Puasa dan Kepekaan Sosial (1)

0
1,773 views

 

SECARA etimologi, puasa berarti menahan; baik menahan makan, minum, bicara dan perbuatan. Sedangkan secara terminologi, puasa adalah menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan disertai niat berpuasa. Sebagian ulama mendefinisikan puasa sebagai tindakan menahan nafsu dua anggota badan, perut dan alat kelamin sehari penuh, sejak terbitnya fajar kedua sampai terbenamnya matahari dengan memakai niat tertentu.

Puasa Ramadhan wajib dilakukan.

Adakalanya karena telah melihat hitungan Sya’ban telah sempurna 30 hari penuh atau dengan melihat bulan pada malam tanggal 30 Sya’ban. Sesuai dengan hadits Nabi saw: “Berpuasalah dengan karena kamu telah melihat bulan (ru’yat), dan berbukalah dengan berdasar ru’yat pula. Jika bulan tertutup mendung, maka genapkanlah Sya’ban menjadi 30 hari”.

Pada hakikatnya Ramadan melatih seseorang untuk menjadi orang yang berdisiplin, tunduk pada hukum, empati kepada orang lain, istiqamah, menerapkan pola hidup selektif. Ini diharapkan terus berlanjut secara berkesinambungan pada bulan-bulan berikutnya. Dengan demikian, di samping sebagai ibadah habl min Alla, pada saat yang sama puasa juga menekankan habl min al-nas. Sehingga, tak pelak lagi, sepanjang bulan Ramadan kita dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah baik ibadah ritual maupun ibadah sosial.

Dengan demikian, seperti disinggung di atas, di samping sebagai aktivitas fisik, puasa juga secara sekaligus sebagai aktivitas psikis dan sosial. Secara fisik, puasa berarti menahan diri dari makan, minum, dan melakukan kontak seksual semenjak terbit fajar hingga terbenam matahari.  Secara psikis, ini berarti penahanan diri dari upaya memanjakan gelora hawa nafsu yang dapat berimplikasi buruk pada dirinya. Secara sosial, kata Hasan Hanafi dalam al-Din wa al-Tsawrah (1990: 63), puasa melatih kepekaan atas nasib sesama yang menderita kelaparan dan kehausan.

Dalam konteks itulah kita bisa memahami adanya perintah untuk mengeluarkan zakat fitrah di penghujung bulan Ramadan bahkan sejak awal memasuki Ramadhan sudah terlihat kepekaan itu dengan berbuka bersama di masjid-masjid, suarau, kantor, dan  bahkan di jalan-jalan.  Semakin lama semakin terasa pula ikatan rasa kebersamaan, persaudaraan dan kecintaan kita pada sesama. (Bersambung)

Ulul Huda MA, ikut mengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah di Karangsuci, Purwokerto; bersama para aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU) ikut membentuk Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here