Hasrat; Mudarat atau Berkat ? (3- selesai)

0
1,533 views

DALAM kerohanian kristen, pemenuhan hasrat diri, tidak mendapat tempat. Ketika motivasi para murid Yesus mulai bergeser, setelah melihat popularitas Yesus, dan seolah-olah mereka memimpikan akan menjadi orang penting dalam kerajaan yang akan didirikan-Nya, maka dengan sangat keras Ia mengatakan, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Matius 16:24).

Bukan jabatan, kuasa, berkat berlimpah, tapi salib sebagai simbol penyangkalan hasrat diri, itulah yang akan diterima bagi siapa saja yang ikut Yesus. Pernyataan ini sangat keras! Dan ketika para murid belum juga paham dengan apa yang dimaksud Yesus, mereka telah melihat Sang Guru memberi contoh sendiri apa itu penyangkalan hasrat diri, dengan tergantung di salib. “….tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Matius 26:39).

Praktik keras penyangkalan diri ini kemudian diteruskan oleh para rahib dan biarawan, yang menjalani kehidupannya dengan tindakan agere contra, suatu sikap penolakan terhadap segala hasrat diri. Orang-orang ini melakukan apa yang tidak mereka hasratkan, dan tidak melakukan apa yang mereka hasratkan.

Dalam suatu kisah, setelah Perang Badr, perang terbesar dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad mengatakan, “Kita sekarang akan menghadapi perang yang lebih besar lagi.” Maka para sahabat-sahabatnya heran, perang apa lagi yang lebih besar dari Perang Badr? “Perang melawan hasrat diri sendiri. Itulah jihad terbesar,” Kata Nabi.

Kisah indah lainnya adalah apa yang diceritakan tentang Ali, prajurit dan khalifah Islam yang agung. Sebagai pemimpin pasukan muslim, Ali harus berhadapan langsung dengan musuh. Dalam sebuah pertempuran, Ali menjatuhkan lawannya. Dia melompat ke dada musuhnya, mengangkat pedangnya.

Tapi, tiba-tiba Ali tidak jadi membunuh musuh itu, ia pergi menjauh. Maka pasukannya bertanya kepadanya, “Mengapa Anda tidak membunuhnya?” Jawab Ali, “Karena orang itu meludahi saya, dan saya jadi marah. Kalau saya membunuh dia karena marah, berarti bukan karena Islam.”

Mulai dari diri sendiri
Begitulah, seseorang yang berhasrat untuk berkuasa, harus memulainya dengan menguasai dirinya sendiri. Seseorang yang merdeka, bukan yang melampiaskan hasratnya tapi yang meniadakan hasratnya. Coba kita renungkan kisah ini: Ada seorang wanita bijak yang tengah melakukan perjalanan di pegunungan menemukan sebuah batu berharga di sebuah sungai kecil, dan ditaruhnya batu itu ke dalam tas.

Hari berikutnya, wanita itu berjumpa dengan seorang pengelana lainnya yang sedang kelaparan. Wanita bijak itu membuka tasnya untuk membagikan makanannya. Si pengelana yang kelaparan melihat batu berharga itu dan memintanya dari wanita bijak itu. Wanita bijak itu memberikannya tanpa ragu-ragu. Si pengelana itu berlalu, merasa gembira dengan keberuntungannya.

Dia tahu bahwa batu berharga itu cukup bernilai untuk memberinya rasa aman seumur hidupnya. Tapi, beberapa hari kemudian, si pengelana itu datang lagi untuk mengembalikan batu tersebut kepada si wanita bijak.

“Saya telah berpikir,” demikian kata lelaki pengelana, “Saya tahu betapa bernilainya batu ini, tetapi saya mengembalikannya dengan harapan bahwa Anda bisa memberi saya sesuatu yang jauh lebih berharga. Berikanlah apa yang Anda miliki dalam diri Anda yang membuat Anda mampu memberikan batu ini kepada saya.”

Hidup tak lekat, lepas bebas, kosong, meniadakan hasrat kuasa dan memiliki, jauh lebih berharga dari “batu permata”.
(selesai)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here