Sinode Keluarga: Pendapat Kardinal Ruini

1
1,300 views

MANTAN Vicaris Jenderal Keuskupan Roma, Kardinal Camilo Ruini, mengharapkan suatu prosedur administratif dan pastoral (bukan yudiris, red) untuk mengakui adanya nullitas (penghapusan) perkawinan; dan dianggapnya mendesak untuk memperjelas status yudiris dari “orang katolik yang hanya dibaptis namun tidak menghayati iman” bisa dinyatakan tidak sah karena bukan nikah sakramental.

Pendapat Kardinal Ruini di atas sudah dinyatakan dalam buku yang ditulis oleh Sebelas Kardinal dan sebelum Paus Fransiskus mengeluarkan Motu Proprio: Miti Iudex Donimus Iesus yang menyederhanakan proses “declaratio nullitatis” dengan menghapus perlunya ratifikasi dari instansi kedua (Keuskupan Agung) dan cukup sampai Tribunal Instansi Tingkat Pertama (di keuskupan masing-masing).

Kekuasaan untuk memastikan sahnya declaratio nullitatis ada dalam tangan uskup diosesan sendiri.

  • 5 – Il processo matrimoniale più breve davanti al Vescovo.
  • 1683. Allo stesso Vescovo diocesano compete giudicare la cause di nullità del matrimonio con il processo più breve ogniqualvolta:
    1° la domanda sia proposta da entrambi i coniugi o da uno di essi, col consenso dell’altro;
    2° ricorrano circostanze di fatti e di persone, sostenute da testimonianze o documenti, che non richiedano una inchiesta o una istruzione più accurata, e rendano manifesta la nullità.

Judul tulisan Kardinal Ruini dalam buku itu ialah: Il Vangelo della famiglia nel’Occidente secolarizzato (Kabar Sukacita Keluarga dalam Masyarakat Barat Sekular).

Tentang sambut komuni bagi orang katolik yang sudah bercerai dan menikah lagi, Kardinal Ruini menulis: “Hal ini kiranya tidak bisa dilakukan, karena terkait dengan adanya relasi seksual di luar nikah, mengingat nikah pertama yang sah dan tak terceraikan (ratum et consummatum).”

Namun Kardinal Ruini segera menambahkan, “Namun hal itu bukan berarti bahwa pintu sudah tertutup bagi suatu perkembangan baru. Sebuah jalan yang kiranya bisa ditempuh ialah membuat revisi tentang proses nullitas dari perkawinan: karena hal ini berkaitan dengan hukum Gereja, bukan hukum Ilahi. Sehingga terbuka kemungkinan untuk mengevaluasi proses nullitas itu dari “proses yudisial” menjadi proses “administratif” dan pastoral, yang diarahkan secara khusus untuk memperjelas situasi konkret yang dihadapi oleh setiap pasangan di hadapan Allah dan di hadapan Gereja.”

Andrea Tornelli menjelaskan: “Pendapat Ruini tersebut telah disiapkan sebelum Paus Fransiskus akhirnya mengeluarkan pembaruan prosedur proses nullitas perkawinan yang menghapuskan keputusan ganda (tribunal tingkat I dan tribunal banding tingkat II) dan menyatakan bahwa tanggung jawab untuk menyatakan nullitas perkawinan ada di tangan uskup diosesan, namun dengan tetap mempertahankan sifat yudisial dari keputusan nullitas itu, bukan proses administratif dan pastoral seperti diusulkan Ruini.

Paus Fransiskus menyatakan, pertama: ingin mempertahankan sifat yudicial dari proses declaratio nullitatis itu dan kedua ingin membuat prosesnya lebih sederhana dan lebih cepat, supaya tidak mempersulit umat yang sangat membutuhkan keputusan itu dan dengan sabar sudah menantikannya.

