Seni Rohani Mengelola Stroke (2)

0
1,533 views

MINGGU  tanggal 5 Juni 2011 sungguh merupakan sebuah ”perputaran hidup” untuk tak mau mengatakan sebagai datangya Hari Kelabu dalam sejarah hidup saya.  Sehari sebelumnya, saya masih asyik mahsyuk dalam sebuah kegiatan sosial di Panti Asuhan Santo Yusuf di Sindanglaya.

Saya mengendarai mobil bersama seorang teman. Misi kedatangan kami berdua ke Sindanglaya adalah demi menyelesaikan tugas yang diamanatkan kepada kami berdua oleh Romo  Gabriel OFM, Direktur Panti Asuhan.  Pukul 14.00 kami berdua meninggalkan Sindanglaya dalam perjalanan pulang. Sesampai di Cisarua, hujan amat lebat mengguyur kawasan  ini dan kemacetan menghimpit jalan hingga butuh waktu tak kurang dari 2 jam 30 menit untuk mencapai Kota Hujan alias Bogor.

Kami berdua memutuskan langsung ke katedral untuk mengikuti ekaristi hari Sabtu agar besoknya bisa istirahat. Usai misa, saya mengantar teman ke rumahnya dan kemudian langsung pulang.

Stroke mendera tiba-tiba

Sampai di rumah sudah malam. Saya mandi, makan, membaca dan mulai pukul 21.00 rasa kantuk sudah menggelayuti saya dan langsung wuzz tidur di lantai dua.  Pukul 03.00 dinihari mata saya yang semula terpejam dalam kenyenyakan terbangun untuk keperluan pergi ke toilet.

Tak ada yang aneh dalam tubuh saya.  Namun ketika bangun pagi pukul 05.30, ada sesuatu sangat tidak biasa  ”telah menghampiri” tubuh ragawi saya. Tubuhku kurengkuh tidak seperti biasanya. Kali ini, saya merasa telah kehilangan ”kendali” atas tubuh saya sendiri.

Benar juga. Ketika saya mulai mencoba bangun, saya tidak sanggup menahan daya beban tubuh. Saya berdiri, maka tubuh saya pun mulai oleng tak bertenaga. Saya terhempas jatuh. Ketika sekali lagi memaksa diri bangun dan mulai berjalan, saya kembali menjadi sempoyongan dan kemudian ambruk lagi.

Kaki kiri tiba-tiba ”lepas kendali” dari pusat kesadaranku. Saya memaksa diri nekad menuruni anak-anak tangga. Karena cukup ”curam”, saya mulai berpegangan pada pegangan tangga untuk mengayunkan beban tubuh pada sandaran kayu panjang ini.  Tetap sempoyongan hingga akhirnya terbetiklah sebuah doa permohonan dalam penuh iba: ”Tuhan, bantulah aku. Bimbinglah kakiku dan kuatkanlah ragaku!”.

Dengan susah payah, akhirnya saya berhasil turun menyusuri anak-anak tangga ke bawah. Yang terpikir dalam benak saya hanya satu: saya harus cepat-cepat membuka pintu rumah dan gembok pagar. Dengan susah payah, kedua hal itu bisa saya lakukan.

Saya masih mampu masak air dan membuat bekal untuk sarapan kilat dengan mengonsumsi havermout. Sembari menunggu matang, saya nekad naik ke lantai dua untuk melanjutkan kebiasaan lama: bermeditasi dan menulis permenungan saya di diarium.

Kaki melemah

Usai meditasi dan doa singkat, saya harus turun ke lantai bawah, kembali menuruni anak-anak tangga yang curam ini. Dengan posisi nglesot dan ndlosor saya nekad menuruni anak tangga sembari mendaraskan doa lagi: ”Tuhan, bantulah, bimbinglah dan kuatkanlah aku!”

Deo gratias! (Syukur kepada Tuhan!), ternyata saya berhasil sampai ke lantai bawah, dan berusaha menghampiri meja komputer untuk menulis permenungan saya di facebook untuk para sahabat. Namun, saya gagal melaksanakan niat mulia ini. Bahkan dengan berjalan nglesot pun untuk meraih meja komputer, saya sudah tidak mampu lagi.

Tiada pilihan lain, kecuali menghampiri ruang tamu dan terpaksa hanya duduk termangu di sofa ruangan. Kuraih HP tak jauh dari situ, namun ketika nomor tertentu saya kontak, yang bersangkutan sudah keburu mengikuti ekaristi pagi-pagi. Orang kedua berhasil saya kontak dan beritahu kalau saya butuh pertolongan mendesak. Namun 30 menit berlalu, orang yang saya harapkan datang juga tidak muncul-muncul.

Barulah orang ketiga yang saya hubungi merelakan diri datang bersama istrinya. Minta ampun. Ternyata badan saya gembrot bukan main, hingga teman ini tidak mampu mengangkat beban tubuh saya ke atas dipan. Lalu dipanggillah teman-teman dekat agar segera ”meluncur” ke rumah.

Sembari menunggu kedatangan beberapa teman lainnya, sang istri mencoba menyuapi saya dengan sisa makanan havermout. Tak berapa lama, saya lalu dibawa cepat-cepat ke sebuah rumah sakit di Bogor untuk mendapatkan tindakan perawatan darurat.  Pemeriksaan di UGD mencatat ukuran tekanan darah saya: 180/110. (Bersambung)

Artikel terkait:

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here