Terawang Terawan

0
292 views
Ilustrasi: Ist

MAJELIS Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) sudah menyimpulkan bahwa Mayjen TNI DR. Dr. TAP SpRad, penemu dan penerap metode cuci otak (brain flushing) melakukan pelanggaran etik. Pelanggaran etik kedokteran berat (serious ethical misconduct) ini diberikan sanksi berupa pemecatan sementara sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Apa yang sebaiknya diterawang?

MKEK tidak mempersalahkan teknik terapi Digital Substraction Angogram (DSA) atau metode cuci otak, melainkan pelanggaran kode etik kedokteran saja. Dari 21 pasal yang yang tercantum dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki), Dr. TAP telah mengabaikan dua pasal yakni pasal empat dan enam.

Pada pasal empat tertulis bahwa “Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri”. Dr. TAP dianggap MKEK tidak menaati dengan mengiklankan diri.

Pada pasal enam tertulis “Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan, teknik, atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya, dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat”.

Dr. TAP mendapat gelar doktoral di Universitas Hasanudin Makassar pada tahun 2016 dengan disertasi berjudul “Efek Intra Arterial Heparin Flushing Terhadap Regional Cerebral Blood Flow, Motor Evoked Potentials, dan Fungsi Motorik pada Pasien dengan Stroke Iskemik Kronis” dengan promotor dekan FK Universitas Hasanuddin, Prof Irawan Yusuf, PhD.

Namun demikian, temuannya ini dikembangkan menjadi terapi cuci darah yang memicu perdebatan. Temuan metode baru yang sudah terbukti ilmiah secara akademik, bukan berarti otomatis etik diterapkan pada pasien di dunia medis, tetapi harus diteruskan melalui uji klinik lengkap.

Penelitian yang mengikutsertakan subjek manusia harus hormat atas martabat manusia, sesuai PP 39/1995, dengan prinsip ‘Respect for person, Beneficience & non maleficience, and Justice’. Uji klinik adalah pengujian sebuah intervensi kedokteran baru pada manusia, yang pada dasarnya memastikan efektivitas, keamanan dan efek samping yang timbul pada manusia, akibat pemberian suatu intervensi dokter.

Uji klinik ini terdiri dari uji fase I sampai fase IV.

Sebenarnya publik tidak tepat untuk melakukan eksaminasi atau ‘legal annotation’, yaitu membuat ulasan terhadap putusan pengadilan MKEK tersebut. Eksaminasi hanya dilakukan terhadap kinerja hakim pengadilan dengan diterbitkannya SEMA (Surat Edaran Mahkam Agung) No 1 Tahun 1967, yaitu eksaminasi internal lembaga peradilan, yang bukan dimaksudkan sebagai kontrol publik.

Dengan demikian sanksi yang sudah dijatuhkan MKEK seharusnya dijalankan, tanpa dipengaruhi oleh kontrol publik. Sanksi pemecatan sebagai anggota IDI, sebenarnya bukanlah ranah MKEK dan ekskusinya baru dapat diakukan oleh PB IDI, setelah ada tahapan pembelaan anggota yang memadai.

Namun demikian, penundaannya dapat juga mengacu pada Pasal 31 ayat (1) KUHP, yaitu adanya permintaan dari Dr. TAP, disetujui oleh pelapor atau MKEK, dan Dr. TAP sanggup mematuhi syarat yang ditetapkan.

Selain itu, dapat juga dipertimbangkan adanya semacam ‘pembantaran’. Dengan  mengacu pada SEMA no 1 tahun 1989 tentang Pembantaran (Stuiting), yaitu tenggang waktu penahanan bagi terdakwa yang dirawat menginap di rumah sakit di luar rumah tahanan negara, atas izin instansi yang berwenang menahan.

Secara analogi, maka status Dr. TAP tetap sebagai penerima sanksi dari MKEK berupa pemecatan sementara sebagai anggota IDI. Selain itu, masa pembantaran dihitung sejak tanggal Dr. TAP secara nyata tidak lagi melakukan berbagai hal etik, yang terbukti dalam sidang MKEK.

Hal tersebut harus dibuktikan dengan surat keterangan dari Wakil Kepala Rumah Sakit tempat Dr. TAP bekerja, yaitu sebagai Kepala RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. Pembantaran ini tidak memerlukan penetapan dari pihak mana pun, karena hanya PB IDI yang berhak memberikan sanksi pemecatan sebagai anggota IDI. Masa pembantaran berakhir ketika Dr. TAP tidak melakukan berbagai hal etik yang terbukti dalam sidang MKEK, dalam periode waktu tertentu.

Tidaklah ada manusia yang sempurna, sehingga masukan dari pihak siapa pun, termasuk keputusan MKEK dan pembelaan para tokoh nasional pasien Dr. TAP, sewajarnya menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua. MKEK harus berbenah diri, karena bertindak cukup terlambat membahas etika metode ini, maladministrasi terkait kertas surat bukan dengan kop resmi MKEK, dan tidak adanya tembusan surat kepada PB IDI. Selain itu, juga keterbukaan informasi yang berlebihan dan menjadi viral atas masalah internal organisasi, juga tidaklah merupakan hal yang baik.

Faktor Dr. TAP sebagai terlapor yang dianggap mengiklankan dan memuji diri, serta tidak koperatif dan menolak hadir di persidangan MKEK sebagai lembaga penegak etika kedokteran, juga perlu diperbaiki.

Dr. TAP juga perlu mengevaluasi diri karena dokter tidak boleh memuji diri sendiri, mengiklankan diri, dan menjanjikan kesembuhan. Selain itu, dokter harus jujur dan secara berhati-hati menyampaikan kepada masyarakat bahwa metode intervensi yang dilakukannya masih dalam taraf uji klinik, sehingga tidak boleh menarik imbal jasa kepada pasien.

Testimoni yang menyebutkan bahwa metode tersebut telah mengatasi masalah stroke sejak tahun 2005 pada sekitar 40.000 pasien, bahkan tidak banyak muncul komplain dari masyarakat, sebenarnya bukanlah bukti kevalidan sebuah metode kedokteran yang baru.

Demikian juga testimoni para tokoh nasional yang pernah menjalani metode tersebut.

Penerawangan kasus Dr. Terawan menilai bahwa keputusan MKEK ini dapat menjadi yurispudensi, yaitu sebuah keputusan yang kemudian dijadikan pedoman dalam memutuskan suatu perkara yang sama di kemudian hari.

Apakah kita sudah bijak?

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here