja Diaspora, sebuah “eklesiologi masa kini” yang diyakini Romo Mangun sebagai Gereja dan cara menggereja yang khas untuk Indonesia.

Dalam tepas KAJ 1996 itu, selain menyinggung dikotomi Gereja Eropa dan Gereja Indonesia, Romo Mangun juga sering mengulang istilah “altar” dan “pasar” dalam menerangkan dua sisi hidup menggereja.

Sejak itu, kami Panitia Tepas jadi ikut “latah” menggunakan istilah “altar dan pasar” yang dipopulerkan Romo Mangun di Tepas 1996 itu.

Sejak itu pula, istilah “altar dan pasar” lalu jadi istilah yang laku di mana-mana.

Sesudah makan malam, kami Panitia Tepas mengadakan pertemuan kecil untuk evaluasi jalannya acara hari itu dan arah acara esok hari. Romo Mangun tentu saja selalu hadir pada acara evaluasi.

Malam itu, ketika kami panitia sedang ngobrol, Romo Tanto datang ke meja kami mendekati Krismanto. Tahun 1996 itu, Romo Tanto mewakili Paroki Cililitan.

Beliau sudah tidak lagi bertugas di Paroki Tanjung Priok. “Kagungan pedupaan mboten (punya perapian ngga)?” tanya Romo Tanto ke Romo Krismanto.

Maksudnya, punya rokok nggak. Keduanya, Romo Tanto dan Romo Kris, memang perokok berat.

Yang menarik, minta rokok kepada teman yang jauh lebih muda saja, Romo Tanto memakai bahasa Jawa halus.

Buku “Gereja Diaspora” karya Romo Mangun, hasil refleksi Tepas KAJ 1996 yang juga dihadiri Romo Antonius “Tanto” Soetanto SJ. (A. Kunarwoko)

Kepada teman sesama orang Jawa, apalagi sesama imam, hampir dipastikan Romo Tanto selalu menyapa dengan bahasa Jawa kromo-inggil, bahasa Jawa versi halus.

Mungkin itu pendidikan Katolik lama.

Seperti keluarga Romo Tanto, saya ingat Bapak-Ibu saya dulu juga selalu membiasakan kami berbicara bahasa Jawa halus kepada siapa pun bahkan kepada pembantu di rumah sekalipun.

Padahal kepada orang tua dan kakak-adik, kami diperbolehkan berbahasa Jawa ngoko, level bahasa Jawa yang paling rendah.

Itulah demokrasi ala keluarga Katolik Jawa lama.

Begitu melihat Romo Tanto, dengan tawa lebarnya yang khas, Romo Mangun langsung nyeletuk: “Lha ini, priyantun Muntilan, Jesuit tokoh Gereja Altar”.

Kami semua tertawa.

Saya lalu menimpali: “Bukan cuma altar Muntilan Romo. Tapi juga mbako Kedu, turunan Mbah Madon –mbahnya Krismanto yang klempas-klempus ngrokok klembak menyan”.

Ya, selain menyanyi, trademark Romo Tanto yang lain adalah merokok. Jadilah Romo Mangun lalu cerita kebanggaannya menjadi orang Magelang, wilayah Kedu, daerah perdikan subur pusat tembakau yang tidak pernah tunduk pada Raja Yogya dan Raja Solo.

“Makanya orang Kedu punya prinsip sendiri dalam memandang kekuasaan dan penjajahan. Termasuk dalam hal taat pada Uskup,” canda Romo Mangun. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here