Kardinal Ruini mengangkat masalah pastoral keluarga di Eropa yang sangat nyata: “Sayangnya kita harus mengakui bahwa di Eropa banyak orang yang sudah dibaptis, namun tidak percaya lagi kepada Tuhan. Maka kita bisa bertanya: apakah mereka yang seperti itu bisa menikah secara sah dan sakramental?”

Ruini menganggap masalah ini sangat penting untuk diteliti karena Kardinal Ratzinger sendiri sebelum menjadi Paus Benedictus XVI sudah membuat pertanyaan serupa dalam dokumen: Pastoral bagi keluarga yang sudah berpisah dan menikah lagi yang dipublikasikan tahun 1998 oleh Propaganda Fidei.

Waktu itu, Kardinal Ratzinger menulis, “Perlu diselidiki dan diperjelas apakah setiap perkawinan di antara dua orang yang dibaptis itu “ipso facto” (pada dirinya) adalah perkawinan sakramental? Karena esensi dari sakramen terletak pada penghayatan iman; tugas dari penyelidikan hakim gereja untuk meneliti status yuridis dari fakta “tiadanya iman” dan realisasi sakramen perkawinan dalam kasus ini.

Menurut Ruini, jika tidak ada iman, maka tidak ada sakramen pula. Maka menurut Ruini, masalah ini sangat penting karena “perkawinan dari dua orang yang dibaptis dan tidak percaya lagi adalah tidak sah dan tidak sakramental.

Sujoko menyimpulkan: kalau perkawinan yang sudah bubar dari orang-orang katolik sejenis itu mau dibatalkan, maka alasannya sudah jelas ditunjuk oleh Kardial Ratzinger dan Kardinal Ruini itu; dan Paus Fransiskus juga punya landasan moral yang iuridis yang kuat untuk menyederhanakan proses pembatalan nikah itu.

Keluarga di Eropa atau dimana saja yang perkawinan pertamanya sudah kandas karena ada halangan yang menggagalkan nikah itu bisa mendapatkan pembatalan nikah; relasi kedua mereka bisa diberkati oleh imam dan mereka dapat sambut Ekaristi. Maka masalah Komuni bagi remarried (menikah lagi atau menikah kembali) tidak relevan lagi.

Kardinal Ruini yang sudah tua dan bijaksana itu menambahkan lagi: “Dari lain pihak, janganlah kita menutup diri untuk terbuka bagi jalan perubahan yang lebih mendalam dan penuh kesulitan, bukan hanya demi karya pastoral Gereja, melainkan juga demi situasi hidup orang-orang dibaptis (katolik) yang tidak percaya lagi. Karena jelas juga bahwa mereka itu sebagai pribadi manusia mempunyai hak untuk menikah; yang bila dihalangi akan melanggar hak-hak sipil mereka juga.

Paus Yohanes Paulus II sudah mengidentifikasi dan menginventarisir masalah pastoral keluarga itu dalam Familiaris Consortio yang diterbitkan tahun 1981: Orang katolik yang menikah secara sipil saja; Orang katolik yang sudah berpisah (bercerai); Orang katolik yang sudah bercerai dan menikah lagi (remarried – resposato); Orang katolik yang hidup bersama (baku – piara); orang katolik yang kawin campur.

Kredit foto: Ist

1 COMMENT

  1. Saya baru menikah januari 2016..dan memutuskan berpisah akhir januari 2016..karena H-1 saya sebenarnya tidak menghendaki pernikahan ini(ragu-ragu), namun melihat rona bahagia kedua orangtua saya, saya tidak tega..akhirnya kami menikah..pernikahan yg kurang satu bulan itu kami tidak pernah melakukan hub badan wlw sekamar karna disuruh orangtua saya, saya merasa tidak aman, nyaman, saya takut diperkosa dan saya baru merasa aman setelah mengetahui suami saya sudah terlelap tidur, baru saya bisa tidur tenang..saya mohon apakah saya bisa memohon pembatalan atas perkawinan saya karna kami berdua sama2 katolik..

    – Trie –

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here