Tentang 3 Perumpamaan: Domba Tersesat, Dirham dan Anak yang Hilang (1)

0
6,338 views

google

TENTANG bacaan dari Injil Lukas yang memuat tiga perumpamaan, yakni domba yang tersesat (Luk 15:1-7), disusul perumpamaan mata uang yang terselip (ayat 8-10) dan perumpamaan anak yang hilang (ayat 11-32) kita akan bicarakan apa maksudnya semua hal itu.

Ketiga perumpamaan di atas ditampilkan sebagai tanggapan terhadap kaum Farisi dan ahli Taurat yang kurang senang melihat Yesus membiarkan para pemungut cukai serta para pendosa datang ikut “mendengarkan dia” seperti disebutkan dalam ayat 1-3. Maksudnya, membiarkan mereka mengikuti uraiannya mengenai ajaran Kitab Suci dan mulai menjadi muridnya.

 

Memang, mendengarkan uraian Taurat bagi orang Yahudi bukanlah kegiatan yang bisa sembarangan diikuti. Mereka yang dianggap bukan termasuk orang baik-baik tidak diizinkan. Pemungut cukai dianggap tak pantas duduk mendengarkan ajaran Taurat. Pemungut cukai dicap sebagai orang yang menjual bangsa sendiri dengan bekerja memungut pajak dari sesama orang Yahudi bagi penguasa Romawi.

Dosa mereka jauh lebih besar dari pada pelanggaran lain karena mereka terang-terangan ikut menindas umat Tuhan sendiri. Mereka dianggap berlaku seperti para penindas di Mesir dulu. Mereka tak layak mendapat pengampunan, apalagi mendengarkan uraian Taurat. Itulah sebabnya dalam ayat 1 “para pemungut cukai” disebut secara khusus sebelum “orang-orang berdosa”.

Tetapi Yesus membiarkan mereka datang mendengarkan pengajarannya! Orang-orang yang merasa diri saleh tak habis mengerti, bahkan tersinggung dan menggerutu – “bersungut-sungut” – melihat kelakuan Yesus. Kelonggarannya mengotori kegiatan suci ini, menyalahi adat kebiasaan. Para tokoh agama nanti akan bersetuju untuk menyingkirkan Yesus yang menjadi duri dalam daging bagi mereka.

Kita tahu cerita selanjutnya. Namun, bagaimana ingatan murid-murid generasi pertama mengenai cara Yesus menanggapi penilaian orang Farisi dan para ahli Taurat tadi? Apa yang disampaikan dalam ketiga perumpamaan itu?

Tidak kaku
Tanggapan Yesus membuat orang berpikir. Ia mengajak orang yang tersinggung perasaannya tadi agar tidak terlalu bersikap kaku dan hanya melihat yang buruk-buruk saja. Mari kita pakai akal sehat…. begini lho duduk perkaranya! Mari kita lihat sisi lain.

Untuk itu ia mengajukan pertanyaan retorik pada awal kedua perumpamaan yang pertama, yakni, “Siapa di antara kamu yang [kehilangan milik yang berharga] dan tidak [berusaha menemukannya kembali] dan [setelah menemukan] bersukaria dan mengajak orang lain bergembira?” Tentu saja tak ada yang tidak akan bertindak demikian.

Kedua perumpamaan itu jelas-jelas ditujukan kepada orang-orang yang menggerutu tadi. Mereka dihimbau agar memakai akal sehat dan tidak membiarkan diri dikuasai perasaan kesalehan belaka. Perumpamaan yang ketiga lebih dalam lagi. Semua orang yang mempunyai anak dan saudara yang malang tapi mau berusaha kembali didorong agar bersedia meninjau kembali penilaian yang mereka pegang.

Ketiga perumpamaan tadi menampilkan satu unsur yang sama, yakni kegembiraan mendapatkan kembali yang hilang, entah itu domba, mata uang, atau anak yang hilang. Kegembiraan ini kemudian dikabarkan kepada banyak orang.

Pemilik domba memanggil para sahabat dan tetangganya dan mengajak mereka ikut bersukacita. Begitu juga perempuan yang menemukan kembali mata uangnya yang hilang. Secara tak langsung hendak dikatakan, mereka yang diajak ikut bergembira ialah kaum Farisi dan para ahli Taurat yang “bersungut-sungut” melihat Yesus membiarkan pemungut cukai dan pendosa mendengarkannya.

Ayah anak yang kembali itu mengajak seisi rumah tangganya berpesta. Secara khusus ia mengajak anak sulung untuk ikut bergembira. Kita tidak tahu apa anak sulung dalam perumpamaan ketiga akan mau masuk rumah dan ikut berpesta. Kita tidak tahu persis apa orang-orang Farisi dan ahli Taurat mau mendengarkan Yesus.

Tidak diceritakan lebih jauh.  Hanya disodorkan sebagai bahan pertimbangan agar orang berkaca. Boleh jadi mereka malah makin mendongkol tapi tidak bisa menjawab karena mereka juga paham kekuatan warta ketiga perumpamaan tadi. Mereka yang dicap buruk, pendosa dan tak pantas itu bisa berubah dan sudah mulai berada pada jalan yang benar.

Di lain pihak, orang-orang yang menganggap mereka tak patut diajak bergaul itu malah semakin mengeraskan hati sendiri. Orang-orang itu seperti si anak sulung yang tidak dapat melihat alasan kegembiraan ayahnya. Ia menutup diri. Menjauhi kegembiraan. Terus-terusan murung. Menyedihkan!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